Friday, November 23, 2012

NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI: Sistem Peradilan dan Realitas Penegakan Hukum


Oleh Saldi Isra[2]

Pemisahan Kekuasaan Negara: Salah Satu Karakter Negara Hukum



Merujuk teori ketatanegaraan klasik yang dikemukakan Aristoteles, konsep negara hukum (rule of law) merupakan pemikiran yang dihadapkan (contrast) dengan konsep rule of man.[3] Dalam modern constitutional state, salah satu ciri negara hukum (the rule of law atau rechtsstaat)[4] ditandai dengan pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern.[5] Sebagaimana Julius Stahl, pembagian atau pemisahan kekuasaan adalah salah satu elemen penting teori negara hukum Eropa Kontinental.[6] Hadirnya ide pembatasan kekuasaan itu tidak terlepas dari pengalaman penumpukan semua cabang kekuasaan negara dalam tangan satu orang sehingga menimbulkan kekuasaan yang absolut. Misalnya perkembangan dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Inggris, raja pernah begitu berkuasa karena menggabungkan tiga cabang kekuasaan negara (law-giver, the executor of the law, and the judge) dalam satu tangan. Karena itu, sejarah pembagian kekuasaan negara bermula dari gagasan pemisahan kekuasaan ke dalam berbagai organ agar tidak terpusat di tangan seorang monarki (raja absolut).[7]
 
Berhubungan dengan pembatasan kekuasaan itu, Miriam Budiardjo dalam buku “Dasar-Dasar Ilmu Politik” membagi kekuasaan secara vertikal dan horizontal.[8] Secara vertikal, kekuasaan dibagi berdasarkan tingkatan atau hubungan antar tingkatan pemerintahan. Sementara secara horizontal, kekuasaan menurut fungsinya yaitu dengan membedakan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.[9]
 
Berdasarkan sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan, gagasan pemisahan kekuasaan secara horizontal pertama kali dikemukakan oleh John Locke dalam buku “Two Treaties of Civil Government”. Dalam buku tersebut, John Locke membagi kekuasaan dalam sebuah negara menjadi tiga cabang kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power). Dari ketiga cabang kekuasaan itu: legislatif adalah kekuasaan membentuk undang-undang; eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan federatif adalah kekuasaan untuk melakukan hubungan internasional dengan negara-negara lain.[10]
 
Selanjutnya, konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan John Locke dikembangkan oleh Baron de Montesquieu dalam karyanya L’Espirit des Lois (The Spirit of the Laws). Dalam uraiannya, Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang yang oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri (eksekutif) dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-undang (yudikatif). Ketiga kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya.[11] Konsepsi yang dikembangkan Montesquieu lebih dikenal dengan ajaran Trias Politica.

Jika dibandingkan konsep pembagian kekuasaan Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1785), perbedaan mendasar pemikiran keduanya: Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif sedangkan Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif berdiri sendiri.[12] Montesquieu sangat menekankan kebebasan badan yudikatif karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja Bourbon.[13] Sementara pemikiran Locke sangat dipengaruhi praktik ketatanegaraan Inggris yang meletakkan kekuasaan peradilan tertinggi di lembaga legislatif, yaitu House of Lord.

Sedikit berbeda dengan Locke dan Montesquieu, van Vollenhoven membagi kekuasaan negara menjadi empat fungsi, yaitu regeling; bestuur; rechtspraak; dan politie. Pembagian keempat kekuasaan negara itu kemudian dikenal dengan teori “Catur Praja”.[14] Dalam teori itu, yang dimaksud dengan regeling adalah kekuasaan negara untuk membentuk aturan. Bestuur adalah cabang kekuasaan yang menjalankan fungsi pemerintahan. Sementara itu, rechtspraak merupakan cabang kekuasaan negara yang melaksanakan fungsi peradilan. Yang berbeda dengan teori Locke dan Montesquieu, Vollenhoven memunculkan politie sebagai cabang kekuasaan yang berfungsi menjaga ketertiban masyarakat dan bernegara. 

Kajian lebih jauh atas pendapat Locke, Montesquieu, Vollenhoven bukan pada perbedaan cabang kekuasaan negara tersebut. Apalagi, realitas menunjukkan bahwa masalah ketatanegaraan semakin kompleks. Karenanya, pembagian kekuasaan negara secara konvensional yang mengasumsikan hanya adanya tiga cabang kekuasaan di suatu negara –eksekutif, legislatif dan yudikatif– sudah tidak mampu lagi menjawab kompleksitas yang muncul dalam perkembangan negara modern.[15] Perkembangan teori hukum tata negara modern (modern constitutional theory) membuktikan, cabang-cabang kekuasaan negara semakin berkembang dan pola hubungannya pun semakin complicated.[16]
 
