Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu
Hukum
Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
A. Pendahuluan
P
|
emikiran tentang
kejahatan korporasi[2],
banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan ahli hukum, khususnya hukum
pidana. Di dalam hukum pidana ada doktrin yang berkembang yaitu doktrin
universitas delinguere non potest yaitu korporasi tidak mungkin
melakukan tindak pidana, ini dipengaruhi oleh pemikiran yang menyatakan bahwa
keberadaan korporasi dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum, sehingga tidak
mempunyai nilai moral yang diisyaratkan untuk dapat dipersalahkan secara pidana
(unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik (tindak pidana) mensyaratkan
adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus).[3]
Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengaan timbulnya
kerugian, yang kemudian mengakibatkan timbulnya pertanggungjawaban atau criminal
liability. Yang pada akhirnya mengundang perdebatan adalah bagaimana
korporasi mempertanggungjawabkan atau corporate liability mengingat
bahwa dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai
subjek hukum pidana adalah orang perorangan dalam
konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon). Di samping itu, KUHP
juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan
hukum dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.[4]
Terlepas dari apa yang diuraikan di atas, kejahatan sesungguhnya
tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu,
kejahatan bukanlah sebagai suatu variabel yang berdiri sendiri atau dengan
begitu saja jatuh dari langit. Semakin maju dan berkembang peradaban umat
manusia, akan semakin mewarnai bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul ke
permukaan. Begitulah setidaknya, ketika umat manusia belum menemukan alat
canggih seperti komputer, maka yang namanya kejahatan komputer tidak pernah
dikenal. Baru setelah komputer merajelela di berbagai belahan dunia, maka
orangpun lalu disibukkan dan direpotkan pula dengan efek samping yang
ditimbulkannya yaitu berupa kejahatan komputer.
Demikian pula halnya dengan corak kejahatan di bidang perbankan,
kejahatan terhadap pencemaran lingkungan hidup, money laundering,[5] kejahatan di bidang ekonomi; korupsi
dan lain-lain, semua kejahatan ini lahir dan tumbuh seiring dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh manusia. Kejahatan-kejahatan ini adalah termasuk dalam
kategori kejahatan kelas “elite”. Dikatakan “elite”, karena tidak
semua orang dapat melakukannya. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana mungkin
preman, orang yang belakangan ini diuber-uber oleh aparat keamanan, dapat
melakukan kejahatan komputer, kejahatan alam maya (internet) atau money
laundering misalnya, yang nota bene membutuhkan pengetahuan dan
keterampilan tertentu.
Kejahatan kelas “elite” ini tidak
membutuhkan tenaga fisik yang banyak. Kemampuan pikir merupakan faktor yang
penting untuk mencapai hasil yang berlipat ganda.
Namun sayang, kejahatan jenis ini
seringkali tidak terpantau dan bahkan dalam banyak hal aparat penegak hukum
justru kalah terampil dari pelakunya, baik itu yang berkenaan dengan objek yang
menjadi sasaran kejahatan maupun masalah pembuktian dalam proses peradilan.
Sehubungan dengan apa yang diuraikan di
atas, maka persoalan yang akan dikedepankan dalam konteks tulisan ini adalah,
bahwa terdapatnya perubahan (pergeseran) wajah pelaku kejahatan di Indonesia,
yang disebabkan oleh perkembangan pembangunan nasional kita. Pergeseran
dimaksud adalah tentang kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Pelaku
kejahatan di sini bukanlah manusia, tetapi adalah suatu kesatuan yang disamakan
dengan manusia.[6]
B. Korporasi
Istilah korporasi merupakan sebutan
yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa
yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya dalam bidang hukum perdata,
sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtsperson atau
yang dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.[7]
Istilah badan hukum itu sendiri,
sebenarnya terjadi tiada lain sebagai akibat dari perkembangan modernisasi.
