Oleh. H. Priyatna Abdurrasyid
Peresmian Pusat Mediasi Nasional yang dibentuk atas prakarsa Ketua Mahkamah
Agung R.I. Prof. DR. Bagir Manan, SH., Mc.L. melalui Perma No. 2 / 2003, perlu
kita sambut dengan positif. Seperti halnya Badan Arbitrase Nasional
Indonesia yang dibentuk pada tahun 1977
atas prakarsa Ketua Mahkamah Agung R.I. waktu itu Prof. R. Subekti, kedua
lembaga swasta itu bertujuan membantu Pengadilan Negeri, dan khususnya membantu
Mahkamah Agung untuk mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah Agung. Seperti
contoh yang diberikan oleh Prof. Bagir Manan, sengketa soal sebilah cangkul
yang diputus di Pengadilan Negeri, atas kilah para pihak, sampai juga melalui
kasasi ke Mahkamah Agung dan menambah tunggakan yang ada. Sebenarnya ada
baiknya kita mencontoh tata cara proses sengketa di Inggris. Bilamana terjadi
sengketa, para pengacaranya diwajibkan mengusahakan tata penyelesaian secara
damai. Para pengacara yang terkait wajib bertemu dan saling mengukur kadar
benar-tidaknya masing-masing pihak (dan pengacara ini bukan mengipas-ngipas
agar para pihak bersitegang dan konfrontatif). Hasil penilaian (hukum) para
pengacara itu disampaikan kepada para pihak untuk dijadikan dasar perdamaian. Tampak
disini, bahwa para pengacara di Inggris dari sejak awal sengketa diwajibkan
mengusahakan mempertemukan para pihak untuk berdamai. Andaikata ada pengacara
berusaha “membakar” pihaknya untuk tetap ke Pengadilan walaupun kasusnya
itu tidak mempunyai kekuatan hukum, hakim tidak akan ragu menarik izin praktek
pengacara yang bersangkutan dan ini berarti sang pengacara tidak mungkin
membuka praktek lagi untuk selama-lamanya dimanapun juga. Tampak disini
jauh-jauh hari para pengacara di Inggris sudah bertindak sebagai mediator dan
lebih jauh lagi sebagai konsiliator melalui negosiasi.
Mediasi merupakan suatu
mekanisme proses damai dimana para pihak yang bersengketa menyerahkan
penyelesaiannya kepada seorang mediator (seseorang yang mengatur pertemuan
antara 2 pihak – atau lebih – yang bersengketa) untuk mencapai hasil akhir yang
adil, tanpa membuang biaya yang terlalu besar, akan tetapi tetap efektif dan
diterima sepenuhnya oleh kedua belah pihak yang bersengketa secara sukarela. Apa
yang dimaksud dengan mediasi dan dengan cara bagaimana memanfaatkannya. Akan
diberikan gambaran tata cara mediasi yang efektif dan tepat untuk kepentingan
penyelesaian sengketa bisnis - komersial ataupun lainnya dalam percaturan
masyarakat. Mediasi merupakan tata cara berdasarkan “iktikad baik”, kooperatif
dan non konfrontatif dimana para pihak yang bersengketa menyampaikan
saran-sarannya masing-masing melalui jalur bagaimana sengketa akan
diselesaikan. Melalui kebebasan yang diberikan dimungkinkan kepada mediator
bergerak kearah penyelesaian yang inovatif melalui suatu bentuk penyelesaian
yang tidak dapat dilakukan oleh pengadilan, akan tetapi para pihak yang
bersengketa memperoleh manfaat yang saling menguntungkan. Dalam dunia
perdagangan misalnya bentuk penyelesaian semacam ini memberi kemungkinan kepada
mereka untuk terus melanjutkan hubungan dagangnya yang kalau dilakukan melalui
pengadilan tidak pernah atau hampir tidak mungkin terjadi. Mediasi dapat
dilakukan sejak saat timbulnya sengketa sampai saat sengketa dihadapkan kepada
hakim atau arbiter serta sebelum putusan akhir dijatuhkan. Dengan demikian,
mediasi sebagai suatu mekanisme proses dapat diterima oleh masyarakat dan mampu
untuk melakukan penyesuaian dalam berbagai keadaan.
