Thursday, February 14, 2013

Penyelesaian Sengketa Bidang Jasa Konstruksi Secara Damai

Oleh H. Priyatna Abdurrasyid

1.  Pendahuluan

Prasaran ini membahas tata cara penyelesaian sengketa di bidang Jasa Konstruksi melalui Arbitrase / Alternatif Penyelesaian Sengketa dan ketidaksefahaman, dengan bertitik tolak kepada terutama UU No. 18/99 tentang Jasa Konstruksi, UU No. 30/99 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Ketentuan-ketentuan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), International Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID - Washington Convention 1965), International Chamber of Commerce Rules of Arbitration (ICC), United Nations Commission on International Trade Law  (UNCITRAL), New York Convention 1958 dan ketentuan-ketentuan lainnya yang terkait.

Industri jasa konstruksi merupakan salah satu kunci kepentingan di dalam suatu sistem ekonomi negara. Di dalam Penjelasan UU Republik Indonesia No. 18/99 tentang Jasa Konstruksi, kenyataan ini dijabarkan secara panjang lebar dan dari pasal-pasalnya disimpulkan bahwa industri ini sensitif akan terjadinya berbagai bentuk sengketa, yang karena sifat, hakekat dan bentuk jasa konstruksi menghendaki suatu mekanisme penyelesaian sengketa, yang murah, cepat, profesional, adil, final dan mengikat, agar pelaksanaan jasa ini dapat berlanjut secara berkesinambungan. Terhentinya pelaksanaan jasa ini dapat menimbulkan kerugian bukan saja pada pihak-pihak yang langsung terkait, akan tetapi kepada pertumbuhan ekonomi negara dan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Jasa kontruksi memiliki fungsi yang tidak kalah pentingnya dan sejajar dengan kepentingan bidang pembangunan lainnya. Oleh karena itu, di dalam usaha mengamankan kelancaran terlaksananya bidang ini, segala ketentuan hukumnya harus jelas, pasti, sederhana, adanya kesatuan tafsiran dan memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang terkait berlandaskan kepada “iktikad baik – good faith”. Salah satu cara penyelesaian hukumnya bilamana timbul  sengketa / ketidaksefahaman dalam bidang tersebut dapat diselesaikan secara cepat, damai, pasti, sehingga pelaksanaan industri jasa konstruksi dapat berlangsung dengan berkesinambungan adalah melalui arbitrase – alternatif penyelesaian sengketa.

2.   Yang dimaksud dengan Industri Jasa Konstruksi.
Industri jasa konstruksi merupakan suatu kegiatan pembangunan (ekonomi) yang meliputi kegiatan-kegiatan besar-besaran dan beragam dan di negara-negara Eropa (dan lain-lainnya) diklasifikasikan sebagai berikut :

Construction : erecting, repairing buildings; constructing and repairing roads and bridges; erecting steel and reinforced concrete structures; other civil engineering works such as laying sewers and gas mains, erecting overhead line supports and aerial masts, open caste mining, etc. The building and civil engineering establishment of defence and other government departments and of local authorities are included. Establishments specialising in demolition work or in sections of construction work such as asphalting, electrical wiring, flooring, glazing, installing heating and ventilating apparatus, painting plumbing, plastering, roofing. The hiring of contractor’s plant and scaffolding is included. It also includes other activities where the major elements of their works is building,  civil engineering, other installation of products and systems either in buildings or in association with civil engineering works. (Peter Fena, Mediating Construction Disputes, Cavendish Publishing, 1997).

Sebelumnya perlu diteliti ciri-ciri perkembangan ekonomi yang sangat sederhana     yaitu Permintaan (Demand) dan Pengadaan (Supply) berkaitan dengan industri jasa konstruksi.

