Tidak dapat dipungkiri, salah satu langkah besar yang
dimaksud adalah perubahan terhadap kekuasaan kehakiman. Sebelum amandemen,
kekuasaan kehakiman diatur dengan amat terbatas dalam UUD 1945. Bahkan, dalam
pasal-pasal yang mengatur kekuasaan kehakiman tidak ditemukan jaminan terhadap
kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pasal 24 UUD 1945 menentukan: (1) kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang, dan (2) susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu
diatur dengan undang-undang. Kemudian, Pasal 25 UUD 1945
menentukan, syarat-syarat untuk menjadi
dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. [3]
Menyadari bahwa untuk memastikan terwujudnya kekuasaan kehakiman yang
merdeka diperlukan jaminan yang tegas dalam konstitusi, langkah besar yang
dihasilkan dalam amandemen UUD 1945 tidak hanya menyebutkan secara eksplisit
kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Tidak hanya itu, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan
kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Bahkan bagi seorang hakim, Pasal 24A Ayat (2) UUD
1945 secara eksplisit menentukan, hakim
agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Khusus untuk
menjaga kemandirian dan integritas hakim, amandemen UUD 1945 juga memunculkan
sebuah lembaga baru, yaitu Komisi Yudisial.
Guna menindaklanjuti perubahan besar terhadap kekuasaan kehakiman
pasca-amandemen UUD 1945, selama tahun 2003-2004 telah dilakukan serangkaian
penyesuaian (baca: perubahan dan pembentukan beberapa undang-undang) yang
meliputi: (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU
No 24/2004), (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
(UU No 4/2004)[4], (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005 tentang Mahkamah
Agung (UU No 5/2004)[5], (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan
Umum (UU No 8/2004)[6], (5) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara (UU No 9/2004)[7], dan (6) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Judisial (UU No 22/2004).
Dari serangkain undang-undang di atas, dapat dikemukakan beberapa catatan
penting yang perlu dikaji lebih lanjut berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
pasca-amandemen UUD 1945.
Pertama, penambahan kata atau frasa
tertentu dalam menyebut kekuasaan kehakiman yang merdeka. Misalnya, Pasal 1 UU
No 4/2004 menyatakan, kekuasaan kehakiman
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia. Jika dibandingkan dengan Pasal 24
Ayat (1) UUD 1945, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 UU No 4/2004 jelas
berbeda karena terjadi penambahan kata/frasa: “negara”, “berdasarkan
Pancasila”, dan “demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Kalau ditelusuri lebih jauh, bunyi Pasal 1 UU No 4/2004 persis sama dengan
bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No 14/1970). Yang berbeda hanya dalam memberikan
penjelasan. Penjelasan Pasal 1 UU No 4/2004 menyebutkan:
Kekuasaan
Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa
kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra
yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kebebasan
dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim
adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga
putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Sementara itu, Penjelasan Pasal
1 UU No 14/1970 menyebutkan:
Kekuasaan
Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya Kekuasaan
Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan
kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra
judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-undang.
Kebebasan
dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas
dari pada Hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta
azas-azas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan
kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan
Rakyat Indonesia.
Di samping tidak mudah untuk
memaknai frasa “berdasarkan Pancasila” dan “demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia”, dengan tetap dipertahankan kata “negara” dalam Pasal 1 UU
No 4/2004 kekuasaan kehakiman yang merdeka tetap potensial dipengaruhi oleh
pemerintah. Dalam teori tentang negara (general
theory of state), Krabbe mengatakan bahwa kata “negara” sering
diidentifikasikan dengan “pemerintah” apabila kata itu dipergunakan dalam
pengertian “kekuasaan negara” atau “kemauan negara”.[8] Sementara dalam
praktik, sepanjang kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru, pemerintah begitu dominan
mempengaruhi kekuasaan kehakiman.[9] Artinya, dengan
tetap mempertahankan kata “negara” dalam UU No 4/2004, pengaruh pemerintah masih sulit untuk dihindari dalam kekuasaan kehakiman.