Mediasi
telah dimanfaatkan diberbagai negara, misalnya di Amerika Serikat dan Eropah,
dimana proses dan biaya pengadilan sulit dikendalikan (teliti Pasal 33 Piagam
PBB yang berkata: “The parties to any disputes, the continuance of which is
likely to endanger the maintenance of international peace and security, shall,
first of all, seek a solution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation,
arbitration settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other
peaceful means of their own choice”). Suatu hal yang menarik bahwa mediasi
didukung oleh para ahli hukum internasional, karena mereka menyadari dapat
menyelesaikan sengketa secara cepat dan tentunya dengan akibat imbalan
jasanyapun masuk secara cepat pula. Oleh karena itu, mediasi kini sangat
diminati oleh mereka yang berprofesi dibidang hukum, karena bukan hanya para
pihak saja, akan tetapi para ahli hukumpun dapat memetik keuntungan dari
pemanfaatan cara berproses tersebut. Mediasi merupakan bentuk intervensi damai
yang khusus walaupun tidak banyak pihak yang berhasil sebagai mediator. Seorang
mediator tidak perlu mempunyai kemampuan teknis tertentu dalam usaha
menyelesaikan sengketa. Tidak seperti seorang arbiter yang wajib memahami
berbagai permasalahan dan sistim hukum seperti sistem hukum Anglo Saxon,
Kontinental, Germanic, Amerika Tengah – Selatan, Afrika, Madagaskar, Islam,
India, China, Jepang, Australia, Pacific, Indonesia dan lain-lain. Seorang
mediator diharapkan cenderung menjadi orang yang mampu berpikir secara lateral
dan berkepribadian sedemikian rupa sehingga dapat membantu para pihak
bernegosiasi. Kadang-kadang si mediator perlu berusaha menghilangkan rasa
enggan para pihak mencari pemecahan yang memilih menghindari penyelesaian
secara damai. Seorang mediator tidak akan memaksakan suatu pemecahan kepada
para pihak dan tidak seperti seorang arbiter atau hakim. Esensi dari mediasi
adalah sifatnya yang sukarela dan kenyataan bahwa setiap penyelesaian yang
dicapai merupakan hasil kesepakatan para pihak yang bersengketa. Mediasi tidak
mengandung unsur pemaksaan yang tidak saja dapat membuat proses menjadi begitu
menarik, akan tetapi sebaliknya memungkinkan para pihak mencapai penyelesaian
yang tidak mungkin dicapai oleh pengadilan dan ini berarti bahwa kerugian yang
timbul disebabkan oleh sengketa dapat ditekan serendah mungkin.
Segi lain dari mediasi yang kurang
diperhatikan ialah bahwa mediator seperti halnya seorang arbiter itu bukan
wakil atau pengacara dari pihak-pihak yang bersengketa. Ia independen dan tidak
mempunyai kepentingan dan hubungan apapun. Ia akan menghormati posisi para
pihak dengan siapa ia berhubungan. Keadaan ini kadang-kadang kurang dipahami
oleh para pihak dan profesi hukum. Mediasi mempunyai banyak bentuk, akan tetapi
ragamnya memiliki beberapa kesamaan. Dapat dimulai dengan pembicaraan melalui
tilpon, dimana seseorang sebagai mediator
yang diminta oleh salah satu pihak akan menghubungi pihak lainnya. Atau
dapat pula dilakukan melalui surat-menyurat dengan tembusan kepada pihak lain
yang berkepentingan. Surat
tersebut dapat berisikan misalnya, pokok-pokok tentang siapa dan apa itu
mediasi. Kemudian mungkin saja perlu dijelaskan
bahwa mereka berada dalam satu organisasi atau lembaga yang
mengkhususkan diri menerima permintaan bantuan penyelesaian sengketa seperti
Pusat Mediasi Nasional. Organisasi
tersebut independen dan mampu menyediakan mediator untuk membantu menyelesaikan
sengketa. Proses pengadilan di Indonesia seringkali berlangsung secara bertele
– tele, lama dan menjengkelkan. Dan biayanyapun dalam hitungan uang dan
perasaan cukup tinggi dan akhirnya kemudian hubungan bisnis antar para pihak
sesudah itu menjadi tidak mungkin dan mendorong pihak yang kalah menghadapi
kebangkrutan. Risalah ini tidak bermaksud mendorong sengketa dialihkan dari
proses pengadilan, akan tetapi sebagian besar sengketa yang diselesaikan di
pengadilan masih dapat diselesaikan pada tahap awal melalui mediasi atau dalam
kasus tertentu melalui arbitrase, karena mediasi (dan arbitrase) merupakan
mekanisme penyelesaian sengketa yang sifatnya rahasia dan murah. Para pihak
memilih mediator yang merupakan seorang yang terlatih yang dapat membantu para
pihak menemukan prinsip-prinsip mekanisme penyelesaian yang sama dan kalau
diketemukan bagaimana memanfaatkannya.