Namun kajian teoritis dalam cabang kekuasaan yang dikemukakan Locke, Montesquieu, dan Vollenhoven lebih kepada hubungan antar-cabang kekuasaan tersebut, yaitu apakah masing-masing cabang kekuasaan negara tersebut terpisah antara cabang kekuasaan yang satu dengan lainnya, atau di antaranya masih punya hubungan untuk saling bekerja-sama. Untuk melihat hubungan antara keduanya, dapat didalami dari teori pemisahan kekuasaan (separation of power), pembagian kekuasaan (distribution of power atau division of power), dan checks and balances

Secara umum, “pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia dimaknai (separation of power) dimulai dari pemahaman atas teori Trias Politica Montesquieu. Hal itu muncul dari pemahaman pendapat Montesquieu yang menyatakan, “when the legislative and the executive powers are united in the same person, or in the same body of magistrate, there can be no liberty”.[17] Begitu juga dalam hubungan dengan kekuasaan kehakiman dan kekuasaan lainnya, Montesquieu menyatakan:

Again, there is no liberty, if the judiciary power be not separated from the legislative and the executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would be then the legislator. Were it joined to the executive power, the judge might behave with violence and oppression.[18]

Tidak terbantahkan, pandangan Montesquieu memberikan pengaruh yang amat luas dalam pemikiran kekuasaan negara. Pendapat Montesquieu yang dikutipkan dimaknai bahwa cabang-cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah atau tidak punya hubungan sama sekali. Dengan pemahaman seperti itu, karena sulit untuk membuktikan ketiga cabang kekuasaan itu betul-betul terpisah satu dengan lainnya, banyak pendapat yang mengatakan bahwa pendapat Montesquieu tidak pernah dipraktikkan secara murni[19] atau tidak pernah dilahirkan dalam fakta,[20] tidak realistis dan jauh dari kenyataan.[21] Karenanya itu, Jimly Asshidiqie menyatakan:

“Konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh Montesquieau jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahwa ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lainnya sesuai dengan prinsip checks and balances”.[22]

Jika disimak secara cermat, Montesquieu tidak mengatakan bahwa antara cabang kekuasaan negara yang ada tidak punya hubungan satu sama lainnya. Montesquieu lebih menekankan pada masalah pokok, cabang-cabang kekuasaan negara tidak boleh berada dalam satu tangan atau dalam satu organ negara. Namun secara umum dipahami, Montesquieu menghendaki pemisahan yang amat ketat di antara cabang-cabang kekuasaan negara, yaitu satu cabang kekuasaan hanya mempunyai satu fungsi, atau sebaliknya satu fungsi hanya dilaksanakan oleh satu cabang kekuasaan negara saja. Padahal, Montesquieu menghendaki agar fungsi satu cabang kekuasaan negara tidak dilakukan oleh cabang kekuasaan lain atau dirangkap oleh cabang kekuasaan yang lain. Secara ideal, teori pemisahan kekuasaan mestinya dimaknai bahwa dalam menjalankan fungsi atau kewenangannya, cabang kekuasaan negara punya eksklusifitas yang tidak boleh disentuh atau dicampuri oleh cabang kekuasaan negara yang lain. 

Dengan banyaknya kritikan terhadap separation of power, teori Trias Politica dijelaskan dengan teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power atau division of power). Teori ini digunakan oleh para pemikir hukum tata negara dan ilmu politik karena perkembangan praktik ketatanegaraan tidak mungkin lagi suatu cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah dari cabang kekuasaan yang lain. Bahkan dalam pandangan John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, menyebut pembagian kekuasaan dengan “separation of functions”. [23] Pendapat Garvey dan Aleinikoff melihat bahwa dalam Teori Trias Politica tidak mungkin memisahkan secara ketat cabang-cabang kekuasaan negara. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah memisahkan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasaan negara bukan memisahkannya secara ketat seperti tidak punya hubungan sama sekali. 

Setelah mendalami banyak literatur tentang pembatasan kekuasaan negara, Jimly Asshiddiqie menilai bahwa istilah-istilah separation of power, distribution of power/division of power sebenarnya mempunyai arti yang tidak jauh berbeda.[24] Untuk menguatkan penilaian tersebut Asshiddiqie mengutip O. Hood Phillips dan kawan-kawan yang mengatakan, the question whether the separtion of power (i.e. the distribution of power of the various powers of government among different organs).[25] Karena pendapat itu, Asshiddiqie mengatakan, Hood Phillips mengidentikkan kata separation of power dengan distrubtion of power. Oleh karena itu, kedua kata tersebut dapat saja dipertukarkan tempatnya.[26] Tidak hanya itu, Peter L. Strauss cenderung mempersamakan distribution of power dengan checks and balances.[27] Dalam tulisan “The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and Fourth Branch” Strauss menjelaskan:

Unlike the separation of powers, the checks and balances idea does not suppose a radical division of government into three parts, with particular functions neatly parceled out among them. Rather, focus is on relationship and interconnections, on maintaining the conditions in which the intended struggle at the apex may continue.[28]

Berdasarkan pendapat Strauss tersebut, checks and balances dalam upaya menciptakan relasi konstusional untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan[29] di antara cabang-cabang kekuasaan negara untuk membangun keseimbangan hubungan dalam praktik penyelenggaraan negara. Jika dalam teori pemisahan kekuasaan dan pembagian kekuasaan lebih menggambarkan kejelasan posisi setiap cabang kekuasaan negara dalam menjalankan fungsi-fungsi konstitusionalnya, checks and balances lebih menekankan kepada upaya membangun mekanisme perimbangan untuk saling kontrol antar-cabang kekuasaan negara. Bagaimanapun, mekanisme checks and balances hanya dapat dilaksanakan sepanjang punya pijakan konstitusional guna mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh cabang-cabang kekuasaan negara. 

Sistem Peradilan Pasca-Perubahan UUD 1945

Menyadari bahwa untuk memastikan terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan jaminan yang tegas dalam konstitusi, langkah besar yang dihasilkan dalam amandemen UUD 1945 tidak hanya menyebutkan secara eksplisit kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Tidak hanya itu, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Bahkan bagi seorang hakim, Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menentukan, hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Khusus untuk menjaga kemandirian dan integritas hakim, amandemen UUD 1945 juga memunculkan sebuah lembaga baru, yaitu Komisi Yudisial. 

Guna menindaklanjuti perubahan besar terhadap kekuasaan kehakiman pasca-amandemen UUD 1945, selama tahun 2003-2004 telah dilakukan serangkaian penyesuaian (baca: perubahan dan pembentukan beberapa undang-undang) yang meliputi: (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No 24/2004), (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No 4/2004)[30], (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005 tentang Mahkamah Agung (UU No 5/2004)[31], (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum (UU No 8/2004)[32], (5) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No 9/2004)[33], dan (6) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Judisial (UU No 22/2004).

Dari serangkain undang-undang di atas, dapat dikemukakan beberapa catatan penting yang perlu dikaji lebih lanjut berkaitan dengan kekuasaan kehakiman pasca-amandemen UUD 1945.

Pertama, penambahan kata atau frasa tertentu dalam menyebut kekuasaan kehakiman yang merdeka. Misalnya, Pasal 1 UU No 4/2004 menyatakan, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Jika dibandingkan dengan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 UU No 4/2004 jelas berbeda karena terjadi penambahan kata/frasa: “negara”, “berdasarkan Pancasila”, dan “demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. 

Kalau ditelusuri lebih jauh, bunyi Pasal 1 UU No 4/2004 persis sama dengan bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No 14/1970). Yang berbeda hanya dalam memberikan penjelasan. Penjelasan Pasal 1 UU No 4/2004 menyebutkan:

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Sementara itu, Penjelasan Pasal 1 UU No 14/1970 menyebutkan:

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-undang.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas dari pada Hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta azas-azas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Di samping tidak mudah untuk memaknai frasa “berdasarkan Pancasila” dan “demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”, dengan tetap dipertahankan kata “negara” dalam Pasal 1 UU No 4/2004 kekuasaan kehakiman yang merdeka tetap potensial dipengaruhi oleh pemerintah. Dalam teori tentang negara (general theory of state), Krabbe mengatakan bahwa kata “negara” sering diidentifikasikan dengan “pemerintah” apabila kata itu dipergunakan dalam pengertian “kekuasaan negara” atau “kemauan negara”.[34] Sementara dalam praktik, sepanjang kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru, pemerintah begitu dominan mempengaruhi kekuasaan kehakiman.[35] Artinya, dengan tetap mempertahankan kata “negara” dalam UU No 4/2004, pengaruh pemerintah masih sulit untuk dihindari dalam kekuasaan kehakiman. 