Ketika dalam alam yang masih primitif, suatu keadaan masyarakat yang masih
sederhana, kegiatan-kegiatan usaha hanya dijalankan secara perorangan. Namun
dalam perkembangannya kemudian, tumbuh kebutuhan untuk menjalankan kegiatan
usaha itu secara bekerjasama dengan beberapa orang (atau dengan orang lain),
yang mungkin atas dasar pertimbangan agar dapat terhimpun modal yang lebih
banyak, atau mungkin pula mempunyai maksud, dengan tergabungnya keterampilan
akan lebih berhasil dari pada jika dilaksanakan atau dijalankan hanya dengan
seorang diri. Mungkin pula atas dasar pertimbangan dengan cara demikian mereka
dapat membagi risiko terhadap kerugian yang mungkin timbul dalam proses
kegiatan kerjasama tersebut.
Menurut Chidir Ali seperti dikutip oleh
Erman Rajagukguk[8] mengatakan, bahwa
manusia yang mempunyai kepentingan bersama, memperjuangkan suatu tujuan atau
kepentingan tertentu, berkumpul dan mempersatukan diri. Mereka menciptakan
suatu organisasi, memiliki pengurus yang akan mewakili mereka. Mereka memasukan
dan mengumpulkan harta kekayaan, mereka menetapkan peraturan-peraturan tingkah
laku untuk mereka dalam hubungannya satu dengan yang lain. Adalah tidak mungkin
dalam tiap-tiap hal mereka bersama-sama melakukan tindakan-tindakan itu dalam
rangka mencapai tujuan bersama tersebut. Pergaulan antar manusia dalam
kehidupannya menganggap perlu, bahwa dalam suatu kerja sama itu semua anggota
bersama-sama merupakan satu kesatuan yang baru. Suatu kesatuan yang mempunyai hak-hak
sendiri terpisah dari hak-hak para anggotanya secara pribadi. Kesatuan yang
mempunyai kewajiban sendiri terpisah dari kewajiban-kewajiban para anggota
secara individual. Subjek hukum yang baru dan berdiri sendiri inilah yang
dimaksudkan dengan badan hukum.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, tidak
jarang kerja sama tersebut terjadi bukan hanya sekedar dengan beberapa orang
saja, melainkan dapat pula terjadi diantara beberapa ratus atau bahkan ribuan
orang, sebagaimana wujudnya sekarang yang dapat dilihat perkembangannya di
negara kita yaitu, dengan semakin menjamurnya Perseroan-perseroan Terbatas (PT)
yang telah menawarkan saham-sahamnya kepada khalayak masyarakat lewat kebijakan
go public-nya. Dan dalam perkembangannya yang terkini, bahkan telah pula
dilakukan dalam bentuk saling menggabungkan diri untuk selanjutnya melakukan
kerjasama dalah satu kesatuan yang baru, yaitu apa yang sering dinamakan dengan
merger. Hal ini terjadi yaitu dengan tergabungnya dua atau lebih
Perseroan Terbatas (PT) misalnya, atau badan hukum lain.
Apa yang disebut dengan badan
hukum itu sebenarnya tiada lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan
menunjuk kepada adanya suatu badan dimana terhadap badan ini diberi status
sebagai subjek hukum.[9]
Sehingga subjek hukum secara singkat dapat diartikan, yaitu mereka yang
mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum yaitu manusia (natuurlijk person) dan
sesuatu yang menurut kebutuhan masyarakat oleh hukum diakui sebagai pendukung
hak dan kewajiban, yang terakhir ini disebut badan hukum.
Manusia sebagai subjek hukum (dalam
arti sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum) sudah mulai
ada sejak manusia itu masih dalam kandungan sampai ia meninggal. Pasal 2 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW) menyebutkan:
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Namun jika anak
itu mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah ada”.
Dalam hubungan ini, misalnya, seorang ibu yang
hamil, kemudian suaminya meninggal dunia, hal ini dapat menimbulkan pemecahan
warisan. Anak itu walaupun masih berada kandungan ia dianggap mendapat warisan.
Oleh karenanya dapat dikatakan kemampuan seseorang untuk menjadi subjek hukum,
mampu menjadi pendukung hak dan kewajiban adalah mulai dari seseorang itu masih
berada dalam kandungan dan berakhir dengan kematiannya.
