Friday, January 25, 2013

Kejahatan Korporasi Dalam Perspektif Hukum Pidana Dan Kriminologi

Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum 
Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)

A.      Pendahuluan

P
emikiran tentang kejahatan korporasi[2], banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan ahli hukum, khususnya hukum pidana. Di dalam hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin universitas delinguere non potest yaitu korporasi tidak mungkin melakukan tindak pidana, ini dipengaruhi oleh pemikiran yang menyatakan bahwa keberadaan korporasi dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum, sehingga tidak mempunyai nilai moral yang diisyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik (tindak pidana) mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus).[3]

Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengaan timbulnya kerugian, yang kemudian mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban atau criminal liability. Yang pada akhirnya mengundang perdebatan adalah bagaimana korporasi mempertanggungjawabkan atau corporate liability mengingat bahwa dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subjek hukum pidana adalah orang perorangan dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.[4]

Terlepas dari apa yang diuraikan di atas, kejahatan sesungguhnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, kejahatan bukanlah sebagai suatu variabel yang berdiri sendiri atau dengan begitu saja jatuh dari langit. Semakin maju dan berkembang peradaban umat manusia, akan semakin mewarnai bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul ke permukaan. Begitulah setidaknya, ketika umat manusia belum menemukan alat canggih seperti komputer, maka yang namanya kejahatan komputer tidak pernah dikenal. Baru setelah komputer merajelela di berbagai belahan dunia, maka orangpun lalu disibukkan dan direpotkan pula dengan efek samping yang ditimbulkannya yaitu berupa kejahatan komputer.

Demikian pula halnya dengan corak kejahatan di bidang perbankan, kejahatan terhadap pencemaran lingkungan hidup, money laundering,[5] kejahatan di bidang ekonomi; korupsi dan lain-lain, semua kejahatan ini lahir dan tumbuh seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh manusia. Kejahatan-kejahatan ini adalah termasuk dalam kategori kejahatan kelas “elite”. Dikatakan “elite”, karena tidak semua orang dapat melakukannya. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana mungkin preman, orang yang belakangan ini diuber-uber oleh aparat keamanan, dapat melakukan kejahatan komputer, kejahatan alam maya (internet) atau money laundering misalnya, yang nota bene membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tertentu.

Kejahatan kelas “elite” ini tidak membutuhkan tenaga fisik yang banyak. Kemampuan pikir merupakan faktor yang penting untuk mencapai hasil yang berlipat ganda.

Namun sayang, kejahatan jenis ini seringkali tidak terpantau dan bahkan dalam banyak hal aparat penegak hukum justru kalah terampil dari pelakunya, baik itu yang berkenaan dengan objek yang menjadi sasaran kejahatan maupun masalah pembuktian dalam proses peradilan.

Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, maka persoalan yang akan dikedepankan dalam konteks tulisan ini adalah, bahwa terdapatnya perubahan (pergeseran) wajah pelaku kejahatan di Indonesia, yang disebabkan oleh perkembangan pembangunan nasional kita. Pergeseran dimaksud adalah tentang kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Pelaku kejahatan di sini bukanlah manusia, tetapi adalah suatu kesatuan yang disamakan dengan manusia.[6]

B. Korporasi


Istilah korporasi merupakan sebutan yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya dalam bidang hukum perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtsperson atau yang dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.[7]

Istilah badan hukum itu sendiri, sebenarnya terjadi tiada lain sebagai akibat dari perkembangan modernisasi. Ketika dalam alam yang masih primitif, suatu keadaan masyarakat yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan usaha hanya dijalankan secara perorangan. Namun dalam perkembangannya kemudian, tumbuh kebutuhan untuk menjalankan kegiatan usaha itu secara bekerjasama dengan beberapa orang (atau dengan orang lain), yang mungkin atas dasar pertimbangan agar dapat terhimpun modal yang lebih banyak, atau mungkin pula mempunyai maksud, dengan tergabungnya keterampilan akan lebih berhasil dari pada jika dilaksanakan atau dijalankan hanya dengan seorang diri. Mungkin pula atas dasar pertimbangan dengan cara demikian mereka dapat membagi risiko terhadap kerugian yang mungkin timbul dalam proses kegiatan kerjasama tersebut.

Menurut Chidir Ali seperti dikutip oleh Erman Rajagukguk[8] mengatakan, bahwa manusia yang mempunyai kepentingan bersama, memperjuangkan suatu tujuan atau kepentingan tertentu, berkumpul dan mempersatukan diri. Mereka menciptakan suatu organisasi, memiliki pengurus yang akan mewakili mereka. Mereka memasukan dan mengumpulkan harta kekayaan, mereka menetapkan peraturan-peraturan tingkah laku untuk mereka dalam hubungannya satu dengan yang lain. Adalah tidak mungkin dalam tiap-tiap hal mereka bersama-sama melakukan tindakan-tindakan itu dalam rangka mencapai tujuan bersama tersebut. Pergaulan antar manusia dalam kehidupannya menganggap perlu, bahwa dalam suatu kerja sama itu semua anggota bersama-sama merupakan satu kesatuan yang baru. Suatu kesatuan yang mempunyai hak-hak sendiri terpisah dari hak-hak para anggotanya secara pribadi. Kesatuan yang mempunyai kewajiban sendiri terpisah dari kewajiban-kewajiban para anggota secara individual. Subjek hukum yang baru dan berdiri sendiri inilah yang dimaksudkan dengan badan hukum.

Dalam perkembangannya lebih lanjut, tidak jarang kerja sama tersebut terjadi bukan hanya sekedar dengan beberapa orang saja, melainkan dapat pula terjadi diantara beberapa ratus atau bahkan ribuan orang, sebagaimana wujudnya sekarang yang dapat dilihat perkembangannya di negara kita yaitu, dengan semakin menjamurnya Perseroan-perseroan Terbatas (PT) yang telah menawarkan saham-sahamnya kepada khalayak masyarakat lewat kebijakan go public-nya. Dan dalam perkembangannya yang terkini, bahkan telah pula dilakukan dalam bentuk saling menggabungkan diri untuk selanjutnya melakukan kerjasama dalah satu kesatuan yang baru, yaitu apa yang sering dinamakan dengan merger. Hal ini terjadi yaitu dengan tergabungnya dua atau lebih Perseroan Terbatas (PT) misalnya, atau badan hukum lain.

