Oleh H. Priyatna Abdurrasyid
1. Pendahuluan
Prasaran ini membahas tata cara penyelesaian sengketa di
bidang Jasa Konstruksi melalui Arbitrase / Alternatif Penyelesaian Sengketa dan
ketidaksefahaman, dengan bertitik tolak kepada terutama UU No. 18/99 tentang
Jasa Konstruksi, UU No. 30/99 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Ketentuan-ketentuan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
International Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID - Washington
Convention 1965), International Chamber of Commerce Rules of Arbitration (ICC),
United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL), New York Convention 1958 dan
ketentuan-ketentuan lainnya yang terkait.
Industri jasa
konstruksi merupakan salah satu kunci kepentingan di dalam suatu sistem ekonomi
negara. Di dalam Penjelasan UU Republik Indonesia No. 18/99 tentang Jasa
Konstruksi, kenyataan ini dijabarkan secara panjang lebar dan dari
pasal-pasalnya disimpulkan bahwa industri ini sensitif akan terjadinya berbagai
bentuk sengketa, yang karena sifat, hakekat dan bentuk jasa konstruksi
menghendaki suatu mekanisme penyelesaian sengketa, yang murah, cepat,
profesional, adil, final dan mengikat, agar pelaksanaan jasa ini dapat
berlanjut secara berkesinambungan. Terhentinya pelaksanaan jasa ini dapat
menimbulkan kerugian bukan saja pada pihak-pihak yang langsung terkait, akan
tetapi kepada pertumbuhan ekonomi negara dan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyatnya. Jasa kontruksi memiliki fungsi yang tidak kalah pentingnya dan
sejajar dengan kepentingan bidang pembangunan lainnya. Oleh karena itu, di
dalam usaha mengamankan kelancaran terlaksananya bidang ini, segala ketentuan
hukumnya harus jelas, pasti, sederhana, adanya kesatuan tafsiran dan memberikan
kepastian hukum kepada para pihak yang terkait berlandaskan kepada “iktikad baik – good faith”. Salah satu
cara penyelesaian hukumnya bilamana timbul
sengketa / ketidaksefahaman dalam bidang tersebut dapat diselesaikan
secara cepat, damai, pasti, sehingga pelaksanaan industri jasa konstruksi dapat
berlangsung dengan berkesinambungan adalah melalui arbitrase – alternatif
penyelesaian sengketa.
2. Yang dimaksud dengan Industri Jasa Konstruksi.
Industri jasa konstruksi merupakan suatu kegiatan
pembangunan (ekonomi) yang meliputi kegiatan-kegiatan besar-besaran dan beragam
dan di negara-negara Eropa (dan lain-lainnya) diklasifikasikan sebagai berikut
:
Construction : erecting, repairing buildings; constructing and repairing
roads and bridges; erecting steel and reinforced concrete structures; other
civil engineering works such as laying sewers and gas mains, erecting overhead
line supports and aerial masts, open caste mining, etc. The building and civil
engineering establishment of defence and other government departments and of
local authorities are included. Establishments specialising in demolition work
or in sections of construction work such as asphalting, electrical wiring,
flooring, glazing, installing heating and ventilating apparatus, painting
plumbing, plastering, roofing. The hiring of contractor’s plant and scaffolding
is included. It also includes other activities where the major elements of
their works is building, civil engineering,
other installation of products and systems either in buildings or in
association with civil engineering works. (Peter Fena, Mediating Construction Disputes, Cavendish Publishing, 1997).
Sebelumnya perlu
diteliti ciri-ciri perkembangan ekonomi yang sangat sederhana yaitu Permintaan (Demand) dan Pengadaan
(Supply) berkaitan dengan industri jasa konstruksi.
Dari data
statistik jasa konstruksi yang diterbitkan di United Kingdom misalnya “output”
pada tahun 1994 mencapai jumlah 50 milyard Poundsterling (hampir 9 % dari gross
domestic product) sambil mempekerjakan paling banyak tenaga manusia. Industri
tersebut sangat terpecah-pecah, artinya banyak bagian-bagian yang sepertinya terdiri dari bidang usaha
yang berdiri sendiri, besar dan kecil. Sayangnya jumlah data-data ini sampai
hari ini sangat sulit diperoleh. Terpecah-pecahnya (fragmented) ini telah
menimbulkan masalah bukan saja sengketa dan ketidaksefahaman, akan tetapi juga
sulitnya untuk mengukur dan menghitung
tenaga-tenaga yang terkait. Misalnya seorang yang bergerak di bidang fabrikasi
produk bangunan, apakai ia masuk dalam klasifikasi produsen atau konstruksi.