Kedua, dalam hal hubungan pengadilan dengan lembaga negara lainnya, Pasal 27 UU No 4/2004 menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta. Sekalipun bersifat fakultatif (karena “dapat”), adanya ruang bagi lembaga negara dan lembaga pemerintahan untuk meminta keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada MA dapat dikatakan menambah rumusan pemberian pertimbangan oleh MA yang terdapat dalam konstitusi. Pasal 14 UUD 1945 secara limitatif menentukan, Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung

Padahal, di kalangan MA sudah ada pandangan bahwa pemberian pertimbangan kepada lembaga negara lainnya dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus perkara. Pandangan ini dapat dibaca dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI

“Secara tidak langasung, pelaksanaan fungsi ini dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus perkara. Hal tersebut akan terjadi jika permasalahan yang dimintakan pertimbangan hukum tersebut kemudian menjadi perkara di pengadilan. Ambil contoh, misalnya DPR meminta pertimbangan hukum ke MA apakah Badan Pemeriksa Keuangan berwenang untuk memeriksa keuangan suatu yayasan militer yang mendapat dana dari APBN. Jika MA memberikan pertimbangan hukum atas pertanyaan tersebut kemudian ada pihak yang menggugat yayasan militer ke pengadilan dengan berdasarakan kepada pertimbangan hukum MA, maka hakim yang memutus perkara akan terusik independensinyanjika ia akan menafsirkan berbeda dengan pertimbangan hukum yang dibuat oleh MA tersebut“.[36]

Selain masalah intervensi, pelaksanaan pemberian pertimbangan tersebut dapat merendahkan wibawa MA. Hal itu dapat terjadi apabila pertimbangan hukum yang dibuat MA atas suatu hal diacuhkan oleh lembaga yang meminta atau pihak lain yang dirugikan. Hal ini sangat mungkin terjadi karean sifat pertimbangan hukum tersebut tidak mengikat.[37] Oleh karenanya, jika fungsi ini dihapuskan, maka sedikit banyak pekerjaan MA, khususnya Ketua MA akan berkurang. Selama ini, mengingat cukup banyak permintaan dari berbagai pihak kepada MA untuk memberikan pertimbangan hukum atas suatu hal, permintaan pertimbangan hukum ini cukup membebani waktu dan pemikiran MA.[38]
 
Di luar catatan penting di atas, secara umum, Rifqi S Assegaf menilai bahwa penyusunan dan perubahan undang-undang bidang peradilan terjebak dalam ketiadaan konsep. Seakan dalam pandangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, masalah utama lembaga peradilan hanyalah untuk menyesuaikan undang-undang tersebut dengan perubahan UUD 1945 dan penyesuaian dengan penyatuan atap. Karena itu, Rifqi S Assegaf menilai bahwa perubahan undang-undang bidang peradilan merupakan lelucon yang tidak lucu.[39]
 
Kalau dibaca secara mendalam beberapa undang-undang tentang peradilan (UU No 4/2004, UU No 5/2005, UU No 8/2004, dan UU No 9/2004), pandangan di atas sulit dimentahkan. Penyebabnya, kata Rifqi S Assegaf, pembaruan undang-undang tentang peradilan tidak dimulai dari discourse yang mendalam mengenai bangunan pengadilan ideal. Misalnya, (1) apakah perlu semua perkara bisa dimintakan banding atau kasasi?; (2) apakah sistem memutus perkara yang bersifat majelis perlu diterapkan untuk semua perkara atau boleh untuk perkara tertentu hakim tunggal?; (3) bagaimana seharusnya hubungan antara badan peradilan yang ada dengan pengadilan khusus dan bagaimana pula seharusnya hubungan lembaga-lembaga quasi yudisil dengan pengadilan?; (4) apakah perlu kembali diperkenalkan konsep pengadilan adat?; (5) bagaimana seharusnya hubungan antar pengadilan dengan kepolisian, kejaksaan dan pengacara?; dan (6) bagaiamana memastikan adanya akses yang luas bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan?[40]
 
Hal mendasar lainnya yang dikemukakan oleh Rifqi S Assegaf adalah status hakim yang kembali menjadi pegawai negeri sipil. Dikatakan kembali karena Pasal 11 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (UU No 43/1999) menyatakan: pejabat negara terdiri atas Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan hakim pada semua badan peradilan. Kemudian, kedudukan hakim sebagai pejabat negara dikembalikan sebagai sebagai pegawai negeri sipil dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam: (1) Pasal 14 Ayat (2) UU No 8/2004[41]; (2) Pasal 21 UU No 8/2004[42]; (3) Pasal 14 Ayat (2) UU No 9/2004;[43] dan (4) Pasal 21 UU No 9/2004.[44]
 
Hubungan MA dengan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial
 
Sebagaimana disebutkan di atas, pasca-amandemen UUD 1945 yang dilakukan tidak hanya menyesuaikan beberapa undang-undang bidang peradilan yang sudah ada tetapi juga membentuk undang-undang baru terutama untuk mewadahi pembentukan dan pengisian lembaga baru, yaitu UU No 24/2003 dan UU No 22/2004. Bagian ini akan membahas hubungan checks and balances antara MA dengan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). 