Apa yang disebut dengan badan hukum itu sebenarnya tiada lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan dimana terhadap badan ini diberi status sebagai subjek hukum.[9] Sehingga subjek hukum secara singkat dapat diartikan, yaitu mereka yang mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum yaitu manusia (natuurlijk person) dan sesuatu yang menurut kebutuhan masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban, yang terakhir ini disebut badan hukum.

Manusia sebagai subjek hukum (dalam arti sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum) sudah mulai ada sejak manusia itu masih dalam kandungan sampai ia meninggal. Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) menyebutkan:
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Namun jika anak itu mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah ada”.

Dalam hubungan ini, misalnya, seorang ibu yang hamil, kemudian suaminya meninggal dunia, hal ini dapat menimbulkan pemecahan warisan. Anak itu walaupun masih berada kandungan ia dianggap mendapat warisan. Oleh karenanya dapat dikatakan kemampuan seseorang untuk menjadi subjek hukum, mampu menjadi pendukung hak dan kewajiban adalah mulai dari seseorang itu masih berada dalam kandungan dan berakhir dengan kematiannya.

Diciptakannya pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini sekedar suatu badan, namun dianggap badan ini dapat menjalankan segala tindakan hukum dengan segala risiko yang timbul, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya, dalam hal ini mempunyai latar belakang pemikiran tersendiri. Adapun latar belakang pemikiran penetapan Badan Hukum sebagai subyek hukum, mengutip pendapat Rudhi Prasetya,[10] menyebutkan:

“bahwa terjadinya penetapan tersebut tiada lain sekedar untuk mempermudah menunjuk siapa subyek hukumnya yang harus bertanggung jawab diantara sedemikian banyak orang-orang yang terhimpun dalam badan tersebut, andaikata terjadi akibat hukum, yaitu yang secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk “badan” itu adalah sebagai subjek hukum yang harus bertangung jawab.[11]
Badan hukum sebagai salah satu subjek hukum memiliki berbagai teori. Dari berbagai teori tersebut, menurut Erman Rajagukguk[12] dapat digolongkan dalam dua bagian besar, yaitu:

Pertama: mereka yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata, dianggap mempunyai “panca indra” sendiri seperti manusia. Akibatnya, badan hukum itu disamakan dengan orang atau manusia.

Kedua adalah, mereka yang menganggap badan hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata. Di belakang badan hukum itu sebenarnya berdiri manusia. Akibatnya, kalau badan hukum itu membuat kesalahan, maka kesalahan itu adalah merupakan kesalahan manusia yang berdiri di belakang badan hukum itu secara bersama-sama tersebut.

Perbedaan teori mengenai badan hukum ini mempunyai implikasi yang besar terhadap pemisahan pertanggung jawaban antara badan hukum dan orang-orang yang berada dibelakang badan hukum tersebut.

Pemahaman badan hukum demikian itu adalah merupakan pengertian umum. Badan hukum itu dapat mengambil berbagai bentuk. Ada yang dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT), dalam bentuk perkumpulan tertentu; ada pula yang berbentuk koperasi, dan BUMN dan lain sebagainya.

Lebih lanjut Erman Rajagukguk[13] menjelaskan tentang kapan suatu perkumpulan dapat disebut sebagai suatu badan hukum. Suatu perkumpulan dapat disebut sebagai suatu badan hukum adalah apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat dimaksud dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu:

1.      Syarat-syarat menurut doktrin, yaitu:
Menurut Meyers, sesuatu baru dapat dikatakan badan hukum jika terpenuhi 4 (empat) unsur, yaitu:
a.       Adanya kekayaan perkumpulan yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya.
b.      Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum, dan kepentingan yang dilindungi itu harus bukan kepentingan satu orang atau beberapa orang saja.
c.       Kepentingan tersebut harus untuk jangka waktu yang panjang.
d.      Harus ada kekayaan yang terpisah tidak saja untuk menjaga kepentingan-kepentingan anggotanya, melainkan juga kepentingan-kepentingan tertentu yang terpisah dari kepentingan-kepentingan anggota-anggotanya.
Paham lain menambahkan, disamping 4 (empat) unsur tersebut di atas, yaitu adanya organisasi yang teratur, badan hukum sebagai subjek hukum merupakan kesatuan sendiri dengan organ-organnya melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Tentang tata cara bagaimana organ badan hukum yang terdiri dari manusia-manusia itu bertindak, dipilih, diganti dan sebagainya, ditentukan oleh Anggaran Dasar dan peraturan-peraturan lainnya.

2.      Syarat-syarat menurut peraturan perundang-undangan, yaitu:
a.       Dinyatakan dengan tegas bahwa suatu organisasi mempunyai status badan hukum, misalnya Perseroan Terbatas (PT) adalah suatu badan hukum. Undang-undang juga mengatakan bahwa Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah merupakan dan berstatus sebagai suatu badan hukum, dan lain sebagainya.
b.      Tidak dinyatakan secara tegas. Namun dapat ditarik kesimpulan dari peraturan yang bersangkutan, bahwa badan itu adalah badan hukum, misalnya suatu perkumpulan untuk dapat diakui sebagai badan hukum harus mendapat pengakuan dari Departemen Kehakiman dan HAM atau oleh pejabat lain yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman HAM.
3.      Syarat-syarat menurut kebiasan dan Yurisprudensi (keputusan-keputusan pengadilan).