Kedua, dalam hal hubungan
pengadilan dengan lembaga negara lainnya, Pasal 27 UU No 4/2004
menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat
memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga
negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta. Sekalipun bersifat
fakultatif (karena “dapat”), adanya ruang bagi lembaga negara dan lembaga
pemerintahan untuk meminta keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum
kepada MA dapat dikatakan menambah rumusan pemberian pertimbangan oleh MA yang
terdapat dalam konstitusi. Pasal 14 UUD 1945
secara limitatif menentukan, Presiden
memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Padahal, di kalangan MA sudah ada pandangan bahwa
pemberian pertimbangan kepada lembaga negara lainnya dapat mengganggu
independensi hakim dalam memutus perkara. Pandangan ini dapat dibaca dalam Cetak
Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI.
“Secara tidak
langasung, pelaksanaan fungsi ini dapat mengganggu independensi hakim dalam
memutus perkara. Hal tersebut akan terjadi jika permasalahan yang dimintakan
pertimbangan hukum tersebut kemudian menjadi perkara di pengadilan. Ambil
contoh, misalnya DPR meminta pertimbangan hukum ke MA apakah Badan Pemeriksa
Keuangan berwenang untuk memeriksa keuangan suatu yayasan militer yang mendapat
dana dari APBN. Jika MA memberikan pertimbangan hukum atas pertanyaan tersebut
kemudian ada pihak yang menggugat yayasan militer ke pengadilan dengan
berdasarakan kepada pertimbangan hukum MA, maka hakim yang memutus perkara akan
terusik independensinyanjika ia akan menafsirkan berbeda dengan pertimbangan
hukum yang dibuat oleh MA tersebut“.[10]
Selain masalah intervensi,
pelaksanaan pemberian pertimbangan tersebut dapat merendahkan wibawa MA. Hal
itu dapat terjadi apabila pertimbangan hukum yang dibuat MA atas suatu hal
diacuhkan oleh lembaga yang meminta atau pihak lain yang dirugikan. Hal ini
sangat mungkin terjadi karean sifat pertimbangan hukum tersebut tidak mengikat.[11] Oleh karenanya,
jika fungsi ini dihapuskan, maka sedikit banyak pekerjaan MA, khususnya Ketua
MA akan berkurang. Selama ini, mengingat cukup banyak permintaan dari berbagai
pihak kepada MA untuk memberikan pertimbangan hukum atas suatu hal, permintaan
pertimbangan hukum ini cukup membebani waktu dan pemikiran MA.[12]
Di luar
catatan penting di atas, secara umum, Rifqi S Assegaf menilai bahwa penyusunan
dan perubahan undang-undang bidang peradilan terjebak dalam ketiadaan konsep.
Seakan dalam pandangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, masalah utama
lembaga peradilan hanyalah untuk menyesuaikan undang-undang tersebut dengan
perubahan UUD 1945 dan penyesuaian dengan penyatuan atap. Karena itu, Rifqi S
Assegaf menilai bahwa perubahan undang-undang bidang peradilan merupakan
lelucon yang tidak lucu.[13]
Kalau dibaca secara mendalam beberapa
undang-undang tentang peradilan (UU No 4/2004, UU No 5/2005, UU No 8/2004, dan
UU No 9/2004), pandangan di atas sulit dimentahkan. Penyebabnya, kata Rifqi S
Assegaf, pembaruan undang-undang tentang peradilan tidak dimulai dari discourse yang mendalam mengenai
bangunan pengadilan ideal. Misalnya, (1) apakah perlu semua perkara bisa
dimintakan banding atau kasasi?; (2) apakah sistem memutus perkara yang
bersifat majelis perlu diterapkan untuk semua perkara atau boleh untuk perkara
tertentu hakim tunggal?; (3) bagaimana seharusnya hubungan antara badan
peradilan yang ada dengan pengadilan khusus dan bagaimana pula seharusnya
hubungan lembaga-lembaga quasi yudisil dengan pengadilan?; (4) apakah perlu
kembali diperkenalkan konsep pengadilan adat?; (5) bagaimana seharusnya hubungan
antar pengadilan dengan kepolisian, kejaksaan dan pengacara?; dan (6)
bagaiamana memastikan adanya akses yang luas bagi masyarakat untuk mendapatkan
keadilan?[14]
Hal mendasar lainnya yang dikemukakan oleh Rifqi S Assegaf adalah status
hakim yang kembali menjadi pegawai negeri sipil. Dikatakan kembali karena Pasal
11 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (UU No 43/1999) menyatakan: pejabat
negara terdiri atas Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada
Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan hakim pada semua badan peradilan.