Dari data statistik jasa konstruksi yang diterbitkan di United Kingdom misalnya “output” pada tahun 1994 mencapai jumlah 50 milyard Poundsterling (hampir 9 % dari gross domestic product) sambil mempekerjakan paling banyak tenaga manusia. Industri tersebut sangat terpecah-pecah, artinya banyak bagian-bagian yang sepertinya terdiri dari bidang usaha yang berdiri sendiri, besar dan kecil. Sayangnya jumlah data-data ini sampai hari ini sangat sulit diperoleh. Terpecah-pecahnya (fragmented) ini telah menimbulkan masalah bukan saja sengketa dan ketidaksefahaman, akan tetapi juga sulitnya untuk mengukur dan menghitung  tenaga-tenaga yang terkait. Misalnya seorang yang bergerak di bidang fabrikasi produk bangunan, apakai ia masuk dalam klasifikasi produsen atau konstruksi. Banyak pula profesional-profesional di dalam industri konstruksi diklasifikasikan dalam sektor jasa dan tidak dikelompokkan di dalam industri jasa konstruksi. Kalau kita teliti UU No. 18/99, mulai Pasal 1 sampai Pasal 16 dan seterusnya menempatkan tenaga-tenaganya di dalam 3 kelompok besar, yakni perencana, pelaksana dan pengawas konstruksi. Dalam hal ini UU No. 18/99 telah melupakan tenaga-tenaga yang juga tidak kalah pentingnya, yakni tenaga pendidik dan riset di bidang kontruksi. Pada umumnya batasan / klasifikasi standar di dalam industri konstruksi ini mengakui bahwa proyek-proyek bangunan dan “civil engineering”, tidak seperti halnya bidang industri lain, terbagi dalam kelompok design dan kelompok produksi yang dibedakan. Selanjutnya kelompok design dan kelompok produksi dipisah pula dari penggunaan / pemanfaatan bangunan, arsitek dan profesi design yang masing-masing bekerja mandiri diklasifikasikan sebagai “professional services”. Produsen dari beberapa macam benda dan komponen, misalnya batu bata, semen, kayu, pintu / jendela, dikelompokkan sebagai “manufacturing”, dan mereka yang menyediakan batu / pasir diklasifikasikan sebagai “penambang / quary”. Bagaimana berlangsungnya perkembangan permintaan dan pengadaan di bidang ini.

a.   Permintaan (Demand).
Di bidang permintaan jasa konstruksi dapat disimpulkan secara singkat pokok-pokok sebagai berikut :

1). Kebanyakan bangunan merupakan sesuatu yang disebut “one-offs”, artinya memperlihatkan ciri “tailor made” untuk seseorang sesuai dengan spesifikasi individual. Perbedaan lain misalnya letak (lingkungan) bangunan sesuai kehendak, jadi tidak ada standarisasi, mengurangi kemungkinan dilakukan produksi masal yang pada akhirnya menentukan harga bangunan dan mutu. 

2). Gedung dan bangunan merupakan benda tahan lama (durable), dan akibatnya sebagian nilai output konstruksinya menyangkut pemeliharaan dan perbaikan / renovasi.

3). Benda tahan lama pada umumnya merupakan benda modal (capital goods). Oleh karena itu pembiayaannya hampir 100 % diperoleh dari pinjaman / kredit. Permintaan gedung dan bangunan biasanya tergantung dari tersedia biayanya dan kredit yang diperoleh. 

4). Permintaan juga tergantung dari fluktuasi musim. Di banyak negara kegiatan di bidang ini terkonsentrasi pada musim panas-hujan dan musim semi / panas (spring-summer). Selanjutnya tergantung dari keadaan moneter seperti yang sedang melanda Indonesia sekarang.

5). Juga rawan oleh intervensi Pemerintah, misalnya oleh sistem perpajakan, ada tidaknya subsidi terhadap benda-benda terkait / BBM, transport dan lain-lain. Belum lagi pengaturan negara yang kadang kala sangat ketat dan ada monopoli.

b.       Pengadaan (Supply).
Ciri-ciri dari pengadaan produk-produk konstruksi adalah sebagai berikut : 

1). Pengadaan benda-benda produksi untuk konstruksi bukan merupakan hasil produksi yang berdiri sendiri tetapi merupakan suatu produksi yang berkelanjutan. Berbeda dengan produksi bidang lainnya yang dapat berdiri sendiri. 

2). Produksi biasanya terjadi di alam terbuka atau di lokasi dimana sedang  didirikan bangunan. Dan ini mengakibatkan masalah bagaimana melindunginya terhadap cuaca, cara-cara penggudangan dari barang-barang bergerak, pemindahan tenaga kerja dan melakukan pengawasan terhadap peralatan dan pekerjaan.

3). Dalam industri jasa konstruksi yang bentuknya sederhana konstruksi dapat dibangun oleh 2 orang tukang batu, 2 orang tukang semen sedangkan bidang-bidang yang lain dapat di subkontrakkan. Bentuk ini  diterapkan pada proyek besar yang dapat diselesaikan secara relatif oleh suatu kelompok tenaga yang kecil dengan mengontrakkannya kepada suatu perusahaan khusus (vertical disintegration).