Pertumbuhan korporasi di Indonesia (terutama dalam pengertian peraturan perundang-undangan tersebut di atas) semakin berkembang dengan pesat, baik dalam jumlahnya maupun dalam wujud macam bidang usaha yang dikelolanya. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan dan pertumbuhan industri yang bergerak diberbagai bidang seperti pertanian, kehutanan, makanan, pharmasi, perbankan, elektronika, otomotif, perumahan, konstruksi, transportasi, hiburan, dan masih banyak lagi. Setiap hari kita dibanjiri dengan produk-produk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga untuk “investasi”. Hampir seluruh kebutuhan kita seperti diuraikan di atas, dapat dilayani oleh korporasi, sehingga dapat dikatakan bahwa sejak dalam kandungan hingga ke liang kubur kita di bawah kekuasaan korporasi. Untuk penyediaan keperluan semua ini, korporasi menyerap banyak tenaga kerja, sehingga dengan keberadaan korporasi yang sedemikian ini tentunya ikut mengurangi angka pengangguran, meski perlu diingat bahwa dengan munculnya industri maka ribuan orang juga akan kehilangan pekerjaannya. Belum lagi sumbangan yang dihasilkan baik berupa pajak maupun devisa, sehingga korporasi nampak sangat positif. Namun di sisi lain kita juga menyaksikan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh korporasi seperti pencemaran, pengrusakan sumber daya alam yang terbatas, persaingan curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap buruh, produk-produk yang membahayakan kesehatan pemakainya serta penipuan terhadap konsumen.[14]

Kendatipun korporasi disamping bercorak positif, tapi di lain pihak juga memberikan efek negatif yang sangat membahayakan bagi kehidupan masyarakat, namun pertumbuhan dan peranan korporasi tetap eksis dan semakin membesar sehingga menjadikan masyarakat yang konsumtif semakin tergantung pada keberadaan korporasi tersebut. korporasi tumbuh bagai raksasa yang mengangkangi banyak segi kehidupan masyarakat, sehingga mempunyai konsekuensi terhadap keberadaan korporasi secara ekonomi, politik dan kekuasaan semakin menguat.[15]

C.       Kejahatan

Memberi definisi yang seragam memang sulit didapat dalam Ilmu Pengetahuan Sosial, oleh karena setiap sarjana mempunyai pendapat masing-masing. Demikian pula halnya dengan masalah pendefinisian tentang apa itu kejahatan.

Penjelasan mengenai perilaku kriminal (kejahatan) menurut I. S. Susanto[16] tidaklah berdiri sendiri atau berbeda dari penjelasan mengenai perilaku kriminal. Secara umum usaha untuk memformulasikan teori-teori tentang perilaku kriminal telah dilakukan melalui ilmu-ilmu lain, seperti biologi, kedokteran, psikiatri, psikologi, psikologi sosial dan sosiologi. Namun suatu teori hanya dapat dipandang dan dipahami melalui kerangka acuan intelektual dan kultural yang melatarbelakanginya.

Meskipun demikian perlu dicatat, bahwa dari hasil usaha yang selama ini dilakukan harus diakui bahwa kita masih saja belum dapat memahami sepenuhnya perilaku manusia. Tidak ada konsep-konsep teoretis yang dapat menjelaskan kompleksitas dan secara penuh dari perilaku manusia.
Kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang sudah terlampau tua usianya dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan pertumbuhan penduduk, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh J. E. Sahetapy[17]

“bahwa kejahatan erat hubungannya dan menjadi bagian dari hasil budaya itu sendiri, ini berarti semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara pelaksanaannya”.

Permasalahan tentang apa yang dinamakan kejahatan (dalam pengertian konvensional) adalah setua usia peradaban manusia itu sendiri, yaitu bergantung pada persepsi dan keyakinan, dapatlah dikatakan berbeda dengan paham dan istilah theologia Adam dan Hawa sudah melakukan apa yang dinamakan kejahatan, karena mereka telah melanggar perintah Tuhan, yaitu dengan memakan buah yang sebelumnya telah dilarang untuk didekati dan apalagi sampai memakannya. Terlepas dari persepsi dan keyakinan, bahwa perbuatan mereka adalah merupakan dosa, jadi (mungkin) bukan kejahatan jika mengacu pada konteks peraturan perudang-undangan. Namun kejahatan, seperti kejahatan penganiayaan dan pembunuhan yang dikenal sekarang dalam rumusan peraturan perundang-undangan pada mula pertama, seperti diuraikan dalam Al Qur’an, telah dilakukan oleh Qabil dengan melakukan kejahatan pembunuhannya terhadap adiknya, Habil.

Demikianlah apa yang dapat dinamakan kejahatan dalam bentuk primordial, kini masih selalu menampakkan diri dalam keadaan segar bugar secara mondial. Kejahatan, apakah itu dalam bentuk pembunuhan, makar, pencurian, penipuan, pemerasan, penggelapan, perkosaan, aborsi ataupun dengan penamaan baru seperti korupsi, pembajakan pesawat udara, dan subversi, terorisme, setiap orang dapat menyaksikan akibatnya secara riil dan kongkrit; setiap orang dapat merasakan dan mengalaminya dan bahkan dapat pula melakukannya sendiri.

Persepsi tentang apa itu yang dinamakan kejahatan, menurut J. E. Sahetapy,[18] tidak dapat tidak pasti akan merupakan bahan debat yang kontroversial. Seperti juga apa yang dinamakan cantik atau kecantikan, bisa menimbulkan, bukan saja suatu perdebatan, bahkan permasalahan itu dalam praktek dapat juga menimbulkan keretakan rumah tangga. Bukankah seperti dikatakan: “Beauty is the eye of the beholder”, kecantikan seseorang ada dimata anda sendiri tidak atau belum tentu dimata orang lain.

Apa yang diuraikan di atas adalah merupakan gejala sosial yang disebut kejahatan dengan pelaku kongkrit dengan akibat-akibatnya pun bersifat riil, jelas dan tertentu. Akan tetapi konstruksi yuridis akan menjadi lain dan malah sekarang belum memperoleh perumusan yang pas (?) untuk menjaring pelaku kejahatan yang justru abstrak dan kompleks sifatnya, tetapi mempunyai dampak dan akibat yang riil, dan bahkan jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan konvensional, inilah seperti yang sudah disinggung pada awal tulisan yang disebut dengan kejahatan korporasi.

Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, maka pemahaman tentang (causa) kejahatan dalam konteks kekinian sudah bukan pada tempatnya lagi untuk menggunakan logika-logika atau teori-teori Kriminologi klasik, oleh karena itu aliran pemikiran kriminologi ini menurut I. S. Susanto[19] adalah mendasarkan pada pandangan bahwa inteligensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok. Intelegensi membuat manusia mampu mengarahkan dirinya sendiri, dalam arti dia adalah penguasa dari nasibnya, pemimpin dari jiwanya, makhluk yang mampu memahami dirinya dan bertindak untuk mencapai kepentingan dan kehendakanya. Ini merupakan kerangka pemikiran dari semua pemikiran klasik seperti dalam filsafat, psikologi, politik, hukum dan ekonomi. dalam konsep yang sedemikian maka masyarakat dibentuk sebagaimana adanya sesuai dengan pola yang dikehendaki. Kunci kemajuan menurut pemikiran ini adalah kemampuan, kecerdasan atau akal yang dapat ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan, sehingga manusia mampu mengontrol nasibnya sendiri baik sebagai seorang individu maupun sebagai bagian masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan di dalam kerangka pemikiran ini, lazimnya kejahatan dan penjahat dilihat semata-mata dari sudut batasan undang-undang. Kejahatan didefinisikan sebagai setiap pelanggaran terhadap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang pidana; dan penjahat adalah setiap orang yang melakukan kejahatan. Kejahatan dipandang sebagai hasil pilihan bebas dari individu dalam menilai untung ruginya melakukan kejahatan.

Sekarang, zaman sudah semakin berkembang dan kehidupan masyarakat sudah sedemikian kompleksnya, oleh karena itu pemahaman tentang suatu kejahatanpun juga harus bergeser dari pandangan lama (klasik) tersebut. Tidak dapat dibayangkan bagaimana mungkin konsep dengan kaca mata klasik digunakan untuk memotret terhadap gejala-gejala yang timbul dan terjadi di dalam kehidupan masyarakat yang sudah semakin canggih dan modern ini. Apalagi untuk memotret pelaku kejahatan yang sekarang berkembang sehingga meliputi bukan hanya dalam wujud manusia dalam arti bukan lagi kejahatan konvensional, sekarang sudah bergeser, disamping dilakukan oleh subjek hukum manusia, namun juga dapat dilakukan oleh pelaku yang disamakan dengan manusia yaitu korporasi. Dengan demikian tentu saja kaca mata lama sudah tidak mengena pada sasaran lagi jika tetap bersikukuh untuk digunakan pada masa sekarang. Maka mau tidak mau fokus kajian kriminologi harus mengembangkan diri yaitu lewat telaah kritis terhadap berbagai bentuk fenomena dalam kehidupan masyarakat yang serba modern.

Saat ini, kejahatan yang sangat meresahkan dan merugikan serta membahayakan kehidupan masyarakat adalah kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Memahami korporasi dengan segala proses kerjanya seluruh komponen-komponen yang ada di dalamnya, adalah jauh lebih sulit dari pada memahami kejahatan dengan manusia sebagai pelakunya, baik secara tunggal maupun yang terdiri dari beberapa orang pelaku, baik pemahaman dalam artian teoretis dan lebih-lebih lagi pemahaman untuk keperluan praktis.

D.       Kejahatan Korporasi

Adalah merupakan realitas bahwa korporasi semakin memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam bidang perekonomian. Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, sudah bergeser. Keberadaan korporasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti dikatakan oleh I. S. Susanto,[20] telah memberikan sumbangan yang besar baik berupa pajak maupun devisa, sehingga korporasi nampak sangat positif. Namun di sisi lain kita juga menyaksikan perilaku negatif yang ditunjukkan oleh korporasi seperti pencemaran, pengurasan sumber daya alam yang terbatas, persaingan curang, manipulasi pajak, eksploitasi terhadap buruh, produk-produk yang membahayakan kesehatan pemakainya serta penipuan terhadap konsumen. Diantara perilaku-perilaku seperti inilah yang kemudian oleh pakar disebut sebagai kejahatan atau tindak pidana korporasi.
Tugas kriminologi dalam konteks yang demikian itu seperti yang diutarakan oleh I. S. Susanto[21] adalah menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi ilmiah terhadap ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial, dan kultur. Oleh karena kriminologi positivis dalam bekerjanya menghadapi kesulitan untuk menggunakan batasan undang-undang, sebab undang-undang seringkali membedakan perbuatan legal dan ilegal atas dasar batas-batas yang sangat tajam (“teknis”) yang tidak ada hubungannya dengan ide sebab-sebab sehingga cendrung memberikan berbagai “batasan alamiah” terhadap kejahatan, yang lebih diarahkan pada ciri-ciri perilaku itu sendiri daripada perilaku yang didefinisikan oleh peraturan perundang-undangan pidana. Misalnya Mannheim membela pandangan bahwa kriminologi harus mempelajari seluruh perbuatan anti sosial, baik yang menurut undang-undang dinyatakan sebagai kejahatan maupun yang tidak dinyatakan. Sementara Sutherland dalam studinya terhadap kejahatan White Collar Criminality (WCC) menganggap kejahatan sebagai perbuatan yang merugikan masyarakat, baik yang diatur dalam undang-undang pidana maupun perdata, administrasi dan perundang-undangan yang lain. Sedangkan Schwendingers memandang kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

Dalam perkembangan lebih lanjut, pandangan terhadap (sebab) kejahatan mengalami pergeseran. Menurut kriminologi kritis maka tingkat kejahatan dan ciri-ciri pelaku terutama ditentukan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan. Maka oleh karena itu, tugas kriminologi kritis adalah menganalisa proses-proses bagaimana cap jahat itu diterapkan terhadap tindakan tertentu dan orang-orang tertentu. Ini mengandung arti, bahwa untuk memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses kriminalisasi, dalam arti baik proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-undang yakni dijadikannya perbuatan tertentu sebagai tindak pidana maupun dalam bekerjanya hukum yakni proses-proses yang menjadikan orang atau orang-orang tertentu sebagai penjahat. Adapun yang dimaksud dengan proses bekerjanya hukum adalah bagaimana aparat penengak hukum menyikapi suatu perilaku tertentu dalam konteks kehidupan masyarakat.

Namun yang jelas bahwa saat ini belum begitu banyak masyarakat yang mengetahui termasuk aparat penengak hukum, oleh karena terpaku pada pandangan yang sempit dalam memandang kejahatan, yaitu hanya bersifat yuridis formal bahwa kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang serius, bahkan lebih serius ketimbang kejahatan perampokan dan penipuan. Hal ini disebabkan oleh karena dalam kejahatan perampokan dan penipuan itu, korban yang terkena hanya terbatas pada korban yang berhadapan langsung dengan pelaku, atau dengan kata lain bahwa pelaku yang terkena kejahatan tersebut adalah tertentu dan terbatas sifatnya. Dampak kejahatannya tidak mesti mengambil orang-orang (masyarakat) tertentu sebagai korban.

