Oleh Saldi Isra
Pengantar
Dalam pidato penutupan Sidang Tahunan Ketua Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) Tahun 2002, Ketua MPR Amien Rais mengatakan: “Reformasi konstitusi
yang telah dilakukan merupakan suatu langkah besar demokrasi dalam upaya
menyempurnakan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjadi konstitusi yang
demokratis, konstitusi yang sesuai dengan semangat zaman, konstitusi yang mampu
mewadahi dinamika bangsa dan perubahan zaman pada masa yang akan datang. Dengan
UUD yang telah diamendir, di hadapan kita telah terbentang suatu era Indonesia
baru yang lebih demokratis dan lebih maju”.[2]
Terlepas dari berbagai pandangan terhadap pidato Ketua MPR di atas, tidak
dapat dipungkiri bahwa salah satu langkah besar yang dimaksud adalah perubahan
terhadap kekuasaan kehakiman. Sebelum amandemen, kekuasaan kehakiman diatur
dengan amat terbatas dalam UUD 1945. Bahkan, dalam pasal-pasal yang mengatur
kekuasaan kehakiman tidak ditemukan jaminan terhadap kekuasaan kehakiman yang
merdeka. Pasal 24 UUD 1945 menentukan: (1) kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang,
dan (2) susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan
undang-undang. Kemudian, Pasal 25 UUD 1945 menentukan, syarat-syarat
untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan
undang-undang. [3]
Menyadari bahwa untuk memastikan terwujudnya kekuasaan kehakiman yang
merdeka diperlukan jaminan yang tegas dalam konstitusi, langkah besar yang
dihasilkan dalam amandemen UUD 1945 tidak hanya menyebutkan secara eksplisit
kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Tidak hanya itu, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan
kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Bahkan bagi seorang hakim, Pasal 24A Ayat (2) UUD
1945 secara eksplisit menentukan, hakim
agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Khusus untuk
menjaga kemandirian dan integritas hakim, amandemen UUD 1945 juga memunculkan
sebuah lembaga baru, yaitu Komisi Yudisial.
Untuk mengkaji secara komprehensif implikasi hasil amandemen
UUD 1945 terhadap kekuasaan kehakiman, tulisan ini membahas KEKUASAAN KEHAKIMAN
YANG MERDEKA DAN BERTANGGUNG JAWAB DI MAHKAMAH AGUNG. Sesuai dengan hal
tersebut, pembahasan dibagi dalam tiga isu pokok, yaitu (1) peraturan
perundang-undangan apa saja yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang
memerlukan penyesuaian pasca-amandemen UUD 1945, (2) setelah dibentuk
lembaga-lembaga baru pasca-amandemen, bagaimanakah hubungan checks and
balances antara lembaga-lembaga tersebut khususnya menyangkut kewenangan
secara kelembagaan masing-masing, dan (3) bagaimanakah kaitan antara
pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan pertanggungjawabannya
kepada publik.
Pasca
Amandemen UUD 1945
Guna menindaklanjuti perubahan besar terhadap kekuasaan kehakiman pasca-amandemen
UUD 1945, selama tahun 2003-2004 telah dilakukan serangkaian penyesuaian (baca:
perubahan dan pembentukan beberapa undang-undang) yang meliputi: (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No 24/2004),
(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No 4/2004)[4],
(3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005 tentang Mahkamah Agung (UU No 5/2004)[5],
(4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum (UU No 8/2004)[6],
(5) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No
9/2004)[7],
dan (6) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Judisial (UU No
22/2004).
Dari serangkain undang-undang di atas, dapat
dikemukakan beberapa catatan penting yang perlu dikaji lebih lanjut berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman pasca-amandemen UUD 1945.
Pertama, penambahan kata
atau frasa tertentu dalam menyebut kekuasaan kehakiman yang merdeka. Misalnya,
Pasal 1 UU No 4/2004 menyatakan, kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.
Jika dibandingkan dengan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 1 UU No 4/2004 jelas berbeda karena terjadi penambahan kata/frasa:
“negara”, “berdasarkan Pancasila”, dan “demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia”.
