Thursday, February 14, 2013

Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Damai, Cepat Dengan Biaya Terjangkau

Oleh H. Priyatna Abdurrasyid

Dalam rangka penyelesaian sengketa dan ketidak sefahaman, mekanisme Arbitrase/APS merupakan pilihan yang efektif bagi para pengusaha (nasional maupun internasional) sebagai suatu cara perdamaian pihak-pihak dibidang kegiatan komersial. Yang diartikan dengan komersial ialah seperti dicantumkan di dalam “The United Nations Commission on International Trade Law (UNICITRAL) tanggal 28 April 1976 (UNICITRAL ARBITRATION RULES disingkat UAR), sebagai berikut: 

     “The term commercial should de given a wide interpretation so as to cover matters arising from all relationships of a commercial in nature, whether contractual or not. Relationships of a commercial nature include, but are not limited to, the following transactions: any trade transaction for the supply or exchange goods or services; distribution agreement; commercial representation or agency; factoring; licensing; investment; financing; banking; insurance; exploitation agreement or concession; joint venture and other forms of industrial or business co-operation; carriage of goods or passenger by air, sea, rail, or road”.

Bahkan ada pula yang menghendaki agar juga ditetapkan di bidang kartu kredit, perbankan dan pelanggaran terhadap keamanan lingkungan.

1.   Mengapa Memilih Arbitrase
Arbitrase biasa dipilih para pengusaha untuk penyelesaian sengketa komersialnya, karena ternyata memiliki beberapa kelebihan dan kemudahan, yakni antara lain :
a.       Para pihak yang bersengketa dapat memilih para arbitratornya sendiri dan untuk ini tentunya akan dipilih mereka yang dipercayai memiliki integritas, kejujuran, keahlian dan profesionalisme dibidangnya masing-masing (dan sama sekali bukan mewakili pihak atau konsultan bagi yang memilihnya).

b.    Pelaksanaan majelis arbitrase konfidensial dan oleh karena itu dapat menjamin rahasia dan publisitas yang tidak dikehendaki.

c.   Putusan arbitrase, sesuai dengan kehendak dan niat para pihak merupakan putusan final dan mengikat bagi para pihak terhadap sengketanya; lain lagi putusan pengadilan yang terbuka bagi peninjauan yang biasanya memakan waktu lama.

d.    Karena putusannya final dan mengikat, tata caranya bisa cepat, biaya terukur serta relatif jauh lebih rendah dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pengadilan. Apalagi kalau kebetulan ditangani oleh pengacara yang kurang bertanggung jawab sehingga masalahnya dapat berkepanjangan.

e.   Tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan dan oleh karena itu terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan dan damai (“amicable”); memberi kesempatan luas untuk meneruskan hubungan komersial para pihak dikemudian hari setelah berakhirnya proses penyelesaian sengketanya, dapat melanjutkan hubungan bisnisnya yang bertujuan memperoleh keuntungan.

Diciptakannya tata cara penyelesaian sengketa komersial secara damai (arbitrase) merupakan akibat dari hal-hal dibawah ini khusus bagi para pengusaha asing, yakni:
1)   Para pihak (asing) ragu untuk mengajukan sengketanya di peradilan nasional pihak lawan sengketa;
2)   Apalagi kalau lawan sengketanya itu merupakan lembaga atau perorangan warga negara tersebut. Kekhawatiran selalu saja ada bahwa peradilan negara yang bersangkutan setidak-tidaknya akan terpengaruh oleh penguasanya dan bersikap tidak independen; (atau melalui “permainan” dana khusus; itulah sebabnya kini menjadi rahasia umum dilingkup nasional maupun internasional bahwa putusan Pengadilan di Indonesia banyak ketergantungan kepada “penawar tertinggi”)
3)     Pihak asing itu kurang memahami tata cara / prosedur Pengadilan negara tersebut dan merasa berada dalam posisi yang kurang menguntungkan.
4)    Peradilan negara menggunakan bahasa nasional yang tidak dimengerti oleh pihak asing tersebut (lain lagi pada sidang arbitrase yang boleh menggunakan bahasa asing yang dikuasai atau bahasa yang diterima dan dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa).
5)   Eksekusi putusan arbitrase pada umumnya lebih terjamin dengan telah berlakunya “United Nations Convention on the Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 “ dan yang telah diratifikasi oleh hampir semua negara termasuk negara industri dan negara-negara berkembang.