Kemudian, dalam hal kejahatan perampokan dan penipuan yang menimbulkan kerugian, jumlah kerugian yang diderita oleh korban hanya terbatas dalam jumlah tertentu, sejumlah nilai uang tertentu yang masih dapat diperkirakan. Sedangkan dalam hal kejahatan korporasi yang juga menimbulkan kerugian, akan tetapi jumlah kerugian yang diderita oleh korban tidak terbatas dan tidak dapat dihitung secara pasti. Bahkan dalam kejahatan korporasi banyak hal-hal yang merugikan tanpa dapat disangka dan diduga, seperti polusi udara, pencemaran lingkungan hidup, hasil produk yang membahayakan kesehatan maupun keyakinan agama dan lain-lain.

Lalu apakah korporasi yang demikian itu bisa dipidana ?[22] Atau suatu keraguan yang masih saja muncul yang mempertanyakan: benarkah atau mungkinkah suatu korporasi dapat melakukan kejahatan ? Keraguan dan pertanyaan seperti ini adalah sebagai suatu hal yang wajar muncul ke permukaan, karena alam pikiran yang masih diselimuti oleh sosok yang kongkrit yang selama ini tergambar dalam benak seseorang, dan sekaligus konstruksi yuridis selama ini berkembang hanya merumuskan manusialah yang dapat disebut sebagai subjek hukum dan sekaligus sebagai pelaku kejahatan. Pertanyaan di atas dijawab dengan cara yang sangat sederhana oleh J. E. Sahetapy[23] dengan merumuskan pertanyaan secara analogi, dapatkah suatu korporasi melakukan suatu perbuatan atau suatu tindakan hukum, terlepas dari apakah itu bertentangan atau tidak dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Akan menimbulkan suatu perasaan yang aneh dan secara logika adalah suatu kontradiksi bilamana suatu korporasi dapat melakukan suatu perbuatan atau tindakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tetapi pada pihak lain tidak mungkin suatu korporasi melakukan suatu tindak pidana.

Apa yang diuraikan di atas agaknya sudah cukup jelas, oleh karena memang keberadaan (eksistensi) korporasi sebagai subjek hukum (pidana) itu ditentukan dan didasarkan atas kekuatan peraturan perundang-undangan, suatu karya yang diciptakan oleh hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, sehingga sungguh tidak masuk akal jika korporasi hanya dapat melakukan tindakan yang melulu sesuai dengan aturan undang-undang (hukum) yang berlaku. Manusia sendiri sebagai subjek hukum alamiah (natuurlijke persoon) dalam beberapa hal juga melakukan pelanggaran hukum apalagi badan hukum (korporasi) yang seperti diketahui berorientasi pada profit (laba/keuntungan), maka adalah mustahil dalam aktifitas kegiatannya yang mengutamakan keuntungan itu tidak pernah melakukan pelanggaran hukum.

Namun sebelum beranjak lebih jauh, jika kita sudah sepakat bahwa korporasi benar-benar dapat melakukan tindak pidana atau kejahatan, maka persoalan yang menarik untuk dikedepankan adalah: apakah yang dimaksud dengan kejahatan korporasi itu sesungguhnya ? Atau apakah yang menjadi ruang lingkup kejahatan yang dapat dilakukan oleh suatu korporasi?

Mengutip pendapat Mardjono Reksodiputro[24] yang mengatakan, bhwa tindak pidana korporasi adalah merupakan sebagian dari “White Collar Criminality” (WCC). Istilah WCC dilontarkan di Amerika Serikat dalam tahun 1939 dengan batasan: “suatu pelanggaran hukum pidana oleh seseorang dari kelas sosial ekonomi atas, dalam pelaksanaan kegiatan jabatannya”.

Perdebatan ilmiah yang kemudian timbul, antara lain menyangkut pengertian tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan “Crime Of Corporations” karena dalam rumusan di atas yang dimaksud dengan: “…oleh seseorang … dalam pelaksanaan kegiatan dalam jabatannya” adalah pengurus perusahaan. Meskipun WCC ditujukan kepada pelaku manusia (Natuurlijk person), namun pada akhirnya yang dinggap melakukan perbuatan tercela dan karena itu harus dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah perusahaan atau korporasi tempat manusia yang bersangkutan bekerja. Rumusan pengertian WCC di atas kemudian ditambah dengan unsur “penyalahgunaan kepercayaan” (violation of trust). Yang dimaksud dengan kepercayaan ini adalah yang diberikan oleh masyarakat. Suatu perusahaan dianggap telah menerima kepercayaan masyarakat, untuk melakukan kegiatannya (dalam bidang perekonomian) secara jujur dan bertikad baik. Ini yang dinamakan etika bisnis yang baik. Perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat (misalnya penipuan dan kolusi), telah menyalahgunakan kepercayaan tersebut dan kegiatannya termasuk dalam pengertian WCC.
Atas dasar pemikiran seperti inilah agakanya Marshall B. Clinard[25] mengatakan bahwa, kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan kerah putih, namun ia tampil dalam bentuk yang lebih spesifik. Ia lebih mendekati ke dalam bentuk kejahatan terorganisir dalam konteks hubungan yang lebih kompleks dan mendalam antara seorang pimpinan eksekutif, manager dalam suatu tangan. Ia juga dapat berbentuk korporasi yang merupakan perusahaan keluarga. Namun semuanya masih dalam rangkaian bentuk kejahatan kerah putih.

Kejahatan kerah putih timbul dari pemikiran dan paham ilmuwan sosioeconomic yang berpendapat bahwa secara struktural kejahatan yang dilakukan oleh upper class adalah lebih berbahaya ketimbang kejahatan yang dilakukan oleh lower class. Maka konsekuensinya adalah, bahwa pemidanaan terhadap kejahatan kerah putih harus dilakukan secara ketat dan tepat, atau dalam pemikiran yang relatif, perlu adanya teori kriminologi yang baru yang membahas kejahatan kerah putih.