4). Konstruksi merupakan pekerjaan padat karya  (labor intensive), biaya tenaga kerja merupakan bagian besar daripada pembiayaan, biasanya sampai 1/3 atau 1/2 dari seluruh pembangunan. Tenaga kerja terlatih mendominasi pelaksanaan pekerjaan.

3. Bentuk industri jasa konstruksi.
Industri jasa konstruksi merupakan hasil dari kebutuhan utama manusia akan tempat berteduh. Pada mulanya sejalan dengan perkembangan masyarakat, keluarga anggota masyarakat tersebut membentuk tempat berteduh bersama (Kalimantan) atau bekerjasama dengan tetangga anggota kelompok untuk membangun suatu bangunan menanggulangi kepentingan bersama seperti membangun mesjid, gereja, wihara, klenteng, gedung pertemuan, pos hansip, jembatan atau kebutuhan-kebutuhan infrastruktur lainnya. Semangat untuk bekerjasama masih tampak di masyarakat berbagai negara maju maupun negara berkembang. Pengadaan tenaga kerja untuk konstruksi menghendaki suatu organisasi  yang terarah. Sektor informal dari konstruksi biasanya luput dari pengaturan-pengaturan hukum, misalnya seorang buruh lepas dipekerjakan untuk memperbaiki kebocoran rumah, untuk melakukan renovasi, untuk melakukan pembersihan atau pemeliharaan. Dan sektor informal ini adakalanya luput pula dari beban pajak. Oleh karena itu istilah “informal sector” dan “illegal sector” sangat tepat dan merupakan bagian dari “black economy” negara. Keadaan ini lebih banyak berkembang di negara - negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Adanya berbagai ragam ukuran sektor informal dalam industri konstruksi demikian seringkali menimbulkan sengketa dengan bentuk yang bervariasi tergantung dari 3 faktor :

a. Bentuk pekerjaan yang harus diselesaikan, dan ini tergantung dari luasnya negara, keadaan variasi cuaca, bentuk geografis dan kepadatan penduduk.

b.   Teknologi yang dipilih, dan inipun tergantung dari kenyataan fisik dan kondisi cuaca dan juga sampai dimana perkembangan kemajuan teknologi negara tersebut. Tersedianya sumber-sumber daya tenaga kerja dan material dan sampai dimana peranan negara dalam perkembangan industri tersebut sebagai bagian kegiatan ekonomi secara keseluruhan.

c.   Faktor ekonomis dan sosial, dan ini biasanya berkaitan dengan fungsi  kebudayaan dan sejarah negara.  Kemudian organisasi politik dan ekonomi tentunya kepastian hukum.

Di negara-negara berkembang bahkan di negara majupun unit-unit konstruksi itu  biasanya dapat dibagi di dalam 4 bentuk : milik negara, swasta, sektor informal / individual atau pengadaan melalui organisasi kemasyarakatan seperti kesatuan adat, agama, politik, pendidikan dan lain-lain. 

4.  Ciri-ciri operasional dan organisasi.
Arah organisasi suatu bentuk jasa konstruksi dapat berkembang membentuk  suatu pengaturan hukum kontraktual. Pengaturan ini terjadi antara pihak-pihak yang memiliki kekuatan komersial yang berbeda dan ini mengakibatkan suatu keadaan situasi yang berkembang ke arah konflik / sengketa. Sebaliknya ciri-ciri operasional dan organisasi ini akan berkembang dan menghasilkan berbagai bentuk mekanisme penyelesaian dan solusi. Di beberapa negara bentuk-bentuk organisasi pelaksanaan operasional banyak memiliki ciri yang sama dapat terbagi atas : prakarsa dan pembiayaan, design konstruksi, manajemen pengawasan dan kegiatan konstruksi. Sistem membentuk dan menyusun tata cara dimana seseorang (yang mempunyai prakarsa dan mendanai bangunan / gedung yang dikehendaki) disebut “Pengadaan” (procurement). Pembentukan atau menciptakan “procurement” dapat terjadi melalui 3 bentuk, yakni :
a.   Pengadaan bentuk tradisional.
b.   Pengadaan bentuk disain dan bangun.
c.   Pengadaan bentuk manajemen.

Bentuk tradisional melibatkan klien atau pemilik bangunan di dalam beberapa jumlah hubungan kontraktual yang beragam. Juga jumlah konsultan dengan siapa si klien itu mengikat diri melalui kontrak dapat melibatkan seorang arsitek, surveyor quantity, agen-agen, insinyur struktural, insinyur jasa, designer interior dan kontraktor. Secara tradisional, arsiteklah yang memimpin kegiatan tersebut dan merupakan tugasnya menjadi penghubung antara klien dengan kelompok-kelompok lainnya dan memberikan jaminan bahwa gedung tersebut sesuai dengan harapan dan persyaratan klien. Keuntungan dari sistem ini ialah bahwa klien memiliki suatu kelompok ahli yang menjadi penasehat yang merupakan anggota dari berbagai lembaga-lembaga profesional. Tetapi pelanggaran dan penyimpangan dapat terjadi karena kepentingan masing-masing yang ditonjolkan mengakibatkan kurang terjadinya kerjasama yang erat antara para spesialis. Oleh karena itu bentuk tradisional dianggap kurang layak digunakan lagi karena dapat mengakibatkan keterlambatan penyerahan gedung / bangunan dan adakalanya tidak sesuai dengan kualitas yang diharapkan, belum lagi “over budget”, “over programme” dan kualitas yang menyimpang.

Internasionalisasi jasa konstruksi telah mendorong sistem tradisional kepada suatu bentuk yang lebih maju, yaitu dimana pembangunan dilakukan oleh kelompok kontraktor internasional dengan bekerjasama dengan kontraktor lokal. Tekanan-tekanan ini menghasilkan apa yang disebut dengan “alternative management and management system of design and build” telah menghasilkan suatu tata cara yang sekarang digunakan di mana-mana.

5. Situasi yang dapat menimbulkan sengketa.
Seperti telah diuraikan terdahulu permintaan pasar untuk jasa konstruksi dan pengadaan memiliki ciri-ciri khusus. Bentuk yang rawan menyebabkan terjadinya sengketa. Sebabnya misalnya bentuk design, kontur tanah yang berbeda-beda, klien yang tidak berpengalaman atau yang menghendaki penyelesaian lebih cepat dari yang telah dijadwalkan sesuai dengan kontrak demi mengurangi biaya dan ketidakpastian cuaca. Kontrak konstruksi merupakan suatu hal yang unik yaitu dalam arti kata bahwa negosiasi akan berlangsung secara berkelanjutan selama masa penyelesaian proyek. Dapat dikatakan bahwa konstruksi merupakan suatu usaha negosiasi dari permulaan sampai akhir. Kontrak mensyaratkan bahwa para pihak harus sepakat terhadap suatu jumlah masalah misalnya, evaluasi dan variasi memperpanjang waktu, peningkatan kualitas dari kemampuan tenaga kerja. Selama ini yang menyebabkan terjadinya sengketa dan meningkatkan jumlah sengketa dapat dijabarkan sebagai  berikut :
a.      Alokasi resiko yang tidak seimbang (unfair risk allocation).
b.      Alokasi resiko yang tidak jelas (unclear risk allocation).
c.    Sasaran biaya, waktu dan kualitas yang tidak realistis {unclear risk time/cost/quality (by clients)}.
d.      Pengaruh eksternal yang tidak terkendali ( Uncontrollable external events).
e.      Persaingan dikarenakan budaya {adversarial (industry culture)}.
f.       Harga tender yang tidak realistis (unrealistic tender pricing).
g.      Kontrak yang tidak tepat dan sempurna (inappropriate contract type).
h.     Ketidakmampuan / ketidakterampilan para peserta proyek (lack of competence of project participants).
i.       Tidak adanya profesionalisme (lack of professionalism of project participants).
j.     Klien tidak memperoleh informasi yang benar sehingga bersikap ragu (client’s lack of information or decisiveness).
k.   Memberikan harapan yang tidak realistis {Unrealistic information expectation (contractors)}.

6. Sebab-sebab lain yang juga mempengaruhi terjadinya sengketa.
a.      Penjelasan yang tidak lengkap (inadequate briefs).
b.      Komunikasi yang buruk (poor communications).
c.      Pertentangan pribadi (personality clashes).
d.      Kepentingan masing-masing ditonjolkan (vested interests).
e.      Variasi / perubahan oleh klien (variations or changes by client).
f.        Keterlembatan jawaban dari klien (slow client response).
g.      Claim yang berlebihan (exaggerated claims).
h.      Estimasi yang salah (errors in estimating).
i.        Sengketa intern (internal disputes).
j.         Administrasi kontrak yang tidak sempurna (inadequate contract administration).
k.      Dokumentasi kontrak yang tidak sempurna (inadequate contract documentation).
l.         Informasi design yang tidak tepat (inaccurate design information).
m.    Kesalahan memilih kontraktor (inappropriate contractor selection).
n.      Sistem pembayaran yang kurang tepat (inappropriate payment modalities).
o.      Bentuk kontrak yang tidak sempurna (inappropriate contract form).

7. Tabel berkaitan dengan jumlah claim dan sebabnya.
a.      Perubahan disebabkan oleh kondisi lokasi (variation due to site conditions).
b.      Perubahan oleh klien (variation due to client changes).
c.      Perubahan akibat kesalahan disain (variation due to design errors).
d.      Kondisi tanah yang tidak diperkirakan (unforeseen ground conditions).
e.      Ketidakjelasan di dalam dokumen kontrak (ambiguities in contract documents).
f.        Perubahan karena sebab ekstern (variations due to external events).
g.      Gangguan pada peralatan (interference with utilities).
h.      Cuaca buruk (adverse weather).
i.        Penguasaan lokasi yang terlambat (delayed site possession).
j.         Keterlambatan informasi desain (delayed design information).

8. Beberapa sebab utama terjadinya claim.
a.      Informasi desain yang tidak tepat (delayed design information).
b.      Informasi desain yang tidak sempurna (inadequate design information).
c.      Investigasi lokasi yang tidak sempurna (inadequate site investigations).
d.      Reaksi klien yang lambat (slow client response).
e.      Komunikasi yang buruk (poor communications).
f.        Sasaran waktu yang tidak realistis (unrealistic time targets).
g.      Administrasi kontrak yang tidak sempurna (inadequate contract administration).
h.      Kejadian ekstern yang tidak terkendali (uncontrollable external events).
i.        Informasi tender yang tidak lengkap (incomplete tender information).
j.         Alokasi resiko yang tidak jelas (unclear risk allocation).
k.      Keterlambatan – ingkar membayar (lateness-non payment).

Kebanyakan sengketa / ketidaksepakatan di bidang jasa konstruksi pada umumnya dapat diselesaikan melalui negosiasi / mediasi diluar pengadilan karena konstruksi merupakan kegiatan yang berkelanjutan, dari awal sampai akhir. Melemparkan masalah ke pengadilan berarti menghentikan pembangunan untuk jangka waktu yang tidak bisa diperhitungkan. Tapi negosiasi atau mediasipun dapat tidak berfungsi / gagal, misalnya disebabkan gagalnya komunikasi, kemudian tidak profesional / kompetennya para penegosiasi, kurangnya informasi, emosi dari para pihak, juga para pihak didorong oleh iktikad tidak baik atau tidak adanya iktikad baik, menggunakan penengah / pengacara tidak tepat / kurang menguasai permasalahan bidang jasa konstruksi.

9. Syarat-syarat hukum dan fakta yang merupakan keharusan dalam menyusun  kontrak di bidang jasa konstruksi
Tender sesuai dengan ketentuan yang berlaku mendahului usaha memperoleh proyek jasa konstruksi yang selanjutnya dinegosiasikan persyaratan dan inti hak dan kewajiban para pihak yang nantinya merupakan prinsip dan isi kontrak. Pada umumnya bentuk-bentuk kontrak sudah baku. Di dalam kontrak dicantumkan pembagian tanggung jawab para pihak mengenai hak dan kewajiban, tenaga kerja, pembiayaan dan lain-lain yang semuanya ditempatkan secara sistematis, merata dan seimbang (Pasal 1320 UU Perdata).

Bentuk kontrak mengenai suatu bangunan / gedung sudah distandarisasikan sejak beberapa tahun belakangan sehingga dengan demikian kepada para pihak yang melakukan penyusunan kontrak diberikan kemudahan-kemudahan dan tinggal memasukkan syarat-syarat tambahan yang perlu yang disepakati bersama.

10. Esensi-esensi sebuah kontrak jasa konstruksi.
Esensi-esensi yang perlu pada suatu kontrak jasa konstruksi agar sah bilamana isinya mempunyai kekuatan hukum dan kalau dihadapkan di Pengadilan Negeri / Arbitrase memiliki prinsip-prinsip pokok sebagai berikut :
a.      Ada kepastian.
b.      Pertimbangan-pertimbangan.
c.      Tertulis.
d.      Kapasitas para pihak.

Di pengadilan, Hakim akan menafsirkan kontrak secara harfiah (apa yang tertulis). Dan bukan yang terjadi sebelumnya atau yang diharapkan oleh para pihak. Oleh karena itu dalam menyusun konrak dikehendaki syarat-syarat sebagai berikut :
a.      Kata-kata yang jelas dan apa yang hendak dituju.
b.      Apa yang dipersoalkan.
c.     Tidak dibenarkan berdasarkan pada apa yang telah didiskusikan atau didasarkan dalam ingatan kita.
d.      Ada suatu kerangka yang jelas dan sistematis.
e.      Menggunakan kebiasaan-kebiasaan dalam jasa konstruksi.
f.       Melakukan cek dan ricek.
g.  Bilamana ada perubahan atau tambahan-tambahan pada rancangan kontrak yang bentuknya sudah baku maka harus secara eksplisit dan tepat.
h.      Kata-katanya sederhana.
i.  Kata-kata itu harus benar-benar dipertimbangkan masak-masak dan tidak secara tergesa-gesa.
j.       Menghendaki pendamping dari seorang ahli hukum di bidang jasa konstruksi.
k.      Doktrin dalam kebiasaan kontrak jasa konstruksi.

Maka secara umum di bawah ini sekedar pedoman penyusunan kontrak jasa konstruksi Internasional  (Nasional) :

1).   Background to the Contract Forms : General Law of Contract
2).   Tender and Agreement
3).   Conditions of Contract.
4).   Liability and Insurance : Conditions.
5).   Conditions.
6).   Sub-Contracting : Conditions.
7).   Conditions.
8).   Mediation / Conciliation / Arbitration and Litigation : Conditions.
9).   Conditions and Price Fluctuation Clause.
10). The Bond.
11). National Conditions.
12). Delay, Disruption and Acceleration Claims.
13). Relations of the Engineer with the Employer and the Contractor : National   
       Agreement.
14). Conduct of the Arbitrator and Engineer : Disputes.
15). Liability for Nuisance.
16). Remedies for Breach of Contract.
17). Tendermanship and Claimsmanship.

11. Tata cara menyelesaikan sengketa.
Ada beberapa bentuk mekanisme penyelesaian sengketa yang dapat diterapkan secara Nasional maupun Internasional sebagai berikut :

a.      Tata cara penyelesaian di lokasi atau diluar lokasi (“site based”  atau  “non-site based”)
      Titik tolak yang perlu diperhatikan ialah bilamana proses penyelesaian sengketa di bidang jasa konstruksi telah pada tingkat dimana sengketa / ketidaksefahaman keluar dari lingkungan kekuasaan lokasi konstruksi (keluar dari pengawasan / kekuasaan / pengaruh mereka yang terlibat secara langsung atas keberhasilan proyek) dan jatuh ke tangan pihak ketiga.Pihak ketiga ini bisa para pengacara (tentunya dengan kepentingannya masing-masing) atau para konsultan. Dan bilamana batas “site based” ini dilewati, maka para pihak di “site based” tadi akan kehilangan kesempatan untuk menyelesaikannya karena kesempatan ini telah beralih ke tangan mereka yang dapat saja kurang faham atau kurang pengetahuannya tentang segala sesuatunya berkaitan dengan proyek konstruksi tadi. Pihak-pihak luar pada umumnya kurang sensitif akan hubungan-hubungan yang ada diantara pihak terkait pada proyek. Kenyataan ini kadangkala mempersulit kesempatan penyelesaian sengketa secara damai, efisien dan menutup kesempatan melaksanakan proyeknya secara berkesinambungan.

b.      Mediasi / Konsiliasi / Arbitrase.
Walaupun demikian, penyelesaian sengketa “non-site based” telah membuktikan bahwa sengketa / ketidaksefahaman yang timbul di bidang jasa konstruksi dapat diselesaikan secara bertahap melalui mediasi / negosiasi dan arbitrase. Negosiasi dapat gagal disebabkan oleh, misalnya :
-  Kegagalan berkomunikasi.
-  Kelemahan - ketidakmampuan bernegosiasi.
-  Kurangnya informasi.
-  Emosi.
-  Iktikad tidak baik.
-  Kebutuhan akan seseorang yang berwibawa
-  Ketidaksepakatan tentang tafsiran hukum.

Akan tetapi ada suatu mekanisme yang dapat memuaskan para pihak tanpa mengganggu pelaksanaan proyek. Mekanisme ini telah dipraktekkan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia – BANI, yakni melalui suatu “Combined Processes of Disputes Resolution Technique / Mechanism”. Digabungkan beberapa mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) dengan tujuan menghemat tenaga, waktu, biaya dan dapat menjamin berkelanjutan pelaksanaan proyek, yakni dengan menggunakan mekanisme pendahuluan :
-  Mediasi / konsiliasi.
-  Determinasi dari ahli / evaluasi ahli.

Dan bilamana kedua mekanisme tersebut ternyata tidak berhasil, dapat dilanjutkan melalui arbitrase dengan dibatasi oleh suatu waktu yang ditetapkan oleh UU / Ketentuan yang putusan akhirnya final dan mengikat. Ada suatu cara dalam lingkup determinasi ahli / evaluasi ahli yang perlu dikembangkan. Pada determinasi ahli, pendapatnya harus dipatuhi oleh para pihak, lain dengan evaluasi ahli yang masih dapat dipersoalkan. Kelompok determinasi dapat menjelma dalam 4 bentuk, yakni :
1).  Dispute Resolution Advisor (DRA).
2).  Dispute Review Board (DRB).
3).  Partnering
 4).  Minitrial

Keempat bentuk ini banyak dimanfaatkan di berbagai negara diluar Indonesia.

1).  Dispute Resolution Advisor (DRA).
DRA ini sifatnya fleksibel dengan mencegah terjadinya sengketa pada masa “pre-contract” dan “past-contract”. Pada tahap “pre-contract” DRA berkonsentrasi pada usaha mengidentifikasi (jika dilibatkan) masalah, mencari benih ketidaksefahaman yang timbul, misalnya dimana “problem area” atau apakah alokasi resiko sudah sesuai dan tertanggulangi oleh para pihak. DRA dibentuk oleh para pihak dengan bantuan seorang ahli hukum yang memiliki kemampuan mediasi / konsiliasi dan biasanya diminta dari suatu lembaga arbitrase (seperti BANI di Indonesia, Chartered Institute of Arbitration di Inggris, atau dari organisasi seperti Federation Internationale des Ingenieures Conseils (FIDIC).

2). Dispute Review Boards (DRB).
Kerja DRB melalui suatu majelis yang terdiri dari 3 orang ahli (2 teknik dan 1 ahli hukum) dengan tugas bukan saja menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang konstruksi selama proyek tersebut berjalan. Tata cara (prosedur) kerjanya menerapkan prosedur ADR. Seperti halnya DRA, maka DRB mengunjungi lokasi proyek secara teratur dan menyelesaikan sengketa yang timbul di lokasi secara langsung dan segera. Pada umumnya penyelesaian sengketa dapat pula dilakukan oleh seorang teknisi yang ditunjuk oleh para pihak. Wewenangnya ditetapkan di dalam kontrak mendahului mekanisme yang ditetapkan dan disepakati di dalm klausula arbitrase. Baru kalau “panitia” tersebut gagal, maka sengketa dibawa ke majelis Arbitrase.

3). Partnering.
Beberapa kelompok usaha di bidang jasa konstruksi bergabung untuk mengerjakan proyek secara bekerjasama dan menyelesaikan sengketa yang timbul melalui konsensus. Pendekatan dan penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui mekanisme yang disebut “them and us” dan berakhir kepada pendekatan “we approach”, artinya diselesaikan secara musyawarah secara “intern” dan “on site”.

4). Minitrial.
Para anggota direksi berkumpul dan melalui negosiasi dengan mengundang seorang pihak ketiga sebagai mediator. Apabila segala tingkat usaha tersebut di atas ternyata tidak menghasilkan pemecahan, maka pada akhirnya para pihak menyerahkan sengketanya kepada suatu lembaga arbitrase, misalnya di Indonesia kepada BANI yang harus memberikan keputusan akhirnya secara final dan mengikat dalam jangka waktu paling lama 6 bulan (teliti : Pasal 48 UU 30/99).

No comments:

Post a Comment