Oleh H. Priyatna Abdurrasyid
Dalam rangka penyelesaian sengketa dan ketidak sefahaman, mekanisme
Arbitrase/APS merupakan pilihan yang efektif bagi para pengusaha (nasional
maupun internasional) sebagai suatu cara perdamaian pihak-pihak dibidang
kegiatan komersial. Yang diartikan dengan komersial ialah seperti dicantumkan
di dalam “The United Nations Commission on International Trade Law (UNICITRAL)
tanggal 28 April 1976
(UNICITRAL ARBITRATION RULES disingkat UAR), sebagai berikut:
“The term commercial should de given a wide
interpretation so as to cover matters arising from all relationships of a
commercial in nature, whether contractual or not. Relationships of a commercial
nature include, but are not limited to, the following transactions: any trade
transaction for the supply or exchange goods or services; distribution
agreement; commercial representation or agency; factoring; licensing;
investment; financing; banking; insurance; exploitation agreement or
concession; joint venture and other forms of industrial or business
co-operation; carriage of goods or passenger by air, sea, rail, or road”.
Bahkan ada pula
yang menghendaki agar juga ditetapkan di bidang kartu kredit, perbankan dan
pelanggaran terhadap keamanan lingkungan.
1. Mengapa Memilih Arbitrase
Arbitrase biasa dipilih para pengusaha untuk penyelesaian sengketa
komersialnya, karena ternyata memiliki beberapa
kelebihan dan kemudahan, yakni antara lain :
a.
Para
pihak yang bersengketa dapat memilih para arbitratornya sendiri dan untuk ini tentunya akan dipilih
mereka yang dipercayai memiliki
integritas, kejujuran, keahlian dan profesionalisme dibidangnya masing-masing (dan sama sekali bukan mewakili pihak atau konsultan bagi yang
memilihnya).
b. Pelaksanaan
majelis arbitrase konfidensial dan
oleh karena itu dapat menjamin rahasia dan publisitas yang tidak dikehendaki.
c. Putusan
arbitrase, sesuai dengan kehendak dan niat para pihak merupakan putusan final dan mengikat bagi para
pihak terhadap sengketanya; lain lagi putusan pengadilan yang terbuka bagi
peninjauan yang biasanya memakan waktu lama.
d. Karena putusannya final dan mengikat, tata caranya bisa cepat, biaya terukur
serta relatif jauh lebih rendah dari
biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pengadilan. Apalagi kalau
kebetulan ditangani oleh pengacara yang kurang bertanggung jawab sehingga
masalahnya dapat berkepanjangan.
e. Tata
cara arbitrase lebih informal dari
tata cara pengadilan dan oleh karena itu terbuka untuk memperoleh dan
tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan
dan damai (“amicable”); memberi
kesempatan luas untuk meneruskan hubungan komersial para pihak dikemudian hari
setelah berakhirnya proses penyelesaian sengketanya, dapat melanjutkan
hubungan bisnisnya yang bertujuan memperoleh keuntungan.
Diciptakannya tata cara penyelesaian sengketa komersial secara damai
(arbitrase) merupakan akibat dari hal-hal dibawah ini khusus bagi para pengusaha asing, yakni:
1) Para pihak (asing) ragu untuk mengajukan sengketanya di
peradilan nasional pihak lawan sengketa;
2) Apalagi
kalau lawan sengketanya itu merupakan lembaga atau perorangan warga negara
tersebut. Kekhawatiran selalu saja ada bahwa peradilan negara yang bersangkutan
setidak-tidaknya akan terpengaruh oleh penguasanya dan bersikap tidak
independen; (atau melalui “permainan”
dana khusus; itulah sebabnya kini menjadi rahasia umum dilingkup nasional
maupun internasional bahwa putusan Pengadilan di Indonesia banyak
ketergantungan kepada “penawar tertinggi”)
3) Pihak
asing itu kurang memahami tata cara / prosedur Pengadilan negara tersebut dan
merasa berada dalam posisi yang kurang menguntungkan.
4)
Peradilan
negara menggunakan bahasa nasional yang tidak dimengerti oleh pihak asing
tersebut (lain lagi pada sidang arbitrase yang boleh menggunakan bahasa asing
yang dikuasai atau bahasa yang diterima dan dipilih oleh pihak-pihak yang
bersengketa).