Kemudian, kedudukan hakim sebagai pejabat negara dikembalikan sebagai sebagai
pegawai negeri sipil dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam: (1) Pasal 14
Ayat (2) UU No 8/2004; (2) Pasal 21 UU No 8/2004; (3) Pasal 14 Ayat (2) UU No
9/2004; dan (4) Pasal 21 UU No 9/2004.
***
Sebagaimana disebutkan di atas, pasca-amandemen UUD 1945
yang dilakukan tidak hanya menyesuaikan beberapa undang-undang bidang peradilan
yang sudah ada tetapi juga membentuk undang-undang baru terutama untuk mewadahi
pembentukan dan pengisian lembaga baru, yaitu UU No 24/2003 dan UU No 22/2004.
Bagian ini akan membahas hubungan checks
and balances antara MA dengan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi
Yudisial (KY).
1. Hubungan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi
Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara), dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan rumusan Pasal 24 Ayat (2)
UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan MK.
Sekalipun sama-sama pemegang kekuasaan kehakiman, kedua lembaga tersebut
mempunyai kewenangan yang berbeda. Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MA
berwenang: (1) mengadili pada tingkat kasasi, (2) menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan (3)
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Sementara itu,
Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MK berwenang: (1) mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap UUD, (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, (3) memutus pembubaran partai politik, dan
(4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain kewenangan, Pasal
24C Ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa MK memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut UUD.
Berdasarkan ketentuan di tingkat konstitusi, kemungkinan terjadinya
persinggungan antara MA dengan MK ada pada titik penggunaan wewenang pengujian
peraturan perundang-undangan (judicial
review). Misalnya, ada kelompok masyarakat yang mengajukan judicial review PP No 6 Tahun 2005
tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala daerah dan
Wakil Kepala Daerah. Sementara itu, dalam waktu yang bersamaan, ada pula
pengajuan judicial review UU
No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah --yang menjadi dasar pembentukan
PP No 6/2005-- kepada MK. Kebetulan pula, MA dan MK memutus serentak. MA
memutus PP No 6/2005 tidak bertentangan dengan UU No 32/2004. Tetapi, di sisi
lain, MK memutuskan bahwa UU No 32/2004 bertentangan dengan UUD 1945.
Kemungkinan terjadinya masalah seperti di atas terjawab dengan dalam UU No
24/2003. Pasal 55 UU No 24/2003 menyatakan, pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila
undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam
proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Artinya, dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 55 UU No 24/2003, kemungkinan
terjadinya permasalahan antara putusan MA dengan putusan MK sudah teratasi.
Selain masalah judicial review,
kemungkinan persinggungan juga dapat terjadi dalam isu sengketa kewenangan
antarlembaga. Namun, ini pun dapat diselesaikan dengan ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 65 UU No 24/2003, MA tidak
dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada MK.
2. Hubungan Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial
Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 menyatakan, calon hakim agung diusulkan KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden. Kemudian, Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, KY bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Berdasarkan ketentuan itu, hubungan KY dengan MA terjadi dalam proses
pengusulan calon hakim agung; dan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim.
Dalam proses awal kehadirannya, terlihat ada ketegangan hubungan antara KY
dengan MA. Ketegangan itu muncul ketika KY merespon kejanggalan yang terjadi
dalam kasus sengketa penetapan hasil pemilihan Walikota-Wakil Walikota Depok.