Kalau ditelusuri lebih jauh, bunyi Pasal
1 UU No 4/2004 persis sama dengan bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No 14/1970).
Yang berbeda hanya dalam memberikan penjelasan. Penjelasan Pasal 1 UU No 4/2004
menyebutkan:
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka
dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari
segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal
sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Kebebasan dalam melaksanakan
wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Sementara itu, Penjelasan Pasal 1 UU No
14/1970 menyebutkan:
Kekuasaan
Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya Kekuasaan
Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan
kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra
judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-undang.
Kebebasan
dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas
dari pada Hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta
azas-azas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan
kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan
Rakyat Indonesia.
Di samping tidak mudah untuk memaknai
frasa “berdasarkan Pancasila” dan “demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia”, dengan tetap dipertahankan kata “negara” dalam Pasal 1 UU No 4/2004
kekuasaan kehakiman yang merdeka tetap potensial dipengaruhi oleh pemerintah.
Dalam teori tentang negara (general theory
of state), Krabbe mengatakan bahwa kata “negara” sering
diidentifikasikan dengan “pemerintah” apabila kata itu dipergunakan dalam
pengertian “kekuasaan negara” atau “kemauan negara”.[8] Sementara dalam
praktik, sepanjang kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru, pemerintah begitu dominan
mempengaruhi kekuasaan kehakiman.[9] Artinya, dengan tetap
mempertahankan kata “negara” dalam UU No 4/2004, pengaruh pemerintah masih sulit untuk dihindari dalam kekuasaan kehakiman.
Kedua, dalam
hal hubungan pengadilan
dengan lembaga negara lainnya, Pasal 27 UU No 4/2004 menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat memberi keterangan,
pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga
pemerintahan apabila diminta. Sekalipun bersifat fakultatif (karena
“dapat”), adanya ruang bagi lembaga negara dan lembaga pemerintahan untuk meminta
keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada MA dapat dikatakan
menambah rumusan pemberian pertimbangan oleh MA yang terdapat dalam konstitusi.
Pasal 14 UUD 1945 secara limitatif menentukan, Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung.
Padahal, di kalangan MA sudah ada pandangan bahwa pemberian pertimbangan
kepada lembaga negara lainnya dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus
perkara. Pandangan ini dapat dibaca dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI.
“Secara tidak
langasung, pelaksanaan fungsi ini dapat mengganggu independensi hakim dalam
memutus perkara. Hal tersebut akan terjadi jika permasalahan yang dimintakan
pertimbangan hukum tersebut kemudian menjadi perkara di pengadilan. Ambil
contoh, misalnya DPR meminta pertimbangan hukum ke MA apakah Badan Pemeriksa
Keuangan berwenang untuk memeriksa keuangan suatu yayasan militer yang mendapat
dana dari APBN. Jika MA memberikan pertimbangan hukum atas pertanyaan tersebut
kemudian ada pihak yang menggugat yayasan militer ke pengadilan dengan
berdasarakan kepada pertimbangan hukum MA, maka hakim yang memutus perkara akan
terusik independensinyanjika ia akan menafsirkan berbeda dengan pertimbangan
hukum yang dibuat oleh MA tersebut“.[10]
Selain masalah intervensi, pelaksanaan
pemberian pertimbangan tersebut dapat merendahkan wibawa MA. Hal itu dapat
terjadi apabila pertimbangan hukum yang dibuat MA atas suatu hal diacuhkan oleh
lembaga yang meminta atau pihak lain yang dirugikan. Hal ini sangat mungkin
terjadi karean sifat pertimbangan hukum tersebut tidak mengikat.[11] Oleh karenanya,
jika fungsi ini dihapuskan, maka sedikit banyak pekerjaan MA, khususnya Ketua
MA akan berkurang. Selama ini, mengingat cukup banyak permintaan dari berbagai
pihak kepada MA untuk memberikan pertimbangan hukum atas suatu hal, permintaan
pertimbangan hukum ini cukup membebani waktu dan pemikiran MA.[12]
Di luar
catatan penting di atas, secara umum, Rifqi S Assegaf menilai bahwa penyusunan
dan perubahan undang-undang bidang peradilan terjebak dalam ketiadaan konsep.