Menurut Sutherland, maka kejahatan kerah putih adalah “sebuah perilaku kriminal atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok yang memiliki keadaan sosio-ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan aktifitas pekerjaannya”. Selanjutnya dijelaskan, bahwa kejahatan kerah putih (WCC) sebagian besar berkaitan dengan kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada. Kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada ini, secara lebih luas dibagi dalam dua bagian atau tipe. Tipe pertama, ialah penyajian atau pengambaran yang keliru, dan yang kedua adalah duplikasi atau perbuatan bermuka dua. Tipe yang pertama berhubungan erat dengan penipuan, pengecohan atau diperbudaknya seseorang. Sedangkan tipe kedua berkaitan secara langsung dengan pengkhianatan kepercayaan maupun penipuan yang secara langsung dilakukan tetapi tidak kentara; tidak terlihat secara kasat mata, yaitu dengan cara mengelabui korbannya. Prinsip yang utama dari tipe yang kedua ini adalah dengan membuat sebuah penampilan yang baik (bonafide) kepada calon korban, menampilkan diri sebagai seorang yang profesional atau bisnismen (usahawan) namun dibalik itu adalah bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyakanya dari calon korban, bagai musang berbulu domba.

Selanjutnya, bahwa kegiatan yang dianggap sebagai kejahatan atau tindak pidana korporasi, yang menimbulkan keresahan luas dalam masyarakat, adalah tindak pidana yang menimbulkan kerugian besar. Kerugian ini tidak saja yang dapat dihitung dengan uang, tetapi juga yang tidak dapat dihitung, yaitu misalnya hilangnya kepercayaan masyarakat pada sistem perekonomian yang berlaku. Semua yang dilakukan dalam konteks ini harus berhubungan dengan kegiatan ekonomi (perekonomian) dan atau berkaitan dengan dunia bisnis.

Terlepas dari apa yang diuraikan di atas, dilain pihak dari literatur-literatur yang ada, dijelaskan adanya dua tipe dari kejahatan korporasi yaitu pertama Occupational Crime dan kedua Corporate Crime. Occupational Crime adalah bentuk perbuatan seseorang sekelompok orang yang berhubungan dengan pekerjaan. Misalnya saja seorang majikan terhadap buruhnya, seorang dokter dengan pekerjaannya, seorang lawyer terhadap kliennya, dan lain-lain. Occupational Crime juga dapat terjadi apabila seseorang melakukan penggelapan (kejahatan) pajak yang berkaitan dengan pekerjaannya.

Corporate Crime adalah bentuk kejahatan yang berkaitan dengan korporasi. memang agak membingungkan antara keberadaan kejahatan korporasi dengan kejahatan occupational. Namun apabila seseorang melakukan pekerjaannya dalam sebuah korporasi dan melakukan penyimpangan dalam korporasi tersebut, maka itu adalah kejahatan korporasi, namun sebaliknya apabila ia melakukan penyimpangan semata-mata dalam pekerjaannya, maka itu adalah occupationl crime. Dalam konteks ini yang disorot adalah kejahatan yang dilakukan oleh korporasi yakni corporate crime.
Keberadaan korporasi sebagai pelaku bisnis sudah dikenal beberapa abad yang lampau, meski pada mulanya lebih ditekankan pada kerja sama (asosiasi) daripada tujuan untuk pemanfaatan terhadap penyediaan modal (berupa saham) seperti pada umumnya.

Munculnya industri telah mendorong semakin berkembangnya korporasi sebagai badan hukum dan badan ekonomi. Barangkali V. O. C. yang didirikan oleh belanda pada tahun 1602 dapat dipandang sebagai perintis korporasi (bisnis) modern yang dibangun dengan modal (saham) yang tetap.[26]

Namun dalam konteks korporasi sebagai pelaku bisnis dikaitkan dengan kejahatan yang dilakukannya, penulis dalam hal ini mengikuti pendapat Mardjono Reksodiputro[27] yang mengatakan, bahwa tindak pidana korporasi harus dilihat sebagai bagian dari WCC, seperti yang telah diuraikan di atas, adalah dalam rangka untuk membedakannya dari pelanggaran hukum pidana atau ketentuan pidana yang dilakukan oleh perusahaan atau usaha dagang yang berlingkup kegiatan ekonomi atau bisnis dengan skala kecil atau terbatas. Tidak ingin dimasukkan dalam pengertian tindak pidana korporasi dalam rangka tulisan ini, misalnya penipuan atau perbuatan membahayakan yang dilakukan oleh warung atau toko di lingkungan pemukiman kita atau oleh bengkel reparasi kendaraan bermotor yang berskala kecil. Permasalahan hukum pidana yang timbul sehubungan dengan pertanggung jawaban dan kesalahan jusrtu ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan berskala kegiatan besar. Dalam kegiatan pembangunan perekonomian kita selama dua dasawarsa yang lalu, yang telah menumbuhkan berbagai perusahan besar, maka hukum, termasuk hukum pidana dituntut untuk turut berkembang agar dapat mengantisipasi penyalahgunaan kemajuan yang telah dicapai itu yang berakibat merugikan masyarakat dan negara.

Permasalahan hukum pidana menghadapi kejahatan korporasi ini adalah justru disebabkan oleh karena perbuatan pidana korporasi itu selalu dilakukan secara rahasia, sukar untuk diketahui dan dideteksi dan bahkan sering kali para korbanpun tidak mengetahui kerugian yang sebenarnya dialaminya. Apa yang biasanya terlihat hanyalah “puncak gunung es” saja. Karena hanya sedikit kasus-kasus tindak pidana korporasi yang diungkapkan untuk diajukan ke pengadilan, maka menuntut pertanggung jawaban korporasi akan memberikan efek pencegahan yang lebih besar ketimbang meminta pertanggung jawaban dari pengurusnya. Tentunya tidak menutup kemungkinan untuk secara bersama juga menuntut orang yang langsung bertanggung jawab atas perbuatan korporasi tersebut.

Keterlambatan kita dalam menghadapi kejahatan korporasi, seperti diuraikan di atas mengutip pendapat I. S. Susanto[28] mengatakan ini tiada lain akibat “kebodohan kita bersama”. Penelitian-penelitian tentang kejahatan korporasi mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat kurang mengenal terhadap kejahatan korporasi atau bahkan seringkali kurang menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Akar ketidaktahuan masyarakat ini antara lain dikarenakan oleh ketidakanampakan kejahatan korporasi yang disebabkan oleh kompleksnya kecanggihan perencanaan dan pelaksanaannya, oleh karena tidak adanya atau lemahnya penegakkan dan pelaksanaan hukum, dan oleh lenturnya sanksi hukum dan sanksi sosial, sehingga gagal dalam menguatkan dan menegakkan kembali sentimen kolektif terhadap ikatan moral.