Sebagaimana diketahui, Pengadilan Tinggi Jawa Barat (04/08-2005) membatalkan
hasil pemilihan Walikota-Wakil Walikota Depok. Majelis hakim yang diketuai Nana
Juwana menetapkan Badrul Kamal/Syihabuddin Ahmad memperoleh suara 269.551 suara
dan Nur Mahmudi Ismail/Yuyun Wirasaputra memperoleh 204.828 suara. Berdasarkan
putusan tersebut, perolehan suara untuk pasangan Badrul Kamal bertambah 62.770,
sedangkan suara untuk Nur Mahmudi dikurangi 27.782.[15]
Karena menilai terjadi kejanggalan dalam penyelesaian kasus di atas, KY
memeriksa hakim yang menangani kasus sengketa pemilihan di Kota Depok.
Kemudian, KY merekomendasikan kepada MA (14/09-2005) untuk pemberhentian
sementara selama satu tahun Ketua PT Jawa Barat Nana Juwana. Dalam rekomendasi
itu, KY memberikan tenggat waktu satu bulan supaya MA memberikan tanggapan atas
rekomendasi KY.[16] Anehnya, terobosan
KY justru mendapat resistensi dari berbagai kalangan di MA.
Sekalipun ada resistensi, dalam Sambutan Rakernas MA,
Peradilan Tingkat Banding, Pengadilan Tingkat Pertama Kelas IA Seluruh
Indonesia di Denpasar, Bali 19-22 September 2005, Ketua MA Bagir Manan mengatakan:
“Sekarang
kita mempunyai KY yang saya yakin akan lebih memperkuat upaya membenahi tingkah
laku tidak terpuji dari hakim. Meskipun KY tidak berwenang meneliti dan
memeriksa putusan hakim dan tindakan-tindakan teknis yustisial lainnya, tetapi
kewenangan yang ada disertai kerjasama yang erat dengan MA, akan sangat
memberdayakan (empowering)
usaha kita menghapus secara tuntas perbuatan tercela para hakim atau petugas
pengadilan lainnya. Saya berjanji akan memanfaatkan semaksimal mungkin temuan
KY mengenai perbuatan tidak terpuji para hakim dan lain-lain pejabat
pengadilan“.
Masalahnya, apakah pernyataan di atas merupakan komitmen
institusi pengadilan atau hanya merupakan pernyataan Bagir Manan sebagai Ketua
MA? Kalau merupakan sikap institusi pengadilan, ada harapan bahwa KY akan lebih
mudah mengawasi tingkah laku tidak terpuji hakim sehingga pelan-pelan
kewibawaan pengadilan bisa diperbaiki. Namun yang terjadi justeru sebaliknya,
MA melakukan perlawanan terbuka terhadap KY denngan mengajukan judicial review
ke MK. Hasilnya, MK membatalkan pelaksanaan pengawasan yang dimiliki oleh KY.
***
Mengapa kekuasaan
kehakiman atau peradilan begitu mudah tunduk pada kekuasaan lain? Secara
konseptual, dalam pandangan Bagir Manan ada beberapa jawaban, yaitu (1) kekuasaan
kehakiman memang sangat lemah dibandingkan kekuasaan legislatif dan
yudikatif, (2) tatanan politik. Dalam kenyataan, kehakiman selalu tidak berdaya
menghadapai tekanan politik untuk menjaga agar kekuasaan kehakiman yang merdeka
tetap utuh, dan (3) sistem administrasi, misalnya anggaran belanja. Selama
sistem anggaran belanja kekuasaan kehakiman tergantung pada “kebaikan hati”
pemerintah sebagai pemegang kas negara, maka berbagai upaya memperkuat
kekuasaan kekuasaan kehakiman akan mengalami berbagai hambatan. [17]
Karena berbagai penyebab di atas, upaya membebaskan kekuasaan kehakiman
dari pengaruh kekuasaan lain merupakan perjuangan terus-menerus. Bagaimanapun,
kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting dalam
negara demokrasi. Shimon Shetreet dalam Judicial
Independence: New Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges membagi independence of the judiciary menjadi
empat hal yaitu substantive independence (independensi
dalam memutus perkara), personal
independence [misalnya adanya jaminan masa kerja dan jabatan (term of office and tenure)], internal independence (misalnya
independensi dari atasan dan rekan kerja) dan collective independence (misalnya adanya partisipai
pengadilan dalam administrasi pengadilan, termasuk dalam penentuan budget pengadilan).[18]
Prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas
dari campur tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung
dari kekuasaan lembaga lain, teman sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di
luar peradilan. Sehingga Hakim dalam memutus perkara hanya demi kadilan
berdasarkan hukum dan hati nurani.[19] Dalam pandangan
Hakim Agung Artidjo Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya
pengadilan yang merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu
tiang tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan adalah
menyangkut faktor adanya pengadilan yang merdeka.[20]
Masalahnya, apakah kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak memerlukan
pertanggungjawaban? Sekalipun tidak bertanggung jawab kepada lembaga negara
lain (seperti eksekutif atau legislatif), pertanggungjawaban kekuasaan
kehakiman yang merdeka kepada publik merupakan keniscayaan. Lalu, bagaimana
kaitan antara pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka (khususnya di MA)
dengan pertanggungjawaban kepada publik?