1. Hubungan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi
Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara), dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan rumusan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan MK.
Sekalipun sama-sama pemegang kekuasaan kehakiman, kedua lembaga tersebut mempunyai kewenangan yang berbeda. Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MA berwenang: (1) mengadili pada tingkat kasasi, (2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan (3) mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Sementara itu, Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MK berwenang: (1) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (3) memutus pembubaran partai politik, dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain kewenangan, Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa MK memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Berdasarkan ketentuan di tingkat konstitusi, kemungkinan terjadinya persinggungan antara MA dengan MK ada pada titik penggunaan wewenang pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review). Misalnya, ada kelompok masyarakat yang mengajukan judicial review PP No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah. Sementara itu, dalam waktu yang bersamaan, ada pula pengajuan judicial review UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah --yang menjadi dasar pembentukan PP No 6/2005-- kepada MK. Kebetulan pula, MA dan MK memutus serentak. MA memutus PP No 6/2005 tidak bertentangan dengan UU No 32/2004. Tetapi, di sisi lain, MK memutuskan bahwa UU No 32/2004 bertentangan dengan UUD 1945.
Kemungkinan terjadinya masalah seperti di atas terjawab dengan dalam UU No 24/2003. Pasal 55 UU No 24/2003 menyatakan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Artinya, dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 55 UU No 24/2003, kemungkinan terjadinya permasalahan antara putusan MA dengan putusan MK sudah teratasi.
Selain masalah judicial review, kemungkinan persinggungan juga dapat terjadi dalam isu sengketa kewenangan antarlembaga. Namun, ini pun dapat diselesaikan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 65 UU No 24/2003, MA tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada MK. 

2. Hubungan Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial
Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, calon hakim agung diusulkan KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden. Kemudian, Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan ketentuan itu, hubungan KY dengan MA terjadi dalam proses pengusulan calon hakim agung; dan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Dalam proses awal kehadirannya, terlihat ada ketegangan hubungan antara KY dengan MA. Ketegangan itu muncul ketika KY merespon kejanggalan yang terjadi dalam kasus sengketa penetapan hasil pemilihan Walikota-Wakil Walikota Depok. Sebagaimana diketahui, Pengadilan Tinggi Jawa Barat (04/08-2005) membatalkan hasil pemilihan Walikota-Wakil Walikota Depok. Majelis hakim yang diketuai Nana Juwana menetapkan Badrul Kamal/Syihabuddin Ahmad memperoleh suara 269.551 suara dan Nur Mahmudi Ismail/Yuyun Wirasaputra memperoleh 204.828 suara. Berdasarkan putusan tersebut, perolehan suara untuk pasangan Badrul Kamal bertambah 62.770, sedangkan suara untuk Nur Mahmudi dikurangi 27.782.[45]
Karena menilai terjadi kejanggalan dalam penyelesaian kasus di atas, KY memeriksa hakim yang menangani kasus sengketa pemilihan di Kota Depok. Kemudian, KY merekomendasikan kepada MA (14/09-2005) untuk pemberhentian sementara selama satu tahun Ketua PT Jawa Barat Nana Juwana. Dalam rekomendasi itu, KY memberikan tenggat waktu satu bulan supaya MA memberikan tanggapan atas rekomendasi KY.[46] Anehnya, terobosan KY justru mendapat resistensi dari berbagai kalangan di MA.
Sekalipun ada resistensi, dalam Sambutan Rakernas MA, Peradilan Tingkat Banding, Pengadilan Tingkat Pertama Kelas IA Seluruh Indonesia di Denpasar, Bali 19-22 September 2005, Ketua MA Bagir Manan mengatakan:

“Sekarang kita mempunyai KY yang saya yakin akan lebih memperkuat upaya membenahi tingkah laku tidak terpuji dari hakim. Meskipun KY tidak berwenang meneliti dan memeriksa putusan hakim dan tindakan-tindakan teknis yustisial lainnya, tetapi kewenangan yang ada disertai kerjasama yang erat dengan MA, akan sangat memberdayakan (empowering) usaha kita menghapus secara tuntas perbuatan tercela para hakim atau petugas pengadilan lainnya. Saya berjanji akan memanfaatkan semaksimal mungkin temuan KY mengenai perbuatan tidak terpuji para hakim dan lain-lain pejabat pengadilan“.

Masalahnya, apakah pernyataan di atas merupakan komitmen institusi pengadilan atau hanya merupakan pernyataan Bagir Manan sebagai Ketua MA? Kalau merupakan sikap institusi pengadilan, maka ada harapan bahwa KY akan lebih mudah mengawasi tingkah laku tidak terpuji hakim sehingga pelan-pelan kewibawaan pengadilan bisa diperbaiki. 

Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka: Suatu Relaitas Penegakan Hukum

Mengapa kekuasaan kehakiman atau peradilan begitu mudah tunduk pada kekuasaan lain? Secara konseptual, dalam pandangan Bagir Manan ada beberapa jawaban, yaitu (1) kekuasaan kehakiman memang sangat lemah dibandingkan kekuasaan legislatif dan yudikatif, (2) tatanan politik. Dalam kenyataan, kehakiman selalu tidak berdaya menghadapai tekanan politik untuk menjaga agar kekuasaan kehakiman yang merdeka tetap utuh, dan (3) sistem administrasi, misalnya anggaran belanja. Selama sistem anggaran belanja kekuasaan kehakiman tergantung pada “kebaikan hati” pemerintah sebagai pemegang kas negara, maka berbagai upaya memperkuat kekuasaan kekuasaan kehakiman akan mengalami berbagai hambatan. [47]
 
Karena berbagai penyebab di atas, upaya membebaskan kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan lain merupakan perjuangan terus-menerus. Bagaimanapun, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting dalam negara demokrasi. Shimon Shetreet dalam Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges membagi independence of the judiciary menjadi empat hal yaitu substantive independence (independensi dalam memutus perkara), personal independence [misalnya adanya jaminan masa kerja dan jabatan (term of office and tenure)], internal independence (misalnya independensi dari atasan dan rekan kerja) dan collective independence (misalnya adanya partisipai pengadilan dalam administrasi pengadilan, termasuk dalam penentuan budget pengadilan).[48]
 
Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar peradilan. Sehingga Hakim dalam memutus perkara hanya demi kadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.[49] Dalam pandangan Hakim Agung Artidjo Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan yang merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan adalah menyangkut faktor adanya pengadilan yang merdeka.[50]
 
Masalahnya, apakah kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak memerlukan pertanggungjawaban? Sekalipun tidak bertanggung jawab kepada lembaga negara lain (seperti eksekutif atau legislatif), pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman yang merdeka kepada publik merupakan keniscayaan. Lalu, bagaimana kaitan antara pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka (khususnya di MA) dengan pertanggungjawaban kepada publik?

Sekalipun UU No 5/2004 disahkan sekitar empat bulan setelah pengesahan UU No 24/2003, UU No 5/2004 tidak mencantumkan masalah tanggung jawab dan akuntabilitas MA. Dalam BAB III Bagian Kedua Pasal 12-14 UU No 24/2003 secara eksplisit ditentukan: pertama, MK bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi,  dan  keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih; kedua, MK  wajib mengumumkan  laporan berkala kepada masyarakat  secara terbuka mengenai: (a)  permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus; (b)  pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya. Laporan tersebut dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan oleh MK; dan ketiga, masyarakat mempunyai akses untuk mendapatkan putusan MK.

Tanpa pencantuman dalam undang-undang bukan berarti tidak ada upaya untuk memperbaiki performance MA. Misalnya, sebagai bagian dari strategi untuk melakukan pembaharuan, MA telah menetapkan visi dan misi organisasinya, yaitu “Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik”.[51] Untuk mencapai visi tersebut, MA menetapkan misi-misi sebagai berikut:

1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-undang dan peraturan serta memenuhi rasa keadilan masyarakat;
2. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen serta bebas dari campur tangan pihak lain;
3. Memperbaiki akses bidang peradilan kepada masyarakat;
4. Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan;
5. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan dihormati;
6. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.

Sayang, kata-kata indah yang terdapat dalam visi dan misi (terutama akses masyarakat) tersebut tidak mampu memberi ruang pertanggungjawaban publik yang memadai. Sejauh yang bisa diamati, banyak informasi yang tidak terkait dengan independensi hakim dalam memutus perkara (substantive independence) begitu sulit disentuh publik. Misalnya menyangkut berita acara persidangan, biaya yang diperlukan dalam proses berperkara, dan jumlah serta penggunaan anggaran pengadilan satu periode tertentu. Padahal, semua informasi tersebut tidak terkait dengan substantive independence hakim. 

Karena kesulitan publik mengakses sebagian besar informasi, pengadilan menjadi begitu rentan terhadap segala bentuk penyimpangan. Terkait dengan hal tersebut, Jeramy Bentham mengingatkan: “In the darkness of secrecy, sisnister interest and evil in every shape have full swing. Only in proportion as publicity has place can any of the checks applicable to judicial injustice operate. Where there is no publicity there is no justice. Publicity is the very soul of justice. It is the keenest spur to exertion and the surest of the all guards against improbity. It keeps the judge himself while trying under trial”.[52]
 