Seakan dalam pandangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, masalah utama
lembaga peradilan hanyalah untuk menyesuaikan undang-undang tersebut dengan
perubahan UUD 1945 dan penyesuaian dengan penyatuan atap. Karena itu, Rifqi S
Assegaf menilai bahwa perubahan undang-undang bidang peradilan merupakan
lelucon yang tidak lucu.[13]
Kalau dibaca secara mendalam beberapa
undang-undang tentang peradilan (UU No 4/2004, UU No 5/2005, UU No 8/2004, dan
UU No 9/2004), pandangan di atas sulit dimentahkan. Penyebabnya, kata Rifqi S
Assegaf, pembaruan undang-undang tentang peradilan tidak dimulai dari discourse yang mendalam mengenai bangunan
pengadilan ideal. Misalnya, (1) apakah perlu semua perkara bisa dimintakan
banding atau kasasi?; (2) apakah sistem memutus perkara yang bersifat majelis
perlu diterapkan untuk semua perkara atau boleh untuk perkara tertentu hakim
tunggal?; (3) bagaimana seharusnya hubungan antara badan peradilan yang ada
dengan pengadilan khusus dan bagaimana pula seharusnya hubungan lembaga-lembaga
quasi yudisil dengan pengadilan?; (4) apakah perlu kembali diperkenalkan konsep
pengadilan adat?; (5) bagaimana seharusnya hubungan antar pengadilan dengan
kepolisian, kejaksaan dan pengacara?; dan (6) bagaiamana memastikan adanya
akses yang luas bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan?[14]
Hal mendasar lainnya yang dikemukakan oleh Rifqi S Assegaf adalah status
hakim yang kembali menjadi pegawai negeri sipil. Dikatakan kembali karena Pasal
11 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (UU No 43/1999) menyatakan: pejabat
negara terdiri atas Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada
Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan hakim pada semua badan peradilan.
Kemudian, kedudukan hakim sebagai pejabat negara dikembalikan sebagai sebagai
pegawai negeri sipil dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam: (1) Pasal 14
Ayat (2) UU No 8/2004[15]; (2)
Pasal 21 UU No 8/2004[16]; (3)
Pasal 14 Ayat (2) UU No 9/2004;[17] dan (4)
Pasal 21 UU No 9/2004.[18]
Hubungan
MA dengan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial
Sebagaimana disebutkan di atas, pasca-amandemen UUD 1945 yang dilakukan
tidak hanya menyesuaikan beberapa undang-undang bidang peradilan yang sudah ada
tetapi juga membentuk undang-undang baru terutama untuk mewadahi pembentukan
dan pengisian lembaga baru, yaitu UU No 24/2003 dan UU No 22/2004. Bagian ini
akan membahas hubungan checks and balances
antara MA dengan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY).
1. Hubungan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi
Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara), dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan rumusan Pasal 24 Ayat (2)
UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan MK.
Sekalipun sama-sama pemegang kekuasaan kehakiman, kedua lembaga tersebut
mempunyai kewenangan yang berbeda. Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MA
berwenang: (1) mengadili pada tingkat kasasi, (2) menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan (3)
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Sementara itu,
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MK berwenang: (1) mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap UUD, (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD, (3) memutus pembubaran partai politik, dan (4) memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain kewenangan, Pasal 24C Ayat
(2) UUD 1945 menentukan bahwa MK memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut UUD.