Sekalipun UU No 5/2004 disahkan sekitar empat bulan setelah pengesahan UU
No 24/2003, UU No 5/2004 tidak mencantumkan masalah tanggung jawab dan
akuntabilitas MA. Dalam BAB III Bagian Kedua Pasal 12-14 UU No 24/2003 secara
eksplisit ditentukan: pertama,
MK bertanggung jawab mengatur organisasi, personalia, administrasi,
dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik dan bersih; kedua, MK wajib mengumumkan
laporan berkala kepada masyarakat secara terbuka mengenai:
(a) permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan diputus;
(b) pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya. Laporan
tersebut dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan oleh MK; dan ketiga, masyarakat mempunyai akses
untuk mendapatkan putusan MK.
Tanpa pencantuman dalam undang-undang bukan berarti tidak ada upaya untuk
memperbaiki performance MA. Misalnya, sebagai bagian dari strategi untuk
melakukan pembaharuan, MA telah menetapkan visi dan misi organisasinya, yaitu
“Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif,
efisien serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberi pelayanan
hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat serta
mampu menjawab panggilan pelayanan publik”.[21] Untuk mencapai visi tersebut, MA menetapkan misi-misi sebagai berikut:
1. Mewujudkan
rasa keadilan sesuai dengan Undang-undang dan peraturan serta memenuhi rasa
keadilan masyarakat;
2. Mewujudkan
peradilan yang mandiri dan independen serta bebas dari campur tangan pihak
lain;
3. Memperbaiki
akses bidang peradilan kepada masyarakat;
4. Memperbaiki
kualitas input internal pada proses peradilan;
5. Mewujudkan
institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan dihormati;
6. Melaksanakan
kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.
Sayang, kata-kata indah yang terdapat
dalam visi dan misi (terutama akses masyarakat) tersebut tidak mampu memberi
ruang pertanggungjawaban publik yang memadai. Sejauh
yang bisa diamati, banyak informasi yang tidak terkait dengan independensi
hakim dalam memutus perkara (substantive independence)
begitu sulit disentuh publik. Misalnya menyangkut berita acara persidangan,
biaya yang diperlukan dalam proses berperkara, dan jumlah serta penggunaan
anggaran pengadilan satu periode tertentu. Padahal, semua informasi tersebut
tidak terkait dengan substantive independence
hakim.
Karena kesulitan
publik mengakses sebagian besar informasi, pengadilan menjadi begitu rentan
terhadap segala bentuk penyimpangan. Terkait dengan hal tersebut,
Jeramy Bentham mengingatkan: “In the
darkness of secrecy, sisnister interest and evil in every shape have full
swing. Only in proportion as publicity has place can any of the checks
applicable to judicial injustice operate. Where there is no publicity there is
no justice. Publicity is the very soul of justice. It is the keenest spur to
exertion and the surest of the all guards against improbity. It keeps the judge
himself while trying under trial”.[22]
Pandangan Bentham mengingatkan, lembaga yang tidak terbuka
menjadi begitu rentan untuk terjadinya segala macam bentuk penyimpangan. Begitu
juga dengan pengadilan, meski hampir setiap proses persidangan dimulai dengan
kalimat “sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum”, tidak berarti bahwa
pengadilan lebih terbuka dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara yang lain.