Banyak pula profesional-profesional di dalam industri konstruksi
diklasifikasikan dalam sektor jasa dan tidak dikelompokkan di dalam industri
jasa konstruksi. Kalau kita teliti UU No. 18/99, mulai Pasal 1 sampai Pasal 16
dan seterusnya menempatkan tenaga-tenaganya di dalam 3 kelompok besar, yakni
perencana, pelaksana dan pengawas konstruksi. Dalam hal ini UU No. 18/99 telah
melupakan tenaga-tenaga yang juga tidak kalah pentingnya, yakni tenaga pendidik
dan riset di bidang kontruksi. Pada umumnya batasan / klasifikasi standar di
dalam industri konstruksi ini mengakui bahwa proyek-proyek bangunan dan “civil
engineering”, tidak seperti halnya bidang industri lain, terbagi dalam kelompok
design dan kelompok produksi yang dibedakan. Selanjutnya kelompok design dan
kelompok produksi dipisah pula dari penggunaan / pemanfaatan bangunan, arsitek
dan profesi design yang masing-masing bekerja mandiri diklasifikasikan sebagai
“professional services”. Produsen dari beberapa macam benda dan komponen,
misalnya batu bata, semen, kayu, pintu / jendela, dikelompokkan sebagai
“manufacturing”, dan mereka yang menyediakan batu / pasir diklasifikasikan
sebagai “penambang / quary”. Bagaimana berlangsungnya perkembangan permintaan
dan pengadaan di bidang ini.
a. Permintaan (Demand).
Di bidang permintaan
jasa konstruksi dapat disimpulkan secara singkat pokok-pokok sebagai berikut :
1). Kebanyakan bangunan
merupakan sesuatu yang disebut “one-offs”, artinya memperlihatkan ciri “tailor made” untuk seseorang sesuai
dengan spesifikasi individual. Perbedaan lain misalnya letak (lingkungan)
bangunan sesuai kehendak, jadi tidak ada standarisasi, mengurangi kemungkinan
dilakukan produksi masal yang pada akhirnya menentukan harga bangunan dan mutu.
2). Gedung dan bangunan merupakan benda tahan lama (durable), dan akibatnya sebagian nilai output konstruksinya menyangkut pemeliharaan dan perbaikan / renovasi.
2). Gedung dan bangunan merupakan benda tahan lama (durable), dan akibatnya sebagian nilai output konstruksinya menyangkut pemeliharaan dan perbaikan / renovasi.
3). Benda tahan lama pada umumnya merupakan benda
modal (capital goods). Oleh karena itu pembiayaannya hampir 100 %
diperoleh dari pinjaman / kredit. Permintaan gedung dan bangunan biasanya
tergantung dari tersedia biayanya dan kredit yang diperoleh.
4). Permintaan juga tergantung dari fluktuasi musim. Di banyak negara kegiatan di bidang ini terkonsentrasi pada musim panas-hujan dan musim semi / panas (spring-summer). Selanjutnya tergantung dari keadaan moneter seperti yang sedang melanda Indonesia sekarang.
5). Juga rawan oleh intervensi Pemerintah, misalnya oleh sistem perpajakan, ada tidaknya subsidi terhadap benda-benda terkait / BBM, transport dan lain-lain. Belum lagi pengaturan negara yang kadang kala sangat ketat dan ada monopoli.
4). Permintaan juga tergantung dari fluktuasi musim. Di banyak negara kegiatan di bidang ini terkonsentrasi pada musim panas-hujan dan musim semi / panas (spring-summer). Selanjutnya tergantung dari keadaan moneter seperti yang sedang melanda Indonesia sekarang.
5). Juga rawan oleh intervensi Pemerintah, misalnya oleh sistem perpajakan, ada tidaknya subsidi terhadap benda-benda terkait / BBM, transport dan lain-lain. Belum lagi pengaturan negara yang kadang kala sangat ketat dan ada monopoli.
b. Pengadaan (Supply).