Berdasarkan ketentuan di tingkat konstitusi, kemungkinan terjadinya
persinggungan antara MA dengan MK ada pada titik penggunaan wewenang pengujian
peraturan perundang-undangan (judicial
review). Misalnya, ada kelompok masyarakat yang mengajukan judicial review PP No 6 Tahun 2005 tentang
Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala daerah dan Wakil
Kepala Daerah. Sementara itu, dalam waktu yang bersamaan, ada pula pengajuan judicial review UU No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah --yang menjadi dasar pembentukan PP No 6/2005--
kepada MK. Kebetulan pula, MA dan MK memutus serentak. MA memutus PP No 6/2005
tidak bertentangan dengan UU No 32/2004. Tetapi, di sisi lain, MK memutuskan
bahwa UU No 32/2004 bertentangan dengan UUD 1945.
Kemungkinan terjadinya masalah seperti di atas terjawab dengan dalam UU No
24/2003. Pasal 55 UU No 24/2003 menyatakan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila
undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam
proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Artinya, dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 55 UU No 24/2003,
kemungkinan terjadinya permasalahan antara putusan MA dengan putusan MK sudah
teratasi.
Selain masalah judicial review,
kemungkinan persinggungan juga dapat terjadi dalam isu sengketa kewenangan
antarlembaga. Namun, ini pun dapat diselesaikan dengan ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 65 UU No 24/2003, MA tidak
dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada MK.
2. Hubungan Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial
Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, calon hakim agung diusulkan KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden. Kemudian, Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Berdasarkan ketentuan itu, hubungan KY dengan MA terjadi dalam proses
pengusulan calon hakim agung; dan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
Dalam proses awal kehadirannya, terlihat ada ketegangan hubungan antara KY
dengan MA. Ketegangan itu muncul ketika KY merespon kejanggalan yang terjadi
dalam kasus sengketa penetapan hasil pemilihan Walikota-Wakil Walikota Depok.
Sebagaimana diketahui, Pengadilan Tinggi Jawa Barat (04/08-2005) membatalkan
hasil pemilihan Walikota-Wakil Walikota Depok. Majelis hakim yang diketuai Nana
Juwana menetapkan Badrul Kamal/Syihabuddin Ahmad memperoleh suara 269.551 suara
dan Nur Mahmudi Ismail/Yuyun Wirasaputra memperoleh 204.828 suara. Berdasarkan
putusan tersebut, perolehan suara untuk pasangan Badrul Kamal bertambah 62.770,
sedangkan suara untuk Nur Mahmudi dikurangi 27.782.[19]
Karena menilai terjadi kejanggalan dalam penyelesaian kasus di atas, KY
memeriksa hakim yang menangani kasus sengketa pemilihan di Kota Depok.
Kemudian, KY merekomendasikan kepada MA (14/09-2005) untuk pemberhentian
sementara selama satu tahun Ketua PT Jawa Barat Nana Juwana. Dalam rekomendasi
itu, KY memberikan tenggat waktu satu bulan supaya MA memberikan tanggapan atas
rekomendasi KY.[20] Anehnya, terobosan KY
justru mendapat resistensi dari berbagai kalangan di MA.
Sekalipun ada resistensi, dalam Sambutan Rakernas MA, Peradilan Tingkat
Banding, Pengadilan Tingkat Pertama Kelas IA Seluruh Indonesia di Denpasar,
Bali 19-22 September 2005, Ketua MA Bagir Manan mengatakan:
“Sekarang kita
mempunyai KY yang saya yakin akan lebih memperkuat upaya membenahi tingkah laku
tidak terpuji dari hakim. Meskipun KY tidak berwenang meneliti dan memeriksa
putusan hakim dan tindakan-tindakan teknis yustisial lainnya, tetapi kewenangan
yang ada disertai kerjasama yang erat dengan MA, akan sangat memberdayakan (empowering) usaha kita menghapus secara
tuntas perbuatan tercela para hakim atau petugas pengadilan lainnya. Saya
berjanji akan memanfaatkan semaksimal mungkin temuan KY mengenai perbuatan
tidak terpuji para hakim dan lain-lain pejabat pengadilan“.
Masalahnya, apakah pernyataan di atas merupakan komitmen institusi
pengadilan atau hanya merupakan pernyataan Bagir Manan sebagai Ketua MA? Kalau
merupakan sikap institusi pengadilan, maka ada harapan bahwa KY akan lebih
mudah mengawasi tingkah laku tidak terpuji hakim sehingga pelan-pelan
kewibawaan pengadilan bisa diperbaiki.
Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka di MA dan
Pertanggungjawaban Kepada Publik
Mengapa kekuasaan
kehakiman atau peradilan begitu mudah tunduk pada kekuasaan lain? Secara
konseptual, dalam pandangan Bagir Manan ada beberapa jawaban, yaitu (1)
kekuasaan kehakiman memang sangat lemah dibandingkan kekuasaan legislatif dan
yudikatif, (2) tatanan politik. Dalam kenyataan, kehakiman selalu tidak berdaya
menghadapai tekanan politik untuk menjaga agar kekuasaan kehakiman yang merdeka
tetap utuh, dan (3) sistem administrasi, misalnya anggaran belanja. Selama
sistem anggaran belanja kekuasaan kehakiman tergantung pada “kebaikan hati” pemerintah
sebagai pemegang kas negara, maka berbagai upaya memperkuat kekuasaan kekuasaan
kehakiman akan mengalami berbagai hambatan. [21]
Karena berbagai penyebab di atas, upaya membebaskan kekuasaan kehakiman
dari pengaruh kekuasaan lain merupakan perjuangan terus-menerus. Bagaimanapun,
kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting dalam
negara demokrasi. Shimon Shetreet dalam Judicial
Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges membagi independence of the judiciary menjadi
empat hal yaitu substantive independence (independensi
dalam memutus perkara), personal
independence [misalnya adanya jaminan masa kerja dan jabatan (term of office and tenure)], internal independence (misalnya
independensi dari atasan dan rekan kerja) dan collective independence (misalnya adanya partisipai
pengadilan dalam administrasi pengadilan, termasuk dalam penentuan budget pengadilan).[22]
Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas
dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung
dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di
luar peradilan. Sehingga Hakim dalam memutus perkara hanya demi kadilan
berdasarkan hukum dan hati nurani.[23] Dalam pandangan Hakim
Agung Artidjo Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan
yang merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang
tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan adalah menyangkut
faktor adanya pengadilan yang merdeka.[24]
Masalahnya, apakah kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak memerlukan
pertanggungjawaban? Sekalipun tidak bertanggung jawab kepada lembaga negara
lain (seperti eksekutif atau legislatif), pertanggungjawaban kekuasaan
kehakiman yang merdeka kepada publik merupakan keniscayaan. Lalu, bagaimana
kaitan antara pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka (khususnya di MA)
dengan pertanggungjawaban kepada publik?
Sekalipun UU No 5/2004 disahkan sekitar empat bulan setelah pengesahan UU
No 24/2003, UU No 5/2004 tidak mencantumkan masalah tanggung jawab dan
akuntabilitas MA. Dalam BAB III Bagian Kedua Pasal 12-14 UU No 24/2003 secara
eksplisit ditentukan: pertama,
MK bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia,
administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang
baik dan bersih; kedua,
MK wajib mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat secara
terbuka mengenai: (a) permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan
diputus; (b) pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.
Laporan tersebut dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan oleh MK; dan ketiga, masyarakat mempunyai akses untuk
mendapatkan putusan MK.
Tanpa pencantuman dalam undang-undang bukan berarti tidak ada upaya untuk
memperbaiki performance MA. Misalnya, sebagai bagian dari strategi untuk
melakukan pembaharuan, MA telah menetapkan visi dan misi organisasinya, yaitu
“Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif,
efisien serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberi pelayanan
hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat serta
mampu menjawab panggilan pelayanan publik”.[25] Untuk mencapai visi tersebut, MA menetapkan misi-misi sebagai berikut:
1. Mewujudkan rasa
keadilan sesuai dengan Undang-undang dan peraturan serta memenuhi rasa keadilan
masyarakat;
2. Mewujudkan
peradilan yang mandiri dan independen serta bebas dari campur tangan pihak
lain;
3. Memperbaiki
akses bidang peradilan kepada masyarakat;
4. Memperbaiki
kualitas input internal pada proses peradilan;
5. Mewujudkan
institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan dihormati;
6. Melaksanakan
kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.