Diciptakannya pengakuan adanya suatu badan, yang
sekalipun badan ini sekedar suatu badan, namun dianggap badan ini dapat
menjalankan segala tindakan hukum dengan segala risiko yang timbul, terlepas
dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya, dalam hal ini
mempunyai latar belakang pemikiran tersendiri. Adapun latar belakang pemikiran
penetapan Badan Hukum sebagai subyek hukum, mengutip pendapat Rudhi Prasetya,[10] menyebutkan:
“bahwa terjadinya penetapan tersebut tiada lain sekedar untuk mempermudah
menunjuk siapa subyek hukumnya yang harus bertanggung jawab diantara sedemikian
banyak orang-orang yang terhimpun dalam badan tersebut, andaikata terjadi
akibat hukum, yaitu yang secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk “badan”
itu adalah sebagai subjek hukum yang harus bertangung jawab.[11]
Badan hukum sebagai salah satu subjek
hukum memiliki berbagai teori. Dari berbagai teori tersebut, menurut Erman
Rajagukguk[12] dapat digolongkan dalam dua bagian
besar, yaitu:
Pertama: mereka yang menganggap bahwa badan
hukum itu sebagai wujud yang nyata, dianggap mempunyai “panca indra”
sendiri seperti manusia. Akibatnya, badan hukum itu disamakan dengan orang atau
manusia.
Kedua adalah, mereka yang menganggap badan
hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata. Di belakang badan hukum itu
sebenarnya berdiri manusia. Akibatnya, kalau badan hukum itu membuat kesalahan,
maka kesalahan itu adalah merupakan kesalahan manusia yang berdiri di belakang
badan hukum itu secara bersama-sama tersebut.
Perbedaan teori mengenai badan hukum ini
mempunyai implikasi yang besar terhadap pemisahan pertanggung jawaban antara
badan hukum dan orang-orang yang berada dibelakang badan hukum tersebut.
Pemahaman badan hukum demikian itu adalah
merupakan pengertian umum. Badan hukum itu dapat mengambil berbagai bentuk. Ada
yang dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT), dalam bentuk perkumpulan tertentu;
ada pula yang berbentuk koperasi, dan BUMN dan lain sebagainya.
Lebih lanjut Erman Rajagukguk[13] menjelaskan tentang kapan suatu
perkumpulan dapat disebut sebagai suatu badan hukum. Suatu perkumpulan dapat
disebut sebagai suatu badan hukum adalah apabila memenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat dimaksud dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yaitu:
1. Syarat-syarat menurut doktrin, yaitu:
Menurut Meyers, sesuatu baru dapat dikatakan badan hukum jika
terpenuhi 4 (empat) unsur, yaitu:
a.
Adanya kekayaan perkumpulan
yang terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya.
b. Adanya kepentingan yang diakui dan
dilindungi oleh hukum, dan kepentingan yang dilindungi itu harus bukan
kepentingan satu orang atau beberapa orang saja.
c.
Kepentingan tersebut harus untuk
jangka waktu yang panjang.
d. Harus ada kekayaan yang terpisah tidak
saja untuk menjaga kepentingan-kepentingan anggotanya, melainkan juga
kepentingan-kepentingan tertentu yang terpisah dari kepentingan-kepentingan
anggota-anggotanya.
Paham lain menambahkan, disamping 4 (empat) unsur
tersebut di atas, yaitu adanya organisasi yang teratur, badan
hukum sebagai subjek hukum merupakan kesatuan sendiri dengan
organ-organnya melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Tentang tata cara bagaimana
organ badan hukum yang terdiri dari manusia-manusia itu bertindak, dipilih,
diganti dan sebagainya, ditentukan oleh Anggaran Dasar dan peraturan-peraturan
lainnya.
2. Syarat-syarat menurut peraturan
perundang-undangan, yaitu:
a.