Apabila
dasar pijakan antara para pihak tidak sama, mediator akan memberikan hanya
saran-saran untuk memungkinkan para pihak mengatasi rintangan yang
kadang-kadang tampaknya sulit untuk diatasi. Manfaat mediasi dapat diperoleh
karena mempunyai dasar “iktikad baik”, kooperatif dan non
konfrontatif. Para pihak tidak dapat diikat sampai mereka sendiri
menyetujui syarat-syaratnya. Manfaat lainnya ialah bahwa para pihak dapat
bersepakat untuk “mengeyampingkan” syarat-syarat yang tercantum dalam kontrak
dan merundingkan kembali syarat-syarat tersebut secara damai demi kepentingan
dan keuntungan bersama. Kesempatan untuk merundingkan kembali syarat perjanjian
yang telah dibuat merupakan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi atau jarang dalam proses pengadilan. Seni mediator
ialah untuk membantu para pihak menjajaki kemungkinan-kemungkinan dan memberi
kesempatan kepada mereka untuk mengakhiri sengketanya dengan hasil dan
keuntungan bersama. Mediasi dapat dilakukan setiap saat sejak muncul sampai
saat sebelum keputusan arbitrase atau pengadilan dijatuhkan andaikata sengketa
tersebut terlanjur diserahkan ke arbitrase atau pengadilan. Untuk itu
kadang-kadang memang sebaiknya kedua pihak menunjuk seseorang yang merupakan
ahli yang diperlukan dalam sengketa tertentu. Dalam sengketa niaga yang
sederhana misalnya, para pihak akan merasakan bahwa lebih awal mediasi
dimanfaatkan, hasilnya akan lebih dirasakan. Dalam setiap mediasi apapun
sifatnya, mediator wajib memastikan bahwa ia hanya berhubungan dengan para
pihak yang mempunyai wewenang melakukan kesepakatan dan menyelesaikan masalah
dan atas tanggung jawabnya masing-masing. Salah satu masalah yang dihadapi
seorang mediator ialah untuk meyakinkan “pihak-pihak yang berlawanan”
masuk kedalam proses mediasi. Banyak ahli hukum menganggap proses tersebut
sebagai “sistem yang asing” dan tidak segan-segan untuk
menghalang-halangi pemanfaatannya. Dan seperti telah diuraikan terdahulu
terdapat berbagai bentuk mediasi oleh karena sekali para pihak bersepakat
menyerahkan sengketanya kepada mekanisme tersebut, maka mediator akan membahas
dengan para pihak dan akan mencoba memilih cara yang paling tepat bagi
penyelesaian sengketa.
Hubungan
dapat dilakukan melalui tilpon, e-mail, fax atau surat dengan “pihak-pihak
yang berlawanan”. Ia akan mencoba dan mengusulkan agar para pihak tersebut
bersedia menggunakan prosedur yang diusulkan dan pihak lain berwenang
menyelesaikan sengketa atas nama pihaknya atau diri sendiri. Jadi dapat saja
mediasi dilakukan melalui tilpon, e-mail, fax, dan surat (walaupun cara
terakhir ini memakan waktu). Akan tetapi mungkin saja para pihak akan
menyimpulkan bahwa sengketa mereka ini lebih baik dirundingkan secara langsung,
tatap muka dan berhadapan. Dalam keadaan demikian mediator akan mengatur tempat
yang disetujui bersama untuk bertemu. Tempat
tersebut harus netral dan bukan kantornya salah satu pihak akan tetapi misalnya
ruangan khusus sebuah hotel.
Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh para
pihak (dengan perantara seorang atau beberapa orang mediator) sebaiknya ia
(sang mediator) atau beberapa orang mediator mengenal berbagai sistim hukum
yang berlaku di dunia seperti telah diutarakan terdahulu. Keadaan ini
kalau-kalau para pihak sendiri memiliki kebangsaan dan sistim hukum yang
berbeda (lain kalau para pihak itu terdiri dari penduduk negara Indonesia) Yang
kedua ialah apakah sengketa itu merupakan sengketa yang terjadi setiap hari
misalnya, sengketa antar tetangga, pebisnis yang sederhana. Biasanya sengketa
semacam ini dinamakan sengketa dengan ciri-ciri “fast track” (jalur
cepat). Sengketa dengan sifat “fast track” ini jelas selayaknya diselesaikan
ke-arah “win-win” – tidak ada yang kalah atau menang. Bagi sang mediator, ia
wajib menyadari, bahwa setiap arah penyelesaian sengketa pada umumnya selalu
akan berlandaskan pada pilihan apakah (a) mencari fakta atau kebenaran (fact and
truth finding), jadi melihat dan meneliti kebelakang apa sebenarnya yang telah
terjadi dan dialami oleh para pihak; (b) menerapkan hukum (law imposing) secara
legalistis; (c) memecahkan sengketa / masalah (“problem solving”). Maka untuk
sengketa yang dinilai berjalur fast track ini dimasukkan kedalam
kategori (c) yakni memecahkan masalahnya (problem solving). Jadi
bukan siapa yang benar / salah atau siapa harus menang – kalah dengan
menerapkan hukumnya secara legalistis akan tetapi memecahkannya melalui “problem
solving” sehingga tercapai kesepakatan “win-win” tadi. Dikenal pula prinsip
“standard track” (jalur rutin), yakni misalnya sengketa dibidang
konstruksi, perjanjian-perjanjian dagang dan lain-lain. Untuk “standard
track” ini dapat menggunakan kombinasi “problem solving” dengan diberi
sedikit warna “law imposing” seperti halnya melalui arbitrase. Pertama-tama
melihat UU nya yang khusus; dan kalau tidak memperoleh pemecahan maka para
pihak beralih ke kewajaran dan kepatutan, yakni prinsip “ex
aequo et bono”. Terakhir ialah “complex track” yang karena
kompleksitasnya sebaiknya ke arbitrase atau ke Pengadilan, tergantung dari
kehendak berdasarkan kesepakatan para pihak melalui perjanjian arbitrase (“arbitration
clause”) yakni sebelum sengketa terjadi atau bilamana telah terjadi melalui
perjanjian penyerahan ke arbitrase (“submission clause”). Disamping
pedoman-pedoman tersebut terdahulu, ada baiknya para (calon) mediator menyadari
bahwa bentuk, sifat dan arah mediasi di dunia ini praktis sama karena memiliki doktrin-doktrin sebagai berikut. Pertama : doktrin
internasionalisasi, yakni dilandasi oleh filsafah, hukum yang berlaku
dimanapun kita berada dengan melalui proses yang bertujuan ke arah pemecahan “win-win”.
Kedua : doktrin universalisasi, yakni sengketa atau beda pendapat apapun
pada prinsipnya selalu dapat diselesaikan melalui mediasi. Ketiga : doktrin
globalisasi, sengketa-sengketa antar bangsa yang banyak terjadi selama ini
berhasil diselesaikan melalui mediasi. Terakhir, doktrin trans-nasional,
yakni tempat (venue) untuk melakukan mediasi dapat diselesaikan dimana saja
sesuai kehendak – kesepakatan para pihak.
No comments:
Post a Comment