Sayang, kata-kata indah yang
terdapat dalam visi dan misi (terutama akses masyarakat) tersebut tidak mampu
memberi ruang pertanggungjawaban publik yang memadai. Sejauh
yang bisa diamati, banyak informasi yang tidak terkait dengan independensi
hakim dalam memutus perkara (substantive independence)
begitu sulit disentuh publik. Misalnya menyangkut berita acara persidangan,
biaya yang diperlukan dalam proses berperkara, dan jumlah serta penggunaan
anggaran pengadilan satu periode tertentu. Padahal, semua informasi tersebut
tidak terkait dengan substantive independence
hakim.
Karena kesulitan publik
mengakses sebagian besar informasi, pengadilan menjadi begitu rentan terhadap
segala bentuk penyimpangan. Terkait dengan hal tersebut, Jeramy Bentham
mengingatkan: “In the darkness of secrecy,
sisnister interest and evil in every shape have full swing. Only in proportion
as publicity has place can any of the checks applicable to judicial injustice
operate. Where there is no publicity there is no justice. Publicity is the very
soul of justice. It is the keenest spur to exertion and the surest of the all
guards against improbity. It keeps the judge himself while trying under trial”.[26]
Pandangan Bentham mengingatkan, lembaga yang tidak terbuka
menjadi begitu rentan untuk terjadinya segala macam bentuk penyimpangan. Begitu
juga dengan pengadilan, meski hampir setiap proses persidangan dimulai dengan
kalimat “sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum”, tidak berarti bahwa
pengadilan lebih terbuka dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara yang lain.
Kalau mau jujur, mungkin dengan pengecualian MK, pengadilan kita jauh lebih
tertutup dibandingkan lembaga lain. [27]
Ketertutupan pengadilan amat potensial memicu beragam
penyimpangan. Misalnya, interaksi antara pengacara-jaksa-panitera-hakim dalam
praktik suap di pengadilan. Bagi pengacara yang punya kontak langsung dengan
hakim, persoalan bisa menjadi lebih mudah karena pengacara bisa merundingkan
vonis yang akan dijatuhkan tanpa perlu menghiraukan tututan jaksa. Beberapa
kasus membuktikan, sekalipun jaksa menuntut maksimal, hakim dapat saja
membebaskan terdakwa. Berbeda halnya dengan pengacara yang tidak mempunyai
kontak langsung dengan hakim, diperlukan pihak ketiga untuk menghubungi hakim. Biasanya, peran pihak ketiga lebih praktis dan aman
dilakukan oleh panitera. Inisiatif mempertemukan atau menyambungkan komunikasi
antara hakim dan pengacara bisa datang dari hakim sendiri, bisa pula dari
pengacara terdakwa, namun tidak tertutup kemungkinkan berasal dari penitera
sendiri.
Tidak hanya itu, peran
panitera dalam suatu perkara begitu luar biasanya sampai menyebabkan para
pengacara tidak perlu bekerja bersusah payah. Misalnya, dari informasi mereka
yang biasa berpraktik di pengadilan atau para pemantau peradilan, panitera
kerap membuatkan jawaban-jawaban untuk proses persidangan bagi para pengacara.
Dengan mengerti betul isi kepala hakim –dalam banyak kasus paniteralah
sebenarnya yang mengerjakan draf pertimbangan hukum putusan-- sangat mudah bagi
panitera untuk menyusun suatu jawaban yang dapat diterima oleh logika hakim.
Dalam posisi demikian, bagi pengacara, “memegang” panitera tidak hanya bisa
memegang seorang hakim tetapi juga bisa memegang seluruh hakim yang menangani
perkara.