Kalau mau jujur, mungkin dengan pengecualian MK, pengadilan kita jauh lebih
tertutup dibandingkan lembaga lain. [23]
Ketertutupan pengadilan amat potensial memicu beragam
penyimpangan. Misalnya, interaksi antara pengacara-jaksa-panitera-hakim dalam
praktik suap di pengadilan. Bagi pengacara yang punya kontak langsung dengan
hakim, persoalan bisa menjadi lebih mudah karena pengacara bisa merundingkan
vonis yang akan dijatuhkan tanpa perlu menghiraukan tututan jaksa. Beberapa
kasus membuktikan, sekalipun jaksa menuntut maksimal, hakim dapat saja
membebaskan terdakwa. Berbeda halnya dengan pengacara yang tidak mempunyai
kontak langsung dengan hakim, diperlukan pihak ketiga untuk menghubungi hakim. Biasanya, peran pihak ketiga lebih praktis
dan aman dilakukan oleh panitera. Inisiatif mempertemukan atau menyambungkan
komunikasi antara hakim dan pengacara bisa datang dari hakim sendiri, bisa pula
dari pengacara terdakwa, namun tidak tertutup kemungkinkan berasal dari
penitera sendiri.
Tidak hanya itu, peran
panitera dalam suatu perkara begitu luar biasanya sampai menyebabkan para
pengacara tidak perlu bekerja bersusah payah. Misalnya, dari informasi mereka yang
biasa berpraktik di pengadilan atau para pemantau peradilan, panitera kerap
membuatkan jawaban-jawaban untuk proses persidangan bagi para pengacara. Dengan
mengerti betul isi kepala hakim –dalam banyak kasus paniteralah sebenarnya yang
mengerjakan draf pertimbangan hukum putusan-- sangat mudah bagi panitera untuk
menyusun suatu jawaban yang dapat diterima oleh logika hakim. Dalam posisi
demikian, bagi pengacara, “memegang” panitera tidak hanya bisa memegang seorang
hakim tetapi juga bisa memegang seluruh hakim yang menangani perkara.
Contoh lainnya, praktik
kong-kalingkong menyangkut salinan vonis kasus korupsi. Salinan vonis kasus
korupsi yang telah punya kekuatan hukum tetap (inkracht) bisa punya nilai ekonomi cukup tinggi. Caranya,
memperlambat (menunda-nunda) salinan putusan sampai ke tangan eksekutor. Bagi
koruptor, terlambatnya salinan putusan tidak hanya sekedar memperlambat
eksekusi tetapi juga membuka kesempatan untuk melarikan diri. Bukan tidak
mungkin, sebagian koruptor yang melarikan diri tertolong oleh proses
perlambatan salinan putusan sampai ke pihak eksekutor.
Sekalipun sering mendapat
kecaman, sampai sekarang hampir tidak ada perubahan perilaku pengadilan guna
mempercepat penyampaian salinan putusan. Contohnya, sejak awal bulan Agustus lalu,
MA telah menolak permohonan kasasi 43 orang mantan anggota DPRD Provinsi
Sumatra Barat Periode Tahun 1999-2004 dalam kasus korupsi APBD Tahun 2002. Tetapi, sampai saat ini, Kejaksaan Tinggi
Sumatra Barat belum menerima salinan putusan tersebut. Akibatnya, putusan MA
tersebut tidak bisa dieksekusi.
Banyak kalangan percaya,
keterbukaan (transaparansi) bukan satu-satunya cara melakukan
pertanggungjawaban kepada publik. Bagaimanapun, transparansi mesti menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI
dinyatakan:
“Transaparansi
adalah salah satu prinsip yang harus ada dalam sebuah pengadilan yang baik.
Salah satu dari bentuk transparansi adalah dengan memberikan jaminan bahwa
publik diberikan keleluasaan untuk mengakses informasi. Jaminan untuk mengakses
informasi akan memudahkan masyarakat untuk mengontrol MA. Karena itu biasanya
transparansi dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari upaya menciptakan
akuntabilitas”.