Namun di lain segi juga menggambarkan bahwa penelitian mengenai kejahatan korporasi termasuk juga di dalamnya penelitian terhadap tindak pidana korupsi, selalu akan membentur tembok bisu yang menakutkan. Ditambah dengan pers yang hanya “hari-hari omong kosong”, maka sukarlah sekali untuk mengungkapkan kejahatan korupsi dan pelaku kejahatan korporasi. Maka oleh sebab itu, benarlah secara kriminologis, bahwa “anjing-anjing tidak pernah saling menggigit”. Anjing besar hanya akan menggigit si pembongkar kebusukan. Dan anjing-anjing kecil hanyalah melolong belaka berhadapan dengan anjing besar. Jadi ungkapan “anjing-anjing besar tidak saling menggigit” dan “hukum pidana ibarat air mengalir ke bawah” perlu ditelaah kembali dalam mengkaji ulang kejahatan korporasi dan korupsi sebagai kejahatan yang termasuk dalam kelompok WCC.[29]

Korporasi seperti diuraikan di atas, mempunyai ruang lingkup yang bersifat komplek baik ditilik dari sudut proses bekerjanya maupun dampak atau akibat yang ditimbulkan yang merugikan masyarkat, sehingga konsekuensinya, penanganan melalui sarana hukum pidana juga harus mengalami pergeseran konstruksi yuridis. Maka dengan demikian apabila kita masih menggunakan pendekatan yang bersifat tradisional (fundamental approach) maka fungsi hukum pidana akan selalu diarahkan terutama untuk mempertahankan dan melindungi nilai-nilai moral. Dalam hal ini kesalahan (guilt) akan selalu merupakan unsur utama dalam syarat pemidanaan dan biasanya hal ini akan berkaitan erat dengan teori pemidanaan yang bersifat retributif.

Dalam perkembangan kemudian, menurut Muladi[30] yang mengatakan bahwa pendekatan yang bersifat tradisional tersebut mulai bergeser kearah pendekatan utilitarian (utilitarian approach) dan dalam hal yang terakhir ini hukum pidana dan sanksi pidana dianggap merupakan salah satu dari sekian sarana yang oleh masyarakat dapat digunakan untuk melindungi dirinya dari perilaku yang dapat membahyakan masyarakat tersebut. Kegunaan sanksi pidana dinilai dari sudut apakah dengan mengenakan sanksi tersebut dapat diciptakan kondisi yang lebih baik. Apabila pandangan fundamentalis menitikberatkan pada ancaman terhadap perasaan moral masyarakat sebagai alasan pembenar terhadap pengguanaan sanksi pidana, maka pandangan uitilitarian melihat public order sebagai sarana perlindungan.

Dalam proses modernisasi dan pembangunan ekonomi yang semakin meningkat, muncul perkembangan baru dalam kaitannya dengan ruang lingkup dan fungsi hukum pidana dan sanksi pidana. Hukum pidana dalam hal ini dijadikan/digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab negara dalam rangka mengelola kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks. Sanksi pidana antara lain digunakan secara maksimal untuk mendukung norma hukum administrtif dalam berbagai hal. Inilah yang dinamakan dengan administrative penal law yang termasuk dalam ruang lingkup public welfare offenses.

Dalam hal tindak pidana semacam ini, pemidanaan dilakukan atas dasar tingkat kesalahan subyektif, dan dalam konteks ini muncul bentuk pertanggug jawaban dalam hukum pidana yang disebut strict (absolut) liability yang meninggalkan asas mensrea, sebagai refleksi kecenderungan untuk menjaga keseimbangan kepentingan sosial.

E.       Kesimpulan

Kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang besar dan sangat berbahaya sekaligus merugikan kehidupan masyarakat, kendatipun di pihak lain ia juga memberi kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat dan negara. Dikatakan “besar”, oleh karena kompleksnya komponen-komponen yang bekerja dalam satu kesatuan korporasi, sehingga metode pendekatan yang dilakukan terhadap korporasi tidak bisa lagi dengan menggunakan metode pendekatan tradisional yang selama ini berlaku dan dikenal dengan metode pendekatan terhadap kejahatan konvensional, melainkan harus disesuaikan dengan kecanggihan dari korporasi itu sendiri, demikian pula dengan masalah yang berkenaan dengan konstruksi yuridisnya juga harus bergeser dari asas-asas yang tradisional kearah yang lebih dapat menampung bagi kepentingan masyarakat luas, yaitu dalam rangka memberikan perlindungan terhadap masyarakat.

Kejahatan terorganisir, yang dalam literatur mendapat tempat dalam klasifikasi tersendiri, tapi sebenarnya dalam pengertian yang lebih luas adalah merupakan bagian dari kejahatan korporasi, oleh karena seperti dikatakan oleh I. S. Susanto[31] bahwa korporasi adalah suatu organisasi, suatu bentuk organisasi dengan tujuan tertentu yang bergerak dalam bidang ekonomi atau bisnis, maka pertama-tama kita harus melihat kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang bersifat organisatoris, yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks dan harapan-harapan diantara dewan direksi, eksekutif dan manejer disuatu pihak dan diantara kantor pusat, bagian-bagian dan cabang-cabang pada pihak lain.

Kendatipun demikian, tidak berarti lalu kejahatan “warungan” tidak mendapat perhatian lagi, akan tetapi harus terdapat pemikiran yang proporsionalitas dalam penanganan, sehingga tidak memberi kesan adanya ketidakadilan penanganan. Artinya, kejahatan yang begitu membahayakan dan merugikan masyarakat luas yang ditimbulkan oleh korporasi, namun tidak mendapat penanganan sebagaimana mestinya, tapi dilain pihak, seperti yang selama ini terjadi, kejahatan “warungan” justru mendapat perhatian secara serius dan sungguh-sungguh.

Dari apa yang diuraikan di atas adalah merupakan tantangan dan sekaligus menjadi arah bagi pengembangan kriminologi dan Ilmu Hukum Pidana Indonesia di masa mendatang.