Contoh lainnya, praktik
kong-kalingkong menyangkut salinan vonis kasus korupsi. Salinan vonis kasus
korupsi yang telah punya kekuatan hukum tetap (inkracht) bisa punya nilai ekonomi cukup tinggi. Caranya,
memperlambat (menunda-nunda) salinan putusan sampai ke tangan eksekutor. Bagi
koruptor, terlambatnya salinan putusan tidak hanya sekedar memperlambat
eksekusi tetapi juga membuka kesempatan untuk melarikan diri. Bukan tidak
mungkin, sebagian koruptor yang melarikan diri tertolong oleh proses
perlambatan salinan putusan sampai ke pihak eksekutor.
Sekalipun sering mendapat
kecaman, sampai sekarang hampir tidak ada perubahan perilaku pengadilan guna
mempercepat penyampaian salinan putusan. Contohnya, sejak awal bulan Agustus
lalu, MA telah menolak permohonan kasasi 43 orang mantan anggota DPRD Provinsi
Sumatra Barat Periode Tahun 1999-2004 dalam kasus korupsi APBD Tahun 2002. Tetapi, sampai saat ini, Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat
belum menerima salinan putusan tersebut. Akibatnya, putusan MA tersebut tidak
bisa dieksekusi.
Banyak kalangan percaya,
keterbukaan (transaparansi) bukan satu-satunya cara melakukan
pertanggungjawaban kepada publik. Bagaimanapun, transparansi mesti menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI
dinyatakan:
“Transaparansi
adalah salah satu prinsip yang harus ada dalam sebuah pengadilan yang baik.
Salah satu dari bentuk transparansi adalah dengan memberikan jaminan bahwa
publik diberikan keleluasaan untuk mengakses informasi. Jaminan untuk mengakses
informasi akan memudahkan masyarakat untuk mengontrol MA. Karena itu biasanya
transparansi dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari upaya menciptakan
akuntabilitas”.
Penutup
Dalam beberapa bulan belakangan, dunia peradilan kita
(khususnya di lingkungan MA) dikejutkan oleh dua kasus suap, yaitu penangkapan
pengacara Abdullah Puteh, Tengku Syaifuddin Popon, di Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta. Pada saat itu (16/06), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap
Popon ketika sedang melakukan transaksi dengan Wakil Ketua Panitera Pengadilan
Tinggi DKI Jakarta Syamsu Rizal Ramadhan. Transaksi yang dilakukan Popon
terkait dengan proses banding kasus korupsi yang dilakukan Abdullah Puteh.
Kemudian, penghujung bulan September (30/9), KPK menggeledah gedung MA. Terkait
dengan penggeledahan itu, KPK menangkap seorang mantan hakim tinggi, Harini
Wijoso, dan lima pegawai MA serta menyita uang 400.000 dollar AS dan Rp 800
juta dari mereka.[28] Uang itu
diberikan Harini Wijoso, yang kini pengacara, untuk mengurus perkara di tingkat
kasasi MA.[29]
Terlepas dari pro-kontra
terhadap langkah yang dilakukan oleh KPK, kedua kasus tersebut dapat dijadikan starting-point untuk membersihkan dan
memulihkan citra pengadilan. Kalau tidak, upaya memperjuangkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan akan tetap kehilangan makna yang sesungguhnya.
Kepustakaan
A Muhammad Asrun, (2004), Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto,
ELSAM, Jakarta.
Artidjo Alkostar, (2005), Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban
Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia
Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.
Bagir Manan, (2005), Restrukturisasi Badan Peradilan,
dalam Majalah Hukum Varia Peradilan,
Tahun XX. No. 239, Jakarta.
Denny Indrayana, Saldi
Isra dll, (2005), Kepala Daerah Pilihan Hakim: Membongkar Kontroversi
Pilkada Depok, Harakatuna Publishing, Bandung.
Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI.
Rifqi Sjarief Assegaf, (tt), Perubahan UU Bidang Peradilan: Lelucon Yang Tidak
Lucu,
http://www.parlemen.net/privdocs/a0245e30dobb2855758aaf33ba5c5e23.pdf
Rifqi S Assegaf
& Josi Katharina, (2005), Membuka
Ketertutupan Pengadilan, LeIP, Jakarta.
Saldi Isra, (2005), Membongkar Mafia Peradilan, dalam KOMPAS, 07 Oktober, Jakarta.