5) Eksekusi
putusan arbitrase pada umumnya lebih terjamin dengan telah berlakunya “United
Nations Convention on the Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 “ dan
yang telah diratifikasi oleh hampir semua negara termasuk negara industri dan
negara-negara berkembang.
2. Privatisasi sengketa
Arbitrase karena sifatnya menjurus kepada privatisasi penyelesaian
sengketa dan dapat dikatakan mengarah kepada posisi “win-win” dan bukan kepada apa yang biasa terjadi di
Pengadilan yang mempertaruhkan “win-loose” dan banyak terjadi “jual-beli hukum”, terjamin tidak ada
publisitas karena sifat yang tertutup. Tidak seperti perkara-perkara di
pengadilan yang terbuka dapat dihadiri oleh umum, pers dan seringkali
dibeberkan di media massa.
Suatu keadaan yang dapat merugikan pihak, terutama reputasi yang dapat
mempengaruhi integritas, bonafiditas yang bersengketa. Sifat arbitrase sangat
konfidensial dan mampu menghilangkan rasa khawatir para pihak seperti kalau
bersengketa di pengadilan. Keuntungan lain ialah tidak banyak formalitas yang harus diikuti (simplifikasi hukum dan
prosedur). Pedoman: true & fact
finding, law imposing, problem solving. Acara perdata di
pengadilan terikat oleh berbagai formalitas, seperti kita lihat di pengadilan
biasa. Misalnya cara pemanggilan, cara penyampaian exploit, jangka waktu untuk
melakukan berbagai tindakan hukum, seperti naik banding, penyampaian waktu untuk
sidang, bentuk atau format risalah-risalah dan lain-lain. Salah formalitas
dapat mempengaruhi jalannya sidang dan seringkali menghilangkan kesempatan
melanjutkan pemeriksaan. Memang untuk eksekusi putusan arbitrase kadang-kadang
perlu bantuan pengadilan, akan tetapi hanya ada pada taraf eksekusi saja. Dalam prakteknya keadaan ini kadang-kadang
merupakan kelemahan arbitrase. Akan tetapi selama para pihak berlaku
sportif dan jujur, tidak masalah. Akan tetapi adakalanya terjadi bahwa yang
merasa dikalahkan melakukan upaya hukum di pengadilan untuk menganulir putusan
(AWARD) yang diterbitkan majelis arbitrase, misalnya mengajukan permohonan agar
putusan arbitrase itu dianulir, atau lebih jauh lagi menuntut para arbitrator
anggota Majelis, walaupun salah satu arbitrator merupakan pilihannya sendiri.
Oleh karena itu dikatakan bahwa arbitrase itu baik hanya untuk para pengusaha
yang bonafide dan beriktikad baik dan bukan mereka yang seringkali menggunakan
pengadilan sebagai usaha untuk mengelak kewajiban, atau mengulur waktu pemenuhan kewajiban.
Dapat dikemukakan disini sistem yang berlaku di Inggris. Adanya sengketa
menghendaki para pengacara melakukan tatap muka dan mendiskusikan cara-cara
penyelesaian yang baik di luar pengadilan. Andaikata pengacara itu melihat kelemahan
hukum kliennya tetapi meneruskan perkaranya ke Pengadilan dan ternyata kemudian
dikalahkan, maka organisasi pengacaranya akan memberi konduite (juga
pengadilan) yang kurang. Sistem ini seyogianya patut dipertimbangkan di Indonesia
dengan menumpuknya perkara-perkara di MA. Sebagian besar merupakan ulah
pihak-pihak yang seharusnya membantu meluruskan penerapan hukum di Indonesia.
Arbitrase hanya akan menguntungkan para pengusaha yang bonafide dan beriktikad
baik, kalau sengketa yang terjadi diselesaikan tidak di pengadilan yang
biasanya memakan waktu yang sulit diperhitungkan. Sedangkan komersial,
khususnya yang internasional menghendaki penyelesaian yang cepat, biaya
terukur, dapat diandalkan dan ditangani
oleh wasit yang menguasai bidangnya. Arbitrase akan baik kalau didukung
oleh organisasi pengusaha yang bonafide. Ia akan baik dan bermanfaat jika
sengketa terjadi antara para pihak yang sama-sama bonafide dan memiliki
integritas usaha di masyarakat luas. Anggota organisasi usaha tertentu tersebut
tentunya akan takut kehilangan muka dan kesempatan kelanjutan usahanya bilamana
ia mengabaikan putusan arbitrase yang merupakan hasil dari badan yang telah
dipilihnya sendiri. Andaikata mereka mengabaikan putusan arbitrase, kemungkinan
besar nama mereka akan tercemar apalagi kalau dicantumkan dalam “black list”
organisasi tersebut.