Pandangan Bentham mengingatkan, lembaga yang tidak terbuka menjadi begitu rentan untuk terjadinya segala macam bentuk penyimpangan. Begitu juga dengan pengadilan, meski hampir setiap proses persidangan dimulai dengan kalimat “sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum”, tidak berarti bahwa pengadilan lebih terbuka dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Kalau mau jujur, mungkin dengan pengecualian MK, pengadilan kita jauh lebih tertutup dibandingkan lembaga lain. [53]

Ketertutupan pengadilan amat potensial memicu beragam penyimpangan. Misalnya, interaksi antara pengacara-jaksa-panitera-hakim dalam praktik suap di pengadilan. Bagi pengacara yang punya kontak langsung dengan hakim, persoalan bisa menjadi lebih mudah karena pengacara bisa merundingkan vonis yang akan dijatuhkan tanpa perlu menghiraukan tututan jaksa. Beberapa kasus membuktikan, sekalipun jaksa menuntut maksimal, hakim dapat saja membebaskan terdakwa. Berbeda halnya dengan pengacara yang tidak mempunyai kontak langsung dengan hakim, diperlukan pihak ketiga untuk menghubungi hakim. Biasanya, peran pihak ketiga lebih praktis dan aman dilakukan oleh panitera. Inisiatif mempertemukan atau menyambungkan komunikasi antara hakim dan pengacara bisa datang dari hakim sendiri, bisa pula dari pengacara terdakwa, namun tidak tertutup kemungkinkan berasal dari penitera sendiri. 

Tidak hanya itu, peran panitera dalam suatu perkara begitu luar biasanya sampai menyebabkan para pengacara tidak perlu bekerja bersusah payah. Misalnya, dari informasi mereka yang biasa berpraktik di pengadilan atau para pemantau peradilan, panitera kerap membuatkan jawaban-jawaban untuk proses persidangan bagi para pengacara. Dengan mengerti betul isi kepala hakim –dalam banyak kasus paniteralah sebenarnya yang mengerjakan draf pertimbangan hukum putusan-- sangat mudah bagi panitera untuk menyusun suatu jawaban yang dapat diterima oleh logika hakim. Dalam posisi demikian, bagi pengacara, “memegang” panitera tidak hanya bisa memegang seorang hakim tetapi juga bisa memegang seluruh hakim yang menangani perkara. 

Contoh lainnya, praktik kong-kalingkong menyangkut salinan vonis kasus korupsi. Salinan vonis kasus korupsi yang telah punya kekuatan hukum tetap (inkracht) bisa punya nilai ekonomi cukup tinggi. Caranya, memperlambat (menunda-nunda) salinan putusan sampai ke tangan eksekutor. Bagi koruptor, terlambatnya salinan putusan tidak hanya sekedar memperlambat eksekusi tetapi juga membuka kesempatan untuk melarikan diri. Bukan tidak mungkin, sebagian koruptor yang melarikan diri tertolong oleh proses perlambatan salinan putusan sampai ke pihak eksekutor. 

Sekalipun sering mendapat kecaman, sampai sekarang hampir tidak ada perubahan perilaku pengadilan guna mempercepat penyampaian salinan putusan. Contohnya, sejak awal bulan Agustus lalu, MA telah menolak permohonan kasasi 43 orang mantan anggota DPRD Provinsi Sumatra Barat Periode Tahun 1999-2004 dalam kasus korupsi APBD Tahun 2002. Tetapi, sampai saat ini, Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat belum menerima salinan putusan tersebut. Akibatnya, putusan MA tersebut tidak bisa dieksekusi. 

Banyak kalangan percaya, keterbukaan (transaparansi) bukan satu-satunya cara melakukan pertanggungjawaban kepada publik. Bagaimanapun, transparansi mesti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI dinyatakan:
“Transaparansi adalah salah satu prinsip yang harus ada dalam sebuah pengadilan yang baik. Salah satu dari bentuk transparansi adalah dengan memberikan jaminan bahwa publik diberikan keleluasaan untuk mengakses informasi. Jaminan untuk mengakses informasi akan memudahkan masyarakat untuk mengontrol MA. Karena itu biasanya transparansi dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari upaya menciptakan akuntabilitas”.