Daftar Rujukan

Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003.
Chidir Ali. Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1999.
Erman Rajagukguk. Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum. Makalah disampaikan pada Mitra Management Centre, Kanindo Plaza Lt. 5 Jl. Gatot Subroto Kav. 23 Jakarta Selatan 1989.
H. Setiyono. Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang: Averroes Press, 2002.
I. S. Susanto. Kecenderungan-kecenderungan dalam Ancangan Kriminologis VI “NATIONAL TRENDS IN CRIME”. Diselenggarakan atas kerja sama FH UNDIP, ASPEHUPIKI Dan Program Kerjasama Hukum Indonesia-Belanda, Semarang, 16-18 September 1991.
______. Aliran Pemikiran Dalam Kriminologi Dan Pengaruhnya Terhadap Orientasi Studi Kejahatan. Makalah disampaikan pada penataran Nasionl Hukum Pidana dan Kriminologi pada tanggal 8-23 November 1993.
______. Kejahatan Korporasi. Semarang Badan Penerbit Universitas Diponegoro 1995 cetakan I.
J. E. Sahetapy. Kausa Kejahatan Dan Beberapa Analisa Kriminologi. Bandung: Alumni 1981.
______. Pisau Analisa Kriminologi, Pidato Pengukuhan Diucapkan Pada Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Mata Pelajaran Kriminologi pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya pada tanggal 30 Juli 1983.
______. Kejahatan Korporasi Di Indonesia Suatu Pendekatan Intereksionistis. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi Semarang 23- 24 November 1989.
Mardjono Reksodiputro. Tindak pidana korporasi dan Pertanggungjawabannya, Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan Di Indonesia. Pidato Dies Natalis Ke47 Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Juni 1993.
______. Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (D/H) Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Jakarta 1984.
Marshall B. Clinard, Peter C. Yeager. Korporasi dan Perilaku Illegal (Hasil Saduran Bebas dari Penulis Sendiri).
Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991.
Muladi. Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi Semarang 23-24 November 1989.
N. H. T. Siahaan. Money Laundering, Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002.
Rudhi Prasetya. Perkembangan Korporasi Dalam Proses Modernisasi Dan Penyimpangan-Penyimpangannya, Makalah disampaikan pada seminar nasional “Kejahatan Korporasi” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNDIP di Semarang pada tanggal 23-24 Nopember 1989.
Soedjono Dirdjosisworo. Anatomi Kejahatan Di Indonesia (Gelagat dan Proyeksi Antisipasinya Pada Awal Abad Ke 21), Jakarta: PT Granesia, 1996.


[1] Penulis adalah Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru (Email: zul_akrial@yahoo.co.id; Blog: http://zulakrial.blogspot.com).
[2] Sebagai bahan perbandingan berkaitan dengan kejahatan korporasi ini, baca lebih lanjut, H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologis dan pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Malang: Averroes Press, 2002 !
[3] Pertanggungjawaban Korporasi, http://www.wikimediaindonesia, diakses terakhir tanggal 3 Februari 2010.
[4] Bismar Nasution, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya http://www.google.com,diakses terakhir tanggal 5 Februari 2010.
[5] Tentang Money Laundering ini, baca: N. H. T. Siahaan, Money Laundering, Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002; dan Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 159 dan seterusnya !
[6] Baca lebih lanjut, Soedjono Dirdjosisworo, Anatomi Kejahatan Di Indonesia (Gelagat dan Proyeksi Antisipasinya Pada Awal Abad Ke 21), Jakarta: PT Granesia, 1996
[7] Rudhi Prasetya, Perkembangan Korporasi Dalam Proses Modernisasi Dan Penyimpangan-Penyimpangannya, Makalah disampaikan pada seminar nasional”Kejahatan Korporasi”yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNDIP di Semarang pada tanggal 23-24 Nopember 1989.
[8] Erman Rajaguguk, Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum, Jakarta: Mitra Management Centre, tanpa tahun terbit, hal. 2
[9] Tentang Badan Hukum ini, baca lebih lanjut, Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1999 !
[10] Rudhi Prasetya, Op. Cit., hal. 3
[11] Tentang masalah pertanggungjawaban korporasi ini baca juga lebih lanjut, Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 223 et seq. !
[12] Erman Rajaguguk, Op. Cit., hal. 2
[13] Ibid., hal. 4.
[14] I. S. Susanto, Kriminologi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, hal. 1
[15] Marshall B. Clinard, Peter C, Yeager. Korporasi dan Perilaku Illegal, 1980, hal. 3 (Hasil Saduran Bebas dari Penulis Sendiri).
[16] I. S. Susanto, Aliran Pemikiran Dalam Kriminologi Dan Pengaruhnya Terhadap Orientasi Studi Kejahatan. Makalah disampaikan pada Penataran Nasionl Hukum Pidana dan Kriminologi pada tanggal 8-23 November 1993.
[17] J. E. Sahetapy, Kausa Kejahatan Dan Beberapa Analisa Kriminologi. Bandung: Alumni 1981, hal. 91.
[18] J. E. Sahetapy, Pisau Analisa Kriminologi (Pidato pengukuhan diucapkan pada penerimaan jabatan guru besar dalam mata pelajaran Kriminologi pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya pada tanggal 30 Juli 1983), Bandung: Armico,1984 hal. 9.
[19] I. S. Susanto, 1993 Op. Cit., hal. 12
[20] I. S. Susanto, Kejahatan Korporasi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, hal. 1.
[21] I. S. Susanto, 1993. Op. Cit., hal. 14.
[22] Masalah ini, baca lebih lanjut, Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991 !
[23] J. E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi Di Indonesia Suatu Pendekatan Interaksionistis. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional”Kejahatan Korporasi”yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UNDIP, Semarang 23- 24 November 1989.
[24] Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h) Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994, hal. 103.
[25] Marshall B. Clinard, Op. Cit., hal. 16.
[26] I. S. Susanto, 1995. Op. Cit., hal. 15.
[27] Mardjono Reksodiputro, 1994. Op. Cit., hal. 105.
[28] I. S. Susanto, 1995. Op. Cit., hal. 1.
[29] J. E. Sahetapy, 1989. Op. Cit., hal. 45.
[30] Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional”Kejahatan Korporasi”Semarang 23-24 November 1989. hal. 4.
[31] I. S. Susanto, 1995. Op. Cit., hal. 27.

Sumber : zulakrial.blogspot.com

No comments:

Post a Comment