2.   Privatisasi sengketa
Arbitrase karena sifatnya menjurus kepada privatisasi penyelesaian sengketa dan dapat dikatakan mengarah kepada posisi “win-win” dan bukan kepada apa yang biasa terjadi di Pengadilan yang mempertaruhkan “win-loose” dan banyak terjadi “jual-beli hukum”, terjamin tidak ada publisitas karena sifat yang tertutup. Tidak seperti perkara-perkara di pengadilan yang terbuka dapat dihadiri oleh umum, pers dan seringkali dibeberkan di media massa. Suatu keadaan yang dapat merugikan pihak, terutama reputasi yang dapat mempengaruhi integritas, bonafiditas yang bersengketa. Sifat arbitrase sangat konfidensial dan mampu menghilangkan rasa khawatir para pihak seperti kalau bersengketa di pengadilan. Keuntungan lain ialah tidak banyak formalitas yang harus diikuti (simplifikasi hukum dan prosedur). Pedoman: true & fact finding, law imposing, problem solving. Acara perdata di pengadilan terikat oleh berbagai formalitas, seperti kita lihat di pengadilan biasa. Misalnya cara pemanggilan, cara penyampaian exploit, jangka waktu untuk melakukan berbagai tindakan hukum, seperti naik banding, penyampaian waktu untuk sidang, bentuk atau format risalah-risalah dan lain-lain. Salah formalitas dapat mempengaruhi jalannya sidang dan seringkali menghilangkan kesempatan melanjutkan pemeriksaan. Memang untuk eksekusi putusan arbitrase kadang-kadang perlu bantuan pengadilan, akan tetapi hanya ada pada taraf eksekusi saja. Dalam prakteknya keadaan ini kadang-kadang merupakan kelemahan arbitrase. Akan tetapi selama para pihak berlaku sportif dan jujur, tidak masalah. Akan tetapi adakalanya terjadi bahwa yang merasa dikalahkan melakukan upaya hukum di pengadilan untuk menganulir putusan (AWARD) yang diterbitkan majelis arbitrase, misalnya mengajukan permohonan agar putusan arbitrase itu dianulir, atau lebih jauh lagi menuntut para arbitrator anggota Majelis, walaupun salah satu arbitrator merupakan pilihannya sendiri. Oleh karena itu dikatakan bahwa arbitrase itu baik hanya untuk para pengusaha yang bonafide dan beriktikad baik dan bukan mereka yang seringkali menggunakan pengadilan sebagai usaha untuk mengelak kewajiban, atau mengulur waktu pemenuhan kewajiban. Dapat dikemukakan disini sistem yang berlaku di Inggris. Adanya sengketa menghendaki para pengacara melakukan tatap muka dan mendiskusikan cara-cara penyelesaian yang baik di luar pengadilan. Andaikata pengacara itu melihat kelemahan hukum kliennya tetapi meneruskan perkaranya ke Pengadilan dan ternyata kemudian dikalahkan, maka organisasi pengacaranya akan memberi konduite (juga pengadilan) yang kurang. Sistem ini seyogianya patut dipertimbangkan di Indonesia dengan menumpuknya perkara-perkara di MA. Sebagian besar merupakan ulah pihak-pihak yang seharusnya membantu meluruskan penerapan hukum di Indonesia. Arbitrase hanya akan menguntungkan para pengusaha yang bonafide dan beriktikad baik, kalau sengketa yang terjadi diselesaikan tidak di pengadilan yang biasanya memakan waktu yang sulit diperhitungkan. Sedangkan komersial, khususnya yang internasional menghendaki penyelesaian yang cepat, biaya terukur, dapat diandalkan dan ditangani oleh wasit yang menguasai bidangnya. Arbitrase akan baik kalau didukung oleh organisasi pengusaha yang bonafide. Ia akan baik dan bermanfaat jika sengketa terjadi antara para pihak yang sama-sama bonafide dan memiliki integritas usaha di masyarakat luas. Anggota organisasi usaha tertentu tersebut tentunya akan takut kehilangan muka dan kesempatan kelanjutan usahanya bilamana ia mengabaikan putusan arbitrase yang merupakan hasil dari badan yang telah dipilihnya sendiri. Andaikata mereka mengabaikan putusan arbitrase, kemungkinan besar nama mereka akan tercemar apalagi kalau dicantumkan dalam “black list” organisasi tersebut.