Ciri-ciri dari
pengadaan produk-produk konstruksi adalah sebagai berikut :
1). Pengadaan benda-benda produksi untuk konstruksi bukan merupakan hasil produksi yang berdiri sendiri tetapi merupakan suatu produksi yang berkelanjutan. Berbeda dengan produksi bidang lainnya yang dapat berdiri sendiri.
2). Produksi biasanya terjadi di alam terbuka atau di lokasi dimana sedang didirikan bangunan. Dan ini mengakibatkan masalah bagaimana melindunginya terhadap cuaca, cara-cara penggudangan dari barang-barang bergerak, pemindahan tenaga kerja dan melakukan pengawasan terhadap peralatan dan pekerjaan.
3). Dalam industri jasa konstruksi yang bentuknya sederhana konstruksi dapat dibangun oleh 2 orang tukang batu, 2 orang tukang semen sedangkan bidang-bidang yang lain dapat di subkontrakkan. Bentuk ini diterapkan pada proyek besar yang dapat diselesaikan secara relatif oleh suatu kelompok tenaga yang kecil dengan mengontrakkannya kepada suatu perusahaan khusus (vertical disintegration).
4). Konstruksi merupakan pekerjaan padat karya (labor intensive), biaya tenaga kerja merupakan bagian besar daripada pembiayaan, biasanya sampai 1/3 atau 1/2 dari seluruh pembangunan. Tenaga kerja terlatih mendominasi pelaksanaan pekerjaan.
1). Pengadaan benda-benda produksi untuk konstruksi bukan merupakan hasil produksi yang berdiri sendiri tetapi merupakan suatu produksi yang berkelanjutan. Berbeda dengan produksi bidang lainnya yang dapat berdiri sendiri.
2). Produksi biasanya terjadi di alam terbuka atau di lokasi dimana sedang didirikan bangunan. Dan ini mengakibatkan masalah bagaimana melindunginya terhadap cuaca, cara-cara penggudangan dari barang-barang bergerak, pemindahan tenaga kerja dan melakukan pengawasan terhadap peralatan dan pekerjaan.
3). Dalam industri jasa konstruksi yang bentuknya sederhana konstruksi dapat dibangun oleh 2 orang tukang batu, 2 orang tukang semen sedangkan bidang-bidang yang lain dapat di subkontrakkan. Bentuk ini diterapkan pada proyek besar yang dapat diselesaikan secara relatif oleh suatu kelompok tenaga yang kecil dengan mengontrakkannya kepada suatu perusahaan khusus (vertical disintegration).
4). Konstruksi merupakan pekerjaan padat karya (labor intensive), biaya tenaga kerja merupakan bagian besar daripada pembiayaan, biasanya sampai 1/3 atau 1/2 dari seluruh pembangunan. Tenaga kerja terlatih mendominasi pelaksanaan pekerjaan.
3. Bentuk industri jasa konstruksi.
Industri jasa konstruksi merupakan hasil dari kebutuhan
utama manusia akan tempat berteduh. Pada mulanya sejalan dengan perkembangan
masyarakat, keluarga anggota masyarakat tersebut membentuk tempat berteduh
bersama (Kalimantan) atau bekerjasama dengan tetangga anggota kelompok untuk
membangun suatu bangunan menanggulangi kepentingan bersama seperti membangun
mesjid, gereja, wihara, klenteng, gedung pertemuan, pos hansip, jembatan atau
kebutuhan-kebutuhan infrastruktur lainnya. Semangat untuk bekerjasama masih
tampak di masyarakat berbagai negara maju maupun negara berkembang. Pengadaan
tenaga kerja untuk konstruksi menghendaki suatu organisasi yang terarah. Sektor informal dari konstruksi
biasanya luput dari pengaturan-pengaturan hukum, misalnya seorang buruh lepas
dipekerjakan untuk memperbaiki kebocoran rumah, untuk melakukan renovasi, untuk
melakukan pembersihan atau pemeliharaan. Dan sektor informal ini adakalanya
luput pula dari beban pajak. Oleh karena itu istilah “informal sector” dan “illegal
sector” sangat tepat dan merupakan bagian dari “black economy” negara. Keadaan ini lebih banyak berkembang di
negara - negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Adanya berbagai ragam
ukuran sektor informal dalam industri konstruksi demikian seringkali
menimbulkan sengketa dengan bentuk yang bervariasi tergantung dari 3 faktor :
a. Bentuk pekerjaan yang harus
diselesaikan, dan ini tergantung dari luasnya negara, keadaan variasi cuaca,
bentuk geografis dan kepadatan penduduk.