[1] Pokok-pokok pikiran disampaikan dalam diskusi terbatas dengan topik ”Negara Hukum dan Demokrasi: Sistem Peradilan dan Realitas Penegakan Hukum”, dilaksanakan oleh Komisi Yudisial RI, di
[2] Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fak. Hukum Universitas Andalas (UNAND), Padang.
[3] Brian Z. Tamanaha, 2004, On the Rule of Law: History, Politics, Theory, Cambridge University Press. hal. 9.
[4] Di sini tidak dibedakan antara konsep ”the rule of law” dan konsep ”rechtsstaat”. Untuk menelusuri perbedaan kedua konsep itu dapat dibaca, misalnya, dalam Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya; Ridwan HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press Yogyakarta, hal. 1-16; dan Marjanne Termorshuizen-Artz, 2004, The Concept of Rule of Law, dalam Jurnal Jentera, Edisi 3, Tahun II, November, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta.
[5] Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan RI, Jakarta, hal. 11.
[6] Dalam Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta. hal. 57.
[7] Moh. Mahfud M.D., 2001, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Bandung, hal. 72.
[8] Miriam Budiardjo, 1989, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ke- 29, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 138.
[9] Ibid.
[10] John Locke, 1960, Two Treatises of Civil Government, J.M.Dent and Sons Ltd., London, hal. 190-192.
[11] Miriam Budiardjo, 1989, Dasar-dasar..., hal. 152. Bandingkan dengan R. Kranenburg, 1967, Ilmu Negara, Viva Studi, Jakarta, hal. 53.
[12] Benny K. Harman, 1997, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman, Elsam, Jakarta, hal. 49.
[13] Frans Magnis Suseno, 1991, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta, hal. 223-231.
[14] Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar..., Jilid II, hal. 15.
[15] Denny Indrayana, 2006, Komisi Negara: Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, dalam Jurnal Yustisia, Edisi XVI Nomor 2, Juli-Desember, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, hal. 6.
[16] Baca misalnya Bruce Ackerman, 2000, The New Separation of Powers, The Harvard Law Review, vol. 113.
[17] Dalam ibid., hal. 16.
[18] Ibid.
[19] Kotan Y. Stefanus, 1998, Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik Hukum terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945), Penerbitan Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hal. 30.
[20] Hans Kelsen, 1971, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York. hal. 287.
[21] Jimly Asshiddiqie, 2006, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI Press, Jakarta. hal. 17.
[22] Ibid., hal. 36.
[23] John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, (1994), Modern Constitutional Theory, West Publishing Co, hal. 296-297.
[24] Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu…, Jilid II, hal.19.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Peter L. Strauss, 1984, The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and Fourth Branch, Columbia Law Review; lihat juga Ibid., hal. 296.
[28] Ibid.
[29] Bivitri Susanti, 2006, Hakim atau Legislator?, makalah disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 3.
[30] Pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
[31] Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
[32] Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
[33] Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
[34] Lebih jauh tentang hal ini, baca dalam Samidjo, (1986), Ilmu Negara, Cetakan ke-3, ARMICO, Bandung.
[35] Untuk mengetahui lebih jauh domoinasi pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman baca, misalnya, A Muhammad Asrun, (2004), Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, ELSAM, Jakarta.
[36] Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI.
[37] Ibid.
[38] Ibid.
Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2001-2002, dalam bulan Januari sampai Juli 2002 ada 156 surat permohonan pertimbangan hukum yang diajukan oleh berbagai pihak ke MA.
[39] Rifqi Sjarief Assegaf, (tt), Perubahan UU Bidang Peradilan: Lelucon Yang Tidak Lucu, http://www.parlemen.net/privdocs/a0245e30dobb2855758aaf33ba5c5e23.pdf
[40] Ibid.
[41] Pasal 14 Ayat (2) UU No 8/2004 menyatakan untuk dapat diangkat menjadi hakim, harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim
[42] Pasal 21 UU No 8/2004 menyatakan seorang hakim yang diberhentikan dari jabatannya dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri.
[43] Pasal 14 Ayat (2) UU No 9/2004 menyatakan untuk dapat diangkat menjadi hakim, harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim.
[44] Pasal 21 UU No 9/2004 menyatakan seorang hakim yang diberhentikan dari jabatannya dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri.
[45] Sebelumnya, berdasarkan penghitungan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok (06/7), pasangan Nur Mahmudi ditetapkan memperoleh 232.610 suara. Sementara itu, pasangan Badrul Kamal memperoleh 206.781 suara. Ketika itu, berdasarkan hasil penghitungan KPUD, pasangan Nur Mahmudi mengungguli pasangan Badrul Kamal dengan selisih suara 25.829.
[46] Kompas 08/09-2005.
[47] Bagir Manan, (2005), Restrukturisasi Badan Peradilan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 239, Jakarta.
[48] Shimon Shetreet, (1995), Judicial Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes (eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe, Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003), Mahkamah Agung Republik Indonesia.
[49] Bandingkan dengan Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI, hal 7.
[50] Artidjo Alkostar, (2005), Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.
[51] Dikutip dalam Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI.
[52] Dikutip dalam Rifqi S Assegaf & Josi Katharina, (2005), Membuka Ketertutupan Pengadilan, LeIP, Jakarta.
[53] Saldi Isra, (2005), Membongkar Mafia Peradilan, dalam KOMPAS, 07 Oktober, Jakarta.

Sumber : http://www.saldiisra.web.id/

No comments:

Post a Comment