3.   Arbitrase/APS : Cepat, Terukur
Bahwa arbitrase itu terjangkau dan cepat disebabkan oleh berbagai faktor. Misalnya jangka waktu kerja majelis arbitrase dibatasi oleh undang-undang seperti di Indonesia oleh UU No.30/99 yang memberi waktu penyelesaian sidang 6 bulan sampai pada putusan akhir dan final. BANI misalnya 3 bulan dengan kesempatan perpanjangan sampai 3 bulan tambahan. Sedangkan peradilan biasa bisa memakan waktu, bahkan sampai 20 tahun lebih. Arbitrase dikenal sebagai suatu cara penyelesaian melalui “fast track” dan juga “standard track” (sedangkan pengadilan dikenal sebagai “complicated track”). Bisnis internasional menghendaki penyelesaian yang cepat. Para pengusaha tidak dapat berdiam diri dengan menunggu putusan pengadilan. Usahanya harus berjalan terus. Mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mencari suatu cara penyelesaian sengketa dengan tidak melalui pengadilan. Diperlukan bentuk penyelesaian sengketa dan dalam hal ini arbitrase dengan wasit swastanya, tidak terikat berbagai formalitas, walaupun tetap dalam batas-batas kewajaran hukum, kejujuran, kebenaran, keadilan (putusan “ex aequo et bono”) seraya mampu memberikan putusan yang adil dan dapat diterima oleh pihak, dalam instansi terakhir, mengikat dan mudah dilaksanakan dan dengan demikian jalan usahanya dapat berlanjut dengan kemungkinan masih bisa berhubungan dengan mitra usaha yang pernah menjadi lawan sengketanya. Kemudian mengapa arbitrase dipilih bagi usaha komersial internasional. Disebabkan oleh karena tidak adanya badan pengadilan komersial internasional yang dapat diandalkan dan efektif. Arbitrase masih dianggap sebagai satu-satunya yang paling tepat untuk menyelesaikan sengketa transaksi internasional. Kini belum kita dapati peradilan yang dapat memeriksa sengketa komersial internasional. Adanya kekhawatiran dan keengganan para pengusaha internasional yang bersengketa melawan pengusaha nasional membawa sengketanya ke peradilan nasional karena kekhawatiran hakimnya akan memihak. Oleh karena itu sering kita lihat bahwa dalam perjanjian dagang internasional, selalu dipilih forum hukum asing. Latar belakang sikap ini karena para pengusaha asing merasa tidak aman. Mereka takut kepada pengadilan dan hakim negara lain,khususnya negara berkembang. Arbitrase bisa melepaskan diri dari forum hakim nasional, misalnya dengan memilih arbitrase ICC, LCIA, ICSID, maupun forum negara tertentu dan harus ditentukan apakah suatu badan peradilan tersebut mempunyai jurisdiksi untuk memeriksa perkara yang diajukan. Adakalanya ternyata ada pengadilan negara lain yang juga merasa kompeten mengadili perkara tersebut. Pihak yang satu dapat saja memilih pengadilan yang dianggapnya akan lebih memberi keuntungan kepadanya; sebaliknya lawannya akan berbuat yang sama. Akhirnya ada kemungkinan yang satu dapat digugat di forum pengadilan beberapa negara. Dalam arbitrase masalah tempat dapat ditetapkan mana yang lebih praktis dan tidak banyak mengeluarkan banyak biaya, karena andaikata dipilih tempat majelis yang jauh dari para pihak, atau tempat domisili para arbitratornya, tentunya akan banyak mempengaruhi prinsip terukur dan cepat tadi. Perkara apa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase. Pertama tentunya dilihat apa yang tercantum didalam perjanjian antara para pihak. Didalam perjanjian harus tercantum secara jelas bahwa bilamana terjadi sengketa, penyelesaiannya akan diserahkan kepada suatu badan arbitrase. Penunjukan ini harus secara tertulis, jelas dan tegas. Dikatakan bahwa “ an arbitration agreement must have precise terms, lawful, be stated with certainty. The arbitration agreement must not relate to any matter which is immoral, illegal or is contrary to public policy ”.