Samidjo, (1986), Ilmu Negara, Cetakan ke-3, ARMICO,
Bandung.
Shimon Shetreet, (1995), Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and
Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes
(eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands.
1985).
[1] Tulisan ini berasal dari makalah
yang disampaikan dalam SEMINAR PENGKAJIAN HUKUM NASIONAL 2005 dengan tema:“Implikasi Amendemen Konstitusi dalam Pembangunan
Hukum di Indonesia”, diadakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN),
di Hotel Sahid, Jakarta 21-22 November 2005.
[3] Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 (sebelum amandemen) menyebutkan:
“Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan
dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim”.
Karena tiga alasan, Pasal 24 dan 25
UUD 1945 beserta penjelasannya sulit menciptakan kekuasaan kehakiman yang
merdeka. Pertama, penjelasan
bukan norma sehingga pembentuk undang-undang tidak perlu merasa terikat dengan
penjelasan. Kedua, penjelasan
hanya menyebut kekuasaan kehakiman terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Artinya, selain kekuasaan pemerintah dapat mempengaruhi kekuasaan kehakiman. Ketiga, undang-undang (sebagai pelaksana
Pasal 24 dan 25 UUD 1945) hanya perlu diadakan untuk menjamin kedudukan para
hakim.
[4] Pengganti Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999)
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
[8] Lebih jauh tentang hal ini, baca
dalam Samidjo, (1986), Ilmu Negara,
Cetakan ke-3, ARMICO, Bandung.
[9] Untuk mengetahui lebih jauh
domoinasi pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman baca, misalnya, A Muhammad
Asrun, (2004), Krisis Peradilan:
Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, ELSAM, Jakarta.
Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah
Agung 2001-2002, dalam bulan Januari sampai Juli 2002 ada 156 surat permohonan
pertimbangan hukum yang diajukan oleh berbagai pihak ke MA.
[13] Rifqi Sjarief Assegaf, (tt), Perubahan UU Bidang Peradilan: Lelucon Yang Tidak
Lucu,
http://www.parlemen.net/privdocs/a0245e30dobb2855758aaf33ba5c5e23.pdf
[15] Pasal 14
Ayat (2) UU No 8/2004 menyatakan untuk
dapat diangkat menjadi hakim, harus pegawai negeri yang berasal dari calon
hakim
[16] Pasal 21
UU No 8/2004 menyatakan seorang hakim yang
diberhentikan dari jabatannya dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai
negeri.
[17] Pasal 14
Ayat (2) UU No 9/2004 menyatakan untuk
dapat diangkat menjadi hakim, harus pegawai negeri yang berasal dari calon
hakim.
[18] Pasal 21
UU No 9/2004 menyatakan seorang hakim yang diberhentikan dari jabatannya
dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri.
[19] Sebelumnya, berdasarkan penghitungan
yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok (06/7),
pasangan Nur Mahmudi ditetapkan memperoleh 232.610 suara. Sementara itu,
pasangan Badrul Kamal memperoleh 206.781 suara. Ketika itu, berdasarkan hasil
penghitungan KPUD, pasangan Nur Mahmudi mengungguli pasangan Badrul Kamal
dengan selisih suara 25.829.
Beragam pandangan tentang kisruh sengketa
hasil pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok dapat dibaca dalam Denny
Indrayana, Saldi Isra dll, (2005), Kepala Daerah Pilihan Hakim: Membongkar
Kontroversi Pilkada Depok, Harakatuna Publishing, Bandung.
[21] Bagir Manan, (2005), Restrukturisasi Badan Peradilan,
dalam Majalah Hukum Varia Peradilan,
Tahun XX. No. 239, Jakarta.
[22] Shimon Shetreet, (1995), Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and
Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes
(eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands.
1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
[24] Artidjo Alkostar, (2005), Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban
Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia
Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.
[26] Dikutip dalam Rifqi S Assegaf & Josi Katharina, (2005), Membuka Ketertutupan Pengadilan, LeIP, Jakarta.
No comments:
Post a Comment