3. Arbitrase/APS : Cepat, Terukur
Bahwa arbitrase itu terjangkau dan cepat disebabkan oleh berbagai
faktor. Misalnya jangka waktu kerja majelis arbitrase dibatasi oleh undang-undang
seperti di Indonesia
oleh UU No.30/99 yang memberi waktu penyelesaian sidang 6 bulan sampai pada
putusan akhir dan final. BANI misalnya 3 bulan dengan kesempatan perpanjangan
sampai 3 bulan tambahan. Sedangkan peradilan biasa bisa memakan waktu, bahkan
sampai 20 tahun lebih. Arbitrase dikenal sebagai suatu cara penyelesaian
melalui “fast track” dan juga “standard track” (sedangkan pengadilan dikenal
sebagai “complicated track”). Bisnis internasional menghendaki penyelesaian
yang cepat. Para pengusaha tidak dapat berdiam
diri dengan menunggu putusan pengadilan. Usahanya harus berjalan terus. Mereka
tidak dapat berbuat lain kecuali mencari suatu cara penyelesaian sengketa
dengan tidak melalui pengadilan. Diperlukan bentuk penyelesaian sengketa dan
dalam hal ini arbitrase dengan wasit swastanya, tidak terikat berbagai
formalitas, walaupun tetap dalam batas-batas kewajaran hukum, kejujuran,
kebenaran, keadilan (putusan “ex aequo et bono”) seraya mampu memberikan
putusan yang adil dan dapat diterima oleh pihak, dalam instansi terakhir,
mengikat dan mudah dilaksanakan dan dengan demikian jalan usahanya dapat
berlanjut dengan kemungkinan masih bisa berhubungan dengan mitra usaha yang
pernah menjadi lawan sengketanya. Kemudian mengapa arbitrase dipilih bagi usaha
komersial internasional. Disebabkan oleh karena tidak adanya badan pengadilan
komersial internasional yang dapat diandalkan dan efektif. Arbitrase masih
dianggap sebagai satu-satunya yang paling tepat untuk menyelesaikan sengketa
transaksi internasional. Kini belum kita dapati peradilan yang dapat memeriksa
sengketa komersial internasional. Adanya kekhawatiran dan keengganan para
pengusaha internasional yang bersengketa melawan pengusaha nasional membawa
sengketanya ke peradilan nasional karena kekhawatiran hakimnya akan memihak.
Oleh karena itu sering kita lihat bahwa dalam perjanjian dagang internasional,
selalu dipilih forum hukum asing. Latar belakang sikap ini karena para
pengusaha asing merasa tidak aman. Mereka takut kepada pengadilan dan hakim negara
lain,khususnya negara berkembang. Arbitrase bisa melepaskan diri dari forum
hakim nasional, misalnya dengan memilih arbitrase ICC, LCIA, ICSID, maupun
forum negara tertentu dan harus ditentukan apakah suatu badan peradilan
tersebut mempunyai jurisdiksi untuk memeriksa perkara yang diajukan. Adakalanya
ternyata ada pengadilan negara lain yang juga merasa kompeten mengadili perkara
tersebut. Pihak yang satu dapat saja memilih pengadilan yang dianggapnya akan
lebih memberi keuntungan kepadanya; sebaliknya lawannya akan berbuat yang sama.