Kepustakaan
A Muhammad
Asrun, (2004), Krisis Peradilan:
Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, ELSAM, Jakarta.
Artidjo
Alkostar, (2005), Membangun Pengadilan
Berarti Membangun Peradaban Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 238,
Jakarta.
Bagir Manan,
(2005), Restrukturisasi Badan
Peradilan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX. No. 239, Jakarta.
Denny
Indrayana, Saldi Isra dll, (2005), Kepala Daerah
Pilihan Hakim: Membongkar Kontroversi Pilkada Depok,
Harakatuna Publishing, Bandung.
Mahkamah Agung RI, (2003), Cetak Biru Mahkamah Agung RI.
Rifqi Sjarief
Assegaf, (tt), Perubahan UU Bidang
Peradilan: Lelucon Yang Tidak Lucu,
http://www.parlemen.net/privdocs/a0245e30dobb2855758aaf33ba5c5e23.pdf
Rifqi S Assegaf
& Josi Katharina, (2005), Membuka
Ketertutupan Pengadilan, LeIP, Jakarta.
Saldi Isra, (2005), Membongkar Mafia Peradilan, dalam KOMPAS, 07 Oktober, Jakarta.
Samidjo,
(1986), Ilmu Negara,
Cetakan ke-3, ARMICO, Bandung.
Shimon Shetreet, (1995), Judicial Independence: New Conceptual Dimentions
and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes
(eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe,
Netherlands. 1985).
[1] Makalah disampaikan pada Seminar “Penyusunan
Background Study Pembangunan Bidang HukumTahun 2010-2014”, diselenggarakan oleh
Bappenas, Jakarta,
17 Desember 2008.
[2] Dosen Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
(UNAND); Padang.
Kandidat Doktor Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Fakultas Hukum UGM.
[3] Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 (sebelum amandemen) menyebutkan:
“Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan
dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim.
[4] Pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
(sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999) tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
[8] Lebih jauh tentang hal ini, baca dalam Samidjo,
(1986), Ilmu Negara,
Cetakan ke-3, ARMICO, Bandung.
[9] Untuk mengetahui lebih jauh domoinasi pemerintah
terhadap kekuasaan kehakiman baca, misalnya, A Muhammad Asrun, (2004), Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto,
ELSAM, Jakarta.
Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2001-2002, dalam bulan
Januari sampai Juli 2002 ada 156 surat permohonan pertimbangan hukum yang
diajukan oleh berbagai pihak ke MA.
[13] Rifqi Sjarief Assegaf, (tt), Perubahan UU Bidang Peradilan: Lelucon Yang Tidak
Lucu,
http://www.parlemen.net/privdocs/a0245e30dobb2855758aaf33ba5c5e23.pdf
[15] Sebelumnya, berdasarkan penghitungan yang
dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok (06/7), pasangan
Nur Mahmudi ditetapkan memperoleh 232.610 suara. Sementara itu, pasangan Badrul
Kamal memperoleh 206.781 suara.
Ketika itu, berdasarkan hasil penghitungan KPUD, pasangan Nur Mahmudi
mengungguli pasangan Badrul Kamal dengan selisih suara 25.829.
Beragam pandangan
tentang kisruh sengketa hasil pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok dapat
dibaca dalam Denny Indrayana, Saldi Isra dll, (2005), Kepala Daerah Pilihan Hakim: Membongkar Kontroversi
Pilkada Depok, Harakatuna Publishing, Bandung.
[17] Bagir Manan, (2005), Restrukturisasi Badan Peradilan,
dalam Majalah Hukum Varia Peradilan,
Tahun XX. No. 239, Jakarta.
[18] Shimon Shetreet, (1995), Judicial Independence: New Conceptual Dimentions
and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes
(eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe,
Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003),
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
[20] Artidjo Alkostar, (2005), Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban
Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia
Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.
[22] Dikutip dalam Rifqi S
Assegaf & Josi Katharina, (2005), Membuka
Ketertutupan Pengadilan, LeIP, Jakarta.
Sumber : saldiisra.web.id
No comments:
Post a Comment