4.   Klausula (clause) arbitrase
Beberapa contoh “clause” arbitrase :
a.   Korea
“All disputes, controversies, or differences which may arise between the parties, out of or in relation to or in connection with this contract, or for the breach thereof, shall be finally settled by arbitration in Seoul, Korea in accordance with the Commercial Arbitration Rules of the Korean Commercial Arbitration Association and under the Laws of korea. The Award rendered by the arbitrator(s) shall be final and binding upon both parties concerned”.


b.   Singapore
“Any dispute arising out of or in connection with this contract, including any question regarding its existence, validity or termination, shall be referred to anf finally resolved by arbitration in Singapore in accordance with the Arbitration Rules of Singapore International Arbitration Centre (“SIAC Rules”) for the time being in force which rules are deemed to be incorporated by reference into this clause ”.

c.   Netherlands
“All dispute arising in connection with the present contract or further contracts resulting thereof, shall be finally settled by arbitration in accordance with the Rules of the Netherlands Arbitration Institute (Nederland’s Arbitrage Instituut)”.

d.   ICC
“All disputes arising in connection with the present contract shall be finally settled under the Rules of Conciliation and Arbitration of the International Chamber of Commerce by one or more arbitrators appointed in accordance with the said Rules”.

e.   UNCITRAL
“Any dispute, controversy or claim arising out of or relating to this contract, or the breach, termination or invalidity thereof, shall be settled by arbitration in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as at present in force.  The appointing authority shall be the ICC acting in accordance with the rules adopted by the ICC for this purpose”.

f.    BANI
“semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir”.

Tanpa adanya “clause” tersebut dapat saja para pihak yang bersengketa mengajukan ke arbitrase melalui kesepakatan bersama secara tertulis setelah timbulnya sengketa. Perlu dicatat, bahwa suatu “Arbitration Clause” itu merupakan sumber filsafah, sumber hukum dan sumber yurisdiksi bagi semua pihak yang terkait didalam suatu sengketa yang diselesaikan melalui Arbitrase-ADR. Oleh karena itu perlu dibedakan antara “General Arbitration”, yakni yang bertujuan meliput semua sengketa yang timbul dari hubungan kontrak antara para pihak. “Restricted Arbitration”, yakni yang meliput segala bentuk sengketa, kecuali sengketa-sengketa tertentu tidak akan diselesaikan melalui Arbitrase-ADR atau ada juga “Narrow Arbitration”, yakni hanya sengketa-sengketa tertentu saja yang dapat diselesaikan melalui arbitrase-ADR. Dalam hal ini kita bicara tentang klausula arbitrase yang disepakati sebagai tata-cara menyelesaikan sengketa-sengketa yang mungkin ternyata dikemudian hari. Untuk menyepakati suatu cara penyelesaian setelah sengketa timbul, maka dikenal “Submission Clause” dan biasanya diselesaikan melalui arbitrase ad-hoc. Secara singkat dapat dikatakan elemen-elemen suatu perjanjian arbitrase itu adalah:
-         Para pihak
-         Tertulis
-         Penjabaran tata cara pemilihan arbiter, bentuk sengketa, hukum yang berlaku, dan lain-lain.
-         Tanggal
-         Tanda tangan
-         Tempat sidang
-         Sebaiknya dipublikasikan
Hak-hak tercantum pada perjanjian arbitrase itu mutlak berada pada para pihak, karena mereka memiliki kedaulatan, otoritas, yurisdiksi, independensi.