Akhirnya ada kemungkinan yang satu dapat digugat di forum pengadilan beberapa
negara. Dalam arbitrase masalah tempat dapat ditetapkan mana yang lebih praktis
dan tidak banyak mengeluarkan banyak biaya, karena andaikata dipilih tempat
majelis yang jauh dari para pihak, atau tempat domisili para arbitratornya,
tentunya akan banyak mempengaruhi prinsip terukur dan cepat tadi. Perkara apa
yang dapat diselesaikan melalui arbitrase. Pertama tentunya dilihat apa yang
tercantum didalam perjanjian antara para pihak. Didalam perjanjian harus
tercantum secara jelas bahwa bilamana terjadi sengketa, penyelesaiannya akan
diserahkan kepada suatu badan arbitrase. Penunjukan ini harus secara tertulis,
jelas dan tegas. Dikatakan bahwa “ an
arbitration agreement must have precise terms, lawful, be stated with
certainty. The arbitration agreement must not relate to any matter which is
immoral, illegal or is contrary to public policy ”.
4. Klausula (clause) arbitrase
Beberapa contoh “clause” arbitrase :
a. Korea
“All disputes, controversies, or differences which may arise between
the parties, out of or in relation to or in connection with this contract, or
for the breach thereof, shall be finally settled by arbitration in Seoul, Korea
in accordance with the Commercial Arbitration Rules of the Korean Commercial
Arbitration Association and under the Laws of korea. The Award rendered by the
arbitrator(s) shall be final and binding upon both parties concerned”.
b. Singapore
“Any dispute arising out of or in connection with this contract,
including any question regarding its existence, validity or termination, shall
be referred to anf finally resolved by arbitration in Singapore in accordance
with the Arbitration Rules of Singapore International Arbitration Centre (“SIAC
Rules”) for the time being in force which rules are deemed to be incorporated
by reference into this clause ”.
c. Netherlands
“All dispute arising in connection with the present contract or
further contracts resulting thereof, shall be finally settled by arbitration in
accordance with the Rules of the Netherlands Arbitration Institute (Nederland’s Arbitrage
Instituut)”.
d. ICC
“All disputes arising in connection with the present contract shall
be finally settled under the Rules of Conciliation and Arbitration of the
International Chamber of Commerce by one or more arbitrators appointed in
accordance with the said Rules”.
e. UNCITRAL
“Any dispute, controversy or claim arising out of or relating to this
contract, or the breach, termination or invalidity thereof, shall be settled by
arbitration in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as at present in
force. The appointing authority shall be
the ICC acting in accordance with the rules adopted by the ICC for this
purpose”.
f. BANI
“semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan
dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut
peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua
belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan
terakhir”.
Tanpa adanya “clause” tersebut dapat saja para pihak yang bersengketa
mengajukan ke arbitrase melalui kesepakatan bersama secara tertulis setelah
timbulnya sengketa. Perlu dicatat, bahwa suatu “Arbitration Clause” itu
merupakan sumber filsafah, sumber hukum dan sumber yurisdiksi bagi semua pihak
yang terkait didalam suatu sengketa yang diselesaikan melalui Arbitrase-ADR.
Oleh karena itu perlu dibedakan antara “General Arbitration”, yakni yang
bertujuan meliput semua sengketa yang timbul dari hubungan kontrak
antara para pihak. “Restricted Arbitration”, yakni yang meliput segala
bentuk sengketa, kecuali sengketa-sengketa tertentu tidak akan
diselesaikan melalui Arbitrase-ADR atau ada juga “Narrow Arbitration”,
yakni hanya sengketa-sengketa tertentu saja yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase-ADR. Dalam hal ini kita bicara tentang klausula arbitrase
yang disepakati sebagai tata-cara menyelesaikan sengketa-sengketa yang mungkin
ternyata dikemudian hari. Untuk menyepakati suatu cara penyelesaian setelah
sengketa timbul, maka dikenal “Submission Clause” dan biasanya diselesaikan
melalui arbitrase ad-hoc. Secara singkat dapat dikatakan elemen-elemen suatu
perjanjian arbitrase itu adalah:
-
Para
pihak
-
Tertulis
-
Penjabaran tata cara pemilihan arbiter, bentuk
sengketa, hukum yang berlaku, dan lain-lain.
-
Tanggal
-
Tanda tangan
-
Tempat sidang
-
Sebaiknya
dipublikasikan
Hak-hak tercantum pada perjanjian arbitrase itu mutlak berada pada
para pihak, karena mereka memiliki kedaulatan,
otoritas, yurisdiksi, independensi.