Dinyatakan dengan tegas bahwa
suatu organisasi mempunyai status badan hukum, misalnya Perseroan Terbatas (PT)
adalah suatu badan hukum. Undang-undang juga mengatakan bahwa Bank Rakyat
Indonesia (BRI) adalah merupakan dan berstatus sebagai suatu badan hukum, dan
lain sebagainya.
b. Tidak dinyatakan secara tegas. Namun dapat
ditarik kesimpulan dari peraturan yang bersangkutan, bahwa badan itu adalah
badan hukum, misalnya suatu perkumpulan untuk dapat diakui sebagai badan hukum
harus mendapat pengakuan dari Departemen Kehakiman dan HAM atau oleh pejabat
lain yang ditunjuk oleh Menteri Kehakiman HAM.
3. Syarat-syarat menurut kebiasan dan Yurisprudensi
(keputusan-keputusan pengadilan).
Pertumbuhan korporasi di Indonesia (terutama
dalam pengertian peraturan perundang-undangan tersebut di atas) semakin
berkembang dengan pesat, baik dalam jumlahnya maupun dalam wujud macam bidang usaha yang dikelolanya. Hal ini dapat
dilihat pada perkembangan dan pertumbuhan industri yang bergerak diberbagai
bidang seperti pertanian, kehutanan, makanan, pharmasi, perbankan, elektronika,
otomotif, perumahan, konstruksi, transportasi, hiburan, dan masih banyak lagi.
Setiap hari kita dibanjiri dengan produk-produk untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari hingga untuk “investasi”. Hampir seluruh kebutuhan kita seperti
diuraikan di atas, dapat dilayani oleh korporasi, sehingga dapat dikatakan
bahwa sejak dalam kandungan hingga ke liang kubur kita di bawah kekuasaan
korporasi. Untuk penyediaan keperluan semua ini, korporasi menyerap banyak
tenaga kerja, sehingga dengan keberadaan korporasi yang sedemikian ini tentunya
ikut mengurangi angka pengangguran, meski perlu diingat bahwa dengan munculnya
industri maka ribuan orang juga akan kehilangan pekerjaannya. Belum lagi
sumbangan yang dihasilkan baik berupa pajak maupun devisa, sehingga korporasi
nampak sangat positif. Namun di sisi lain kita juga menyaksikan perilaku
negatif yang ditunjukkan oleh korporasi seperti pencemaran, pengrusakan sumber
daya alam yang terbatas, persaingan curang, manipulasi pajak, eksploitasi
terhadap buruh, produk-produk yang membahayakan kesehatan pemakainya serta
penipuan terhadap konsumen.[14]
Kendatipun korporasi disamping bercorak
positif, tapi di lain pihak juga memberikan efek negatif yang sangat
membahayakan bagi kehidupan masyarakat, namun pertumbuhan dan peranan korporasi
tetap eksis dan semakin membesar sehingga menjadikan masyarakat yang konsumtif
semakin tergantung pada keberadaan korporasi tersebut. korporasi tumbuh bagai
raksasa yang mengangkangi banyak segi kehidupan masyarakat, sehingga mempunyai
konsekuensi terhadap keberadaan korporasi secara ekonomi, politik dan kekuasaan
semakin menguat.[15]
C. Kejahatan
Memberi definisi yang seragam memang sulit didapat
dalam Ilmu Pengetahuan Sosial, oleh karena setiap sarjana mempunyai pendapat
masing-masing. Demikian pula halnya dengan masalah pendefinisian tentang apa
itu kejahatan.
Penjelasan mengenai perilaku kriminal (kejahatan)
menurut I. S. Susanto[16]
tidaklah berdiri sendiri atau berbeda dari penjelasan mengenai perilaku kriminal.
Secara umum usaha untuk memformulasikan teori-teori tentang perilaku kriminal
telah dilakukan melalui ilmu-ilmu lain, seperti biologi, kedokteran, psikiatri,
psikologi, psikologi sosial dan sosiologi. Namun suatu teori hanya dapat
dipandang dan dipahami melalui kerangka acuan intelektual dan kultural yang
melatarbelakanginya.
Meskipun demikian perlu dicatat, bahwa dari hasil
usaha yang selama ini dilakukan