5.   Tentang Wasit (Arbitrator)
Yang juga sangat penting ialah memilih arbitrator yang tepat, kompeten, jujur dan memiliki integritas bukan saja pribadinya akan tetapi juga kemampuan dan keahliannya tentang inti sengketa yang dihadapi. Jumlah arbitrator (wasit) yang akan dipilih tergantung dari keinginan pihak, bisa satu (tunggal), bisa lebih, misalnya 3 orang, satu dipilih masing-masing oleh para pihak dan yang ketiga oleh mereka bersama sehingga dengan demikian dicapai jumlah yang ganjil. Dan andaikata para pihak tidak memilih dapat saja diserahkan kepada Lembaga Arbitrase seperti BANI, yang dicantumkan didalam perjanjiannya. Dalam hal ini marilah kita teliti status seorang arbitrator. Dikatakan bahwa ia terikat oleh suatu kontrak yang khusus, yakni ia dibebani tugas (setelah dipilih dan menerima pengangkatannya) untuk “to settle the disputes between the contestant” (receptem arbitrii). Apa hak dan kewajiban arbitrator:
a.      Ia harus independen dan menunjukkan sikap tidak memihak, terbuka maupun tertutup (walaupun ia dipilih oleh salah satu pihak yang bersengketa bukan berarti ia mewakili atau harus membela pihak yang memilihnya).
b.     Harus menyampaikan kepada para pihak dan tentunya kepada institusi dimana ia terdaftar agar setiap fakta dan keadaan yang mungkin akan menimbulkan keragu-raguan atas independensi dan ketidak pihakannya yang mungkin timbul didalam ucapan maupun pikiran para pihak yang bersengketa.
c.     Terikat untuk menerapkan tata cara secara pantas (“equitable”) menghargai dan menghormati prinsip perlakuan yang tidak memihak dan menghormati hak-hak para pihak untuk didengar.
d.   Menyelesaikan dan memberi putusan dalam waktu sesingkat-singkatnya sesuai waktu yang telah ditetapkan.
e.       Memelihara konfidealitas para pihak juga setelah dikeluarkan keputusannya.
f.        Selama pemeriksaan ia berhak memperoleh kerja sama yang jujur dan terbuka dari para pihak.
g.       Ia tidak bisa dituntut karena isi putusannya, kecuali terbukti memihak atau tidak independen.

6.   Bahasan tentang kegiatan komersial internasional (disamping kegiatan komersial nasional)
Sekarang marilah ditelaah apa yang dimaksud dengan “internasional”. Kalau kita ikuti pendapat Mochtar Kusumaatmadja (Guru Besar Hukum Internasional UNPAD-Bandung), yang mengatakan bahwa Hukum Internasional itu ialah keseluruhan kaedah-kaedah dan azas-azas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara “negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain”. Dengan demikian dapat diartikan bagi arti internasional ialah melewati perbatasan negara dan subjek hukum berbeda negara. Ada pendapat lain bagi internasional, misalnya kalau persoalannya melewati dua atau lebih negara, atau berkaitan dengan beberapa orang lain kebangsaan, atau karena kebiasaan dianggap sebagai internasional atau menurut hukum dinyatakan internaional. Mengacu kepada Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang PMA, maka ditetapkan adanya unsur-unsur asing. Secara singkat arbitrase itu bersifat internasional kalau:

a.    Para pihak yang bersengketa memiliki kebangsaan yang berbeda yang terbukti dan dinyatakan secara tegas (bandingkan dengan PMA di Indonesia).
b.   Tempat penyelesaian sengketa melalui arbitrase berada di luar domisili para pihak (sesuai dengan kesepakatan bersama).
c.       Objek arbitrase terletak di luar wilayah negara dimana para pihak memiliki usahanya.
d.      Para pihak sepakat bahwa objeknya (sesuai dengan klausula arbitrase) memiliki keterkaitan dengan satu negara atau lebih.

Perlu diingat bahwa batas negara (terutama batas bisnis) kini sudah menipis/luntur dengan adanya organisasi ASEAN, NAFTA, AFTA, WTO/SATT, Pasar Modal, Pusat Bursa, dan lain-lain.

No comments:

Post a Comment