5. Tentang Wasit (Arbitrator)
Yang juga sangat penting ialah memilih arbitrator yang tepat,
kompeten, jujur dan memiliki integritas bukan saja pribadinya akan tetapi juga
kemampuan dan keahliannya tentang inti sengketa yang dihadapi. Jumlah
arbitrator (wasit) yang akan dipilih tergantung dari keinginan pihak, bisa satu
(tunggal), bisa lebih, misalnya 3 orang, satu dipilih masing-masing oleh para
pihak dan yang ketiga oleh mereka bersama sehingga dengan demikian dicapai
jumlah yang ganjil. Dan andaikata para pihak tidak memilih dapat saja
diserahkan kepada Lembaga Arbitrase seperti BANI, yang dicantumkan didalam
perjanjiannya. Dalam hal ini marilah kita teliti status seorang arbitrator.
Dikatakan bahwa ia terikat oleh suatu kontrak yang khusus, yakni ia dibebani
tugas (setelah dipilih dan menerima pengangkatannya) untuk “to settle the disputes between the
contestant” (receptem arbitrii).
Apa hak dan kewajiban arbitrator:
a. Ia harus
independen dan menunjukkan sikap tidak memihak, terbuka maupun tertutup
(walaupun ia dipilih oleh salah satu pihak yang bersengketa bukan berarti ia mewakili atau harus
membela pihak yang memilihnya).
b. Harus
menyampaikan kepada para pihak dan tentunya kepada institusi dimana ia
terdaftar agar setiap fakta dan keadaan yang mungkin akan menimbulkan
keragu-raguan atas independensi dan ketidak pihakannya yang mungkin timbul
didalam ucapan maupun pikiran para pihak yang bersengketa.
c. Terikat
untuk menerapkan tata cara secara pantas (“equitable”) menghargai dan
menghormati prinsip perlakuan yang tidak memihak dan menghormati hak-hak para
pihak untuk didengar.
d. Menyelesaikan
dan memberi putusan dalam waktu sesingkat-singkatnya sesuai waktu yang telah
ditetapkan.
e.
Memelihara
konfidealitas para pihak juga setelah
dikeluarkan keputusannya.
f.
Selama
pemeriksaan ia berhak memperoleh kerja sama yang jujur dan terbuka dari para
pihak.
g.
Ia tidak
bisa dituntut karena isi putusannya, kecuali terbukti memihak atau tidak
independen.
6. Bahasan tentang kegiatan komersial internasional
(disamping kegiatan komersial nasional)
Sekarang marilah ditelaah apa yang dimaksud dengan “internasional”. Kalau kita ikuti
pendapat Mochtar Kusumaatmadja (Guru Besar Hukum Internasional UNPAD-Bandung),
yang mengatakan bahwa Hukum Internasional itu ialah keseluruhan kaedah-kaedah
dan azas-azas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas
negara antara “negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum bukan negara
atau subjek hukum bukan negara satu sama lain”. Dengan demikian dapat diartikan
bagi arti internasional ialah melewati
perbatasan negara dan subjek hukum berbeda negara. Ada pendapat lain bagi internasional,
misalnya kalau persoalannya melewati dua atau lebih negara, atau berkaitan
dengan beberapa orang lain kebangsaan, atau karena kebiasaan dianggap sebagai
internasional atau menurut hukum dinyatakan internaional. Mengacu kepada
Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang PMA, maka ditetapkan adanya unsur-unsur
asing. Secara singkat arbitrase itu bersifat internasional kalau:
a. Para
pihak yang bersengketa memiliki kebangsaan yang berbeda yang terbukti dan
dinyatakan secara tegas (bandingkan dengan PMA di Indonesia).
b. Tempat
penyelesaian sengketa melalui arbitrase berada di luar domisili para pihak
(sesuai dengan kesepakatan bersama).
c.
Objek
arbitrase terletak di luar wilayah negara dimana para pihak memiliki usahanya.
d.
Para
pihak sepakat bahwa objeknya (sesuai dengan klausula arbitrase) memiliki
keterkaitan dengan satu negara atau lebih.
Perlu diingat bahwa batas negara (terutama batas bisnis) kini sudah
menipis/luntur dengan adanya organisasi ASEAN, NAFTA, AFTA, WTO/SATT, Pasar
Modal, Pusat Bursa, dan lain-lain.
No comments:
Post a Comment