b. Teknologi yang dipilih, dan inipun
tergantung dari kenyataan fisik dan kondisi cuaca dan juga sampai dimana
perkembangan kemajuan teknologi negara tersebut. Tersedianya sumber-sumber daya
tenaga kerja dan material dan sampai dimana peranan negara dalam perkembangan
industri tersebut sebagai bagian kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
c. Faktor ekonomis dan sosial, dan ini biasanya berkaitan dengan fungsi kebudayaan dan sejarah negara. Kemudian organisasi politik dan ekonomi tentunya kepastian
hukum.
Di negara-negara
berkembang bahkan di negara majupun unit-unit konstruksi itu biasanya dapat dibagi di dalam 4 bentuk :
milik negara, swasta, sektor informal / individual atau pengadaan melalui
organisasi kemasyarakatan seperti kesatuan adat, agama, politik, pendidikan dan
lain-lain.
4. Ciri-ciri
operasional dan organisasi.
Arah organisasi suatu bentuk jasa konstruksi dapat berkembang membentuk suatu pengaturan hukum kontraktual. Pengaturan ini terjadi antara pihak-pihak yang memiliki kekuatan komersial yang berbeda dan ini mengakibatkan suatu keadaan situasi yang berkembang ke arah konflik / sengketa. Sebaliknya ciri-ciri operasional dan organisasi ini akan berkembang dan menghasilkan berbagai bentuk mekanisme penyelesaian dan solusi. Di beberapa negara bentuk-bentuk organisasi pelaksanaan operasional banyak memiliki ciri yang sama dapat terbagi atas : prakarsa dan pembiayaan, design konstruksi, manajemen pengawasan dan kegiatan konstruksi. Sistem membentuk dan menyusun tata cara dimana seseorang (yang mempunyai prakarsa dan mendanai bangunan / gedung yang dikehendaki) disebut “Pengadaan” (procurement). Pembentukan atau menciptakan “procurement” dapat terjadi melalui 3 bentuk, yakni :
Arah organisasi suatu bentuk jasa konstruksi dapat berkembang membentuk suatu pengaturan hukum kontraktual. Pengaturan ini terjadi antara pihak-pihak yang memiliki kekuatan komersial yang berbeda dan ini mengakibatkan suatu keadaan situasi yang berkembang ke arah konflik / sengketa. Sebaliknya ciri-ciri operasional dan organisasi ini akan berkembang dan menghasilkan berbagai bentuk mekanisme penyelesaian dan solusi. Di beberapa negara bentuk-bentuk organisasi pelaksanaan operasional banyak memiliki ciri yang sama dapat terbagi atas : prakarsa dan pembiayaan, design konstruksi, manajemen pengawasan dan kegiatan konstruksi. Sistem membentuk dan menyusun tata cara dimana seseorang (yang mempunyai prakarsa dan mendanai bangunan / gedung yang dikehendaki) disebut “Pengadaan” (procurement). Pembentukan atau menciptakan “procurement” dapat terjadi melalui 3 bentuk, yakni :
a. Pengadaan bentuk tradisional.
b.
Pengadaan bentuk disain dan bangun.
c. Pengadaan bentuk manajemen.
Bentuk
tradisional melibatkan klien atau pemilik bangunan di dalam beberapa jumlah
hubungan kontraktual yang beragam. Juga jumlah konsultan dengan siapa si klien
itu mengikat diri melalui kontrak dapat melibatkan seorang arsitek, surveyor
quantity, agen-agen, insinyur struktural, insinyur jasa, designer interior dan
kontraktor. Secara tradisional, arsiteklah yang memimpin kegiatan tersebut dan
merupakan tugasnya menjadi penghubung antara klien dengan kelompok-kelompok
lainnya dan memberikan jaminan bahwa gedung tersebut sesuai dengan harapan dan
persyaratan klien. Keuntungan dari sistem ini ialah bahwa klien memiliki suatu
kelompok ahli yang menjadi penasehat yang merupakan anggota dari berbagai
lembaga-lembaga profesional. Tetapi pelanggaran dan penyimpangan dapat terjadi
karena kepentingan masing-masing yang ditonjolkan mengakibatkan kurang
terjadinya kerjasama yang erat antara para spesialis. Oleh karena itu bentuk
tradisional dianggap kurang layak digunakan lagi karena dapat mengakibatkan
keterlambatan penyerahan gedung / bangunan dan adakalanya tidak sesuai dengan
kualitas yang diharapkan, belum lagi “over budget”, “over programme” dan
kualitas yang menyimpang.
Internasionalisasi
jasa konstruksi telah mendorong sistem tradisional kepada suatu bentuk yang
lebih maju, yaitu dimana pembangunan dilakukan oleh kelompok kontraktor
internasional dengan bekerjasama dengan kontraktor lokal. Tekanan-tekanan ini
menghasilkan apa yang disebut dengan “alternative management and management
system of design and build” telah menghasilkan suatu tata cara yang sekarang
digunakan di mana-mana.
5. Situasi yang dapat menimbulkan sengketa.
Seperti
telah diuraikan terdahulu permintaan pasar untuk jasa konstruksi dan pengadaan
memiliki ciri-ciri khusus. Bentuk yang rawan menyebabkan terjadinya sengketa.
Sebabnya misalnya bentuk design, kontur tanah yang berbeda-beda, klien yang
tidak berpengalaman atau yang menghendaki penyelesaian lebih cepat dari yang
telah dijadwalkan sesuai dengan kontrak demi mengurangi biaya dan
ketidakpastian cuaca. Kontrak konstruksi merupakan suatu hal yang unik yaitu
dalam arti kata bahwa negosiasi akan berlangsung secara berkelanjutan selama
masa penyelesaian proyek. Dapat dikatakan bahwa konstruksi
merupakan suatu usaha negosiasi dari permulaan sampai akhir. Kontrak
mensyaratkan bahwa para pihak harus sepakat terhadap suatu jumlah masalah
misalnya, evaluasi dan variasi memperpanjang waktu, peningkatan kualitas dari
kemampuan tenaga kerja. Selama ini yang menyebabkan terjadinya sengketa dan
meningkatkan jumlah sengketa dapat dijabarkan sebagai berikut :
a.
Alokasi resiko yang tidak seimbang
(unfair risk allocation).
b.
Alokasi resiko yang tidak jelas
(unclear risk allocation).
c. Sasaran biaya, waktu dan kualitas
yang tidak realistis {unclear risk time/cost/quality (by clients)}.
d. Pengaruh eksternal yang tidak
terkendali ( Uncontrollable external events).
e. Persaingan dikarenakan budaya
{adversarial (industry culture)}.
f. Harga
tender yang tidak realistis (unrealistic tender pricing).
g. Kontrak yang tidak tepat dan
sempurna (inappropriate contract type).
h. Ketidakmampuan /
ketidakterampilan para peserta proyek (lack of competence of project
participants).
i. Tidak
adanya profesionalisme (lack of professionalism of project participants).
j. Klien
tidak memperoleh informasi yang benar sehingga bersikap ragu (client’s lack of
information or decisiveness).
k. Memberikan harapan yang tidak
realistis {Unrealistic information expectation (contractors)}.
6. Sebab-sebab lain yang juga mempengaruhi terjadinya sengketa.
a. Penjelasan yang tidak lengkap
(inadequate briefs).
b. Komunikasi yang buruk (poor
communications).
c. Pertentangan pribadi (personality
clashes).
d. Kepentingan masing-masing
ditonjolkan (vested interests).
e. Variasi / perubahan oleh klien
(variations or changes by client).
f.
Keterlembatan
jawaban dari klien (slow client response).
g. Claim yang berlebihan
(exaggerated claims).
h. Estimasi yang salah (errors in
estimating).
i.
Sengketa
intern (internal disputes).
j.
Administrasi
kontrak yang tidak sempurna (inadequate contract administration).
k. Dokumentasi kontrak yang tidak
sempurna (inadequate contract documentation).
l.
Informasi
design yang tidak tepat (inaccurate design information).
m. Kesalahan memilih kontraktor
(inappropriate contractor selection).
n. Sistem pembayaran yang kurang
tepat (inappropriate payment modalities).
o. Bentuk kontrak yang tidak
sempurna (inappropriate contract form).
7. Tabel berkaitan dengan jumlah claim dan
sebabnya.
a. Perubahan disebabkan oleh kondisi
lokasi (variation due to site conditions).
b. Perubahan oleh klien (variation
due to client changes).
c. Perubahan akibat kesalahan disain
(variation due to design errors).
d. Kondisi tanah yang tidak
diperkirakan (unforeseen ground conditions).
e. Ketidakjelasan di dalam dokumen
kontrak (ambiguities in contract documents).
f.
Perubahan
karena sebab ekstern (variations due to external events).
g. Gangguan pada peralatan
(interference with utilities).
h. Cuaca buruk (adverse weather).
i.
Penguasaan
lokasi yang terlambat (delayed site possession).
j.
Keterlambatan informasi desain (delayed
design information).
8. Beberapa sebab utama terjadinya claim.
a.
Informasi desain yang tidak tepat
(delayed design information).
b. Informasi desain yang tidak sempurna
(inadequate design information).
c.
Investigasi lokasi yang tidak sempurna
(inadequate site investigations).
d. Reaksi klien yang lambat (slow
client response).
e. Komunikasi yang buruk (poor
communications).
f.
Sasaran
waktu yang tidak realistis (unrealistic time targets).
g. Administrasi kontrak yang tidak
sempurna (inadequate contract administration).
h.
Kejadian ekstern yang tidak terkendali
(uncontrollable external events).
i.
Informasi
tender yang tidak lengkap (incomplete tender information).
j.
Alokasi resiko yang tidak jelas
(unclear risk allocation).
k. Keterlambatan – ingkar membayar
(lateness-non payment).
Kebanyakan sengketa /
ketidaksepakatan di bidang jasa konstruksi pada umumnya dapat diselesaikan
melalui negosiasi / mediasi diluar pengadilan karena konstruksi merupakan
kegiatan yang berkelanjutan, dari awal sampai akhir. Melemparkan masalah ke
pengadilan berarti menghentikan pembangunan untuk jangka waktu yang tidak bisa
diperhitungkan. Tapi negosiasi atau mediasipun dapat tidak berfungsi / gagal,
misalnya disebabkan gagalnya komunikasi, kemudian tidak profesional /
kompetennya para penegosiasi, kurangnya informasi, emosi dari para pihak, juga
para pihak didorong oleh iktikad tidak
baik atau tidak adanya iktikad baik, menggunakan penengah / pengacara tidak
tepat / kurang menguasai permasalahan bidang jasa konstruksi.
9. Syarat-syarat hukum dan fakta yang
merupakan keharusan dalam menyusun kontrak di bidang jasa
konstruksi.
Tender
sesuai dengan ketentuan yang berlaku mendahului usaha memperoleh proyek jasa
konstruksi yang selanjutnya dinegosiasikan persyaratan dan inti hak dan
kewajiban para pihak yang nantinya merupakan prinsip dan isi kontrak. Pada
umumnya bentuk-bentuk kontrak sudah baku. Di dalam kontrak dicantumkan
pembagian tanggung jawab para pihak mengenai hak dan kewajiban, tenaga kerja,
pembiayaan dan lain-lain yang semuanya ditempatkan secara sistematis, merata
dan seimbang (Pasal 1320 UU Perdata).
Bentuk
kontrak mengenai suatu bangunan / gedung sudah distandarisasikan sejak beberapa
tahun belakangan sehingga dengan demikian kepada para pihak yang melakukan
penyusunan kontrak diberikan kemudahan-kemudahan dan tinggal memasukkan
syarat-syarat tambahan yang perlu yang disepakati bersama.
10. Esensi-esensi sebuah kontrak jasa
konstruksi.
Esensi-esensi
yang perlu pada suatu kontrak jasa konstruksi agar sah bilamana isinya
mempunyai kekuatan hukum dan kalau dihadapkan di Pengadilan Negeri / Arbitrase
memiliki prinsip-prinsip pokok sebagai berikut :
a. Ada kepastian.
b. Pertimbangan-pertimbangan.
c. Tertulis.
d. Kapasitas para pihak.
Di pengadilan, Hakim akan
menafsirkan kontrak secara harfiah (apa yang tertulis). Dan bukan yang terjadi
sebelumnya atau yang diharapkan oleh para pihak. Oleh karena itu dalam menyusun
konrak dikehendaki syarat-syarat sebagai berikut :
a.
Kata-kata yang jelas dan apa yang
hendak dituju.
b. Apa yang dipersoalkan.
c. Tidak dibenarkan berdasarkan pada
apa yang telah didiskusikan atau didasarkan dalam ingatan kita.
d.
Ada suatu kerangka yang jelas dan
sistematis.
e.
Menggunakan kebiasaan-kebiasaan dalam
jasa konstruksi.
f. Melakukan
cek dan ricek.
g. Bilamana ada perubahan atau
tambahan-tambahan pada rancangan kontrak yang bentuknya sudah baku maka harus secara eksplisit dan tepat.
h. Kata-katanya sederhana.
i. Kata-kata itu harus benar-benar
dipertimbangkan masak-masak dan tidak secara tergesa-gesa.
j. Menghendaki
pendamping dari seorang ahli hukum di bidang jasa konstruksi.
k.
Doktrin dalam kebiasaan kontrak jasa
konstruksi.
Maka secara
umum di bawah ini sekedar pedoman penyusunan kontrak jasa konstruksi
Internasional (Nasional) :
1). Background to the Contract Forms : General
Law of Contract
2). Tender and Agreement
3). Conditions of Contract.
4). Liability and Insurance : Conditions.
5). Conditions.
6). Sub-Contracting : Conditions.
7). Conditions.
8). Mediation / Conciliation / Arbitration and
Litigation : Conditions.
9). Conditions and Price Fluctuation Clause.
10). The Bond.
11). National Conditions.
12). Delay, Disruption and
Acceleration Claims.
13). Relations of the Engineer
with the Employer and the Contractor : National
Agreement.
14). Conduct of the Arbitrator
and Engineer : Disputes.
15). Liability for Nuisance.
16). Remedies for Breach of
Contract.
17). Tendermanship and
Claimsmanship.
11. Tata cara menyelesaikan sengketa.
Ada beberapa bentuk mekanisme
penyelesaian sengketa yang dapat diterapkan secara Nasional maupun
Internasional sebagai berikut :
a. Tata cara penyelesaian di lokasi
atau diluar lokasi (“site based”
atau “non-site based”)
Titik tolak yang perlu diperhatikan ialah
bilamana proses penyelesaian sengketa di bidang jasa konstruksi telah pada
tingkat dimana sengketa / ketidaksefahaman keluar dari lingkungan kekuasaan
lokasi konstruksi (keluar dari pengawasan / kekuasaan / pengaruh mereka yang
terlibat secara langsung atas keberhasilan proyek) dan jatuh ke tangan pihak
ketiga.Pihak ketiga ini bisa para pengacara (tentunya dengan kepentingannya
masing-masing) atau para konsultan. Dan bilamana batas “site based” ini
dilewati, maka para pihak di “site based” tadi akan kehilangan kesempatan untuk
menyelesaikannya karena kesempatan ini telah beralih ke tangan mereka yang
dapat saja kurang faham atau kurang pengetahuannya tentang segala sesuatunya
berkaitan dengan proyek konstruksi tadi. Pihak-pihak luar pada umumnya kurang
sensitif akan hubungan-hubungan yang ada diantara pihak terkait pada proyek.
Kenyataan ini kadangkala mempersulit kesempatan penyelesaian sengketa secara
damai, efisien dan menutup kesempatan melaksanakan proyeknya secara
berkesinambungan.
b. Mediasi / Konsiliasi / Arbitrase.
Walaupun demikian,
penyelesaian sengketa “non-site based” telah membuktikan bahwa sengketa /
ketidaksefahaman yang timbul di bidang jasa konstruksi dapat diselesaikan
secara bertahap melalui mediasi / negosiasi dan arbitrase. Negosiasi dapat
gagal disebabkan oleh, misalnya :
- Kegagalan berkomunikasi.
- Kelemahan - ketidakmampuan bernegosiasi.
- Kurangnya
informasi.
- Emosi.
- Iktikad tidak
baik.
- Kebutuhan akan
seseorang yang berwibawa
- Ketidaksepakatan
tentang tafsiran hukum.
Akan tetapi
ada suatu mekanisme yang dapat memuaskan para pihak tanpa mengganggu
pelaksanaan proyek. Mekanisme ini telah dipraktekkan oleh Badan Arbitrase
Nasional Indonesia – BANI, yakni melalui suatu “Combined Processes of Disputes
Resolution Technique / Mechanism”. Digabungkan beberapa mekanisme Alternative
Dispute Resolution (ADR) dengan tujuan menghemat tenaga, waktu, biaya dan dapat
menjamin berkelanjutan pelaksanaan proyek, yakni dengan menggunakan mekanisme
pendahuluan :
- Mediasi /
konsiliasi.
- Determinasi dari
ahli / evaluasi ahli.
Dan bilamana
kedua mekanisme tersebut ternyata tidak berhasil, dapat dilanjutkan melalui
arbitrase dengan dibatasi oleh suatu waktu yang ditetapkan oleh UU / Ketentuan
yang putusan akhirnya final dan mengikat. Ada suatu cara dalam lingkup
determinasi ahli / evaluasi ahli yang perlu dikembangkan. Pada determinasi
ahli, pendapatnya harus dipatuhi oleh para pihak, lain dengan evaluasi ahli
yang masih dapat dipersoalkan. Kelompok
determinasi dapat menjelma dalam 4 bentuk, yakni :
1). Dispute Resolution Advisor (DRA).
2). Dispute Review Board (DRB).
1). Dispute Resolution Advisor (DRA).
2). Dispute Review Board (DRB).
3). Partnering
4). Minitrial
4). Minitrial
Keempat bentuk ini banyak
dimanfaatkan di berbagai negara diluar Indonesia.
1). Dispute Resolution Advisor
(DRA).
DRA ini sifatnya
fleksibel dengan mencegah terjadinya sengketa pada masa “pre-contract” dan “past-contract”.
Pada tahap “pre-contract” DRA berkonsentrasi pada usaha mengidentifikasi (jika
dilibatkan) masalah, mencari benih ketidaksefahaman yang timbul, misalnya
dimana “problem area” atau apakah alokasi resiko sudah sesuai dan
tertanggulangi oleh para pihak. DRA dibentuk oleh para pihak dengan bantuan
seorang ahli hukum yang memiliki kemampuan mediasi / konsiliasi dan biasanya
diminta dari suatu lembaga arbitrase (seperti BANI di Indonesia, Chartered Institute of
Arbitration di Inggris, atau dari organisasi seperti Federation Internationale
des Ingenieures Conseils (FIDIC).
2). Dispute Review Boards (DRB).
Kerja DRB melalui
suatu majelis yang terdiri dari 3 orang ahli (2 teknik dan 1 ahli hukum) dengan
tugas bukan saja menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang konstruksi selama
proyek tersebut berjalan. Tata cara (prosedur) kerjanya menerapkan prosedur
ADR. Seperti halnya DRA, maka DRB mengunjungi lokasi proyek secara teratur dan
menyelesaikan sengketa yang timbul di lokasi secara langsung dan segera. Pada
umumnya penyelesaian sengketa dapat pula dilakukan oleh seorang teknisi yang
ditunjuk oleh para pihak. Wewenangnya ditetapkan di dalam kontrak mendahului
mekanisme yang ditetapkan dan disepakati di dalm klausula arbitrase. Baru kalau
“panitia” tersebut gagal, maka sengketa dibawa ke majelis Arbitrase.
3). Partnering.
Beberapa kelompok
usaha di bidang jasa konstruksi bergabung untuk mengerjakan proyek secara
bekerjasama dan menyelesaikan sengketa yang timbul melalui konsensus.
Pendekatan dan penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui mekanisme yang
disebut “them and us” dan berakhir
kepada pendekatan “we approach”,
artinya diselesaikan secara musyawarah secara “intern” dan “on site”.
4). Minitrial.
Para
anggota direksi berkumpul dan melalui negosiasi dengan mengundang seorang pihak
ketiga sebagai mediator. Apabila segala tingkat usaha tersebut di atas ternyata
tidak menghasilkan pemecahan, maka pada akhirnya para pihak menyerahkan
sengketanya kepada suatu lembaga arbitrase, misalnya di Indonesia kepada BANI
yang harus memberikan keputusan akhirnya secara final dan mengikat dalam jangka
waktu paling lama 6 bulan (teliti : Pasal 48 UU 30/99).
No comments:
Post a Comment