Romli Atmasasmita ; Guru
Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
KOMPAS,
21 Januari 2013
Korporasi pada masa kejayaan mafioso di
Italia dan Amerika Serikat abad ke-18 telah menjadi tulang punggung kehidupan
organisasi kejahatan yang kebal tuntutan hukum.
Belajar dari kenyataan
tersebut, di Amerika Serikat telah dibentuk undang-undang yang
mengkriminalisasi kejahatan perjudian, pelacuran, dan minuman keras (RICO),
sekaligus mengkriminalisasi korporasi yang terlibat dalam kejahatan.
Korporasi adalah subyek hukum yang dapat dipidanakan.
Sistem hukum pidana
Indonesia juga mengakui korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dipidana
sejak UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
diberlakukan. Bahkan, sejak 1999, korporasi merupakan subyek hukum pidana.
Tidak
Mudah
Namun, menghadapi
korporasi yang diduga terlibat tindak pidana—baik sebagai pelaku maupun
pelaku peserta—tidak mudah. Sekalipun korporasi tercantum sebagai subyek
hukum pidana dengan mendefinisikan ”setiap orang” termasuk korporasi berbadan
hukum atau tidak berbadan hukum; baik dalam proses peradilan pidana maupun
tipikor dan pencucian uang, hampir tidak pernah penuntut umum memasukkan
korporasi sebagai pelaku atau pelaku peserta. Yang dituntut hanya
perseorangan atau direksi korporasi.
Penyebabnya mungkin adalah
ketentuan UU yang menyatakan bahwa korporasi dalam proses penuntutan diwakili
oleh direksinya. Dengan demikian, masih ada pendapat di kalangan penyidik dan
penuntut bahwa menuntut direksi dengan serta-merta termasuk korporasinya.
Pendapat tersebut keliru.
Maksud pembentuk undang-undang pidana adalah, sekalipun direksi telah
ditetapkan sebagai tersangka, tetap saja korporasi yang tidak termasuk dalam
subyek penuntutan menjadi terbebas dari hukuman, baik denda, pencabutan izin
korporasi, maupun pidana tambahan lain.
Kekeliruan kedua adalah
kenyataan yang telah diuraikan pada awal tulisan ini, bahwa korporasi telah dijadikan
sarana melakukan kejahatan atau bahkan dijadikan organisasi penampungan uang
hasil kejahatan lewat proses pencucian uang. Namun, menghukum korporasi dalam
sistem ekonomi pasar (kapitalisme modern) bukan perkara mudah.
Penerapannya perlu prinsip
kehati-hatian karena mengandung efek berantai, yaitu lumpuhnya korporasi
terutama korporasi yang bersifat padat karya atau korporasi yang mendatangkan
devisa signifikan untuk negara.
Kegamangan penegakan hukum
terhadap korporasi telah terjadi pada kasus Monsanto dan Innospec, korporasi
berbadan hukum Amerika Serikat yang beroperasi di Indonesia dan telah
terbukti melakukan tindak pidana suap terhadap pejabat publik Indonesia.
Departemen Kehakiman (Attorney General) dan Badan Pasar
Modal AS (SEC) telah menjatuhkan denda administratif tanpa penuntutan pidana
dan tanpa menutup korporasi tersebut. Keduanya tetap beraktivitas karena
telah mendatangkan devisa negara secara signifikan dan merupakan wajib pajak
yang patuh.
Dilakukan
Selektif
Pola penegakan hukum terhadap
korporasi di AS dalam keterlibatan tindak pidana telah dilaksanakan dengan
prinsip societas delinquere non potest
secara selektif. Pengalaman penegakan hukum yang tidak produktif dan
mengabaikan prinsip hukum tersebut di Indonesia terjadi pada kasus Texmaco di
mana korporasi harus ditutup. Karyawannya menganggur dan pemiliknya bunuh
diri.
Pernyataan Kejaksaan Agung
bahwa dalam pemberantasan korupsi yang melibatkan korporasi akan fokus juga
pada korporasi sebagai subyek hukum harus diapresiasi, sekalipun sangat
mengkhawatirkan bagi sebagian pelaku bisnis di Indonesia. Putusan Mahkamah
Agung baru-baru ini dalam kasus PT Asian Agri merupakan preseden bahwa
sekalipun surat dakwaan penuntut tidak mencantumkan PT AA selaku subyek hukum
yang dituntut, MA telah menjatuhkan pidana pengembalian uang Rp 2,7 triliun
kepada PT AA.
Apakah putusan MA ini
merupakan ”terobosan hukum” atau ”pelanggaran hukum”, kiranya perlu diskusi
para ahli sebelum putusan telanjur dipandang sebagai preseden yang memenuhi
keadilan atau justru melanggar prinsip due
process of law.
Menetapkan korporasi
sebagai subyek hukum yang dapat dihukum dalam kasus korupsi dan pencucian
uang memang memerlukan arah politik hukum pidana yang jelas, yaitu apakah
politik hukum pidana Indonesia masih menitikberatkan penghukuman (retributif)
sebagai satu-satunya solusi atau menitikberatkan pada pemulihan keadaan
ekonomi nasional (restoratif) atau keseimbangan antara keadilan retributif
dan keadilan restoratif. Apalagi ekonomi nasional Indonesia sedang menumbuhkan
dan mendorong peran korporasi sebagai tulang punggung perekonomian nasional
No comments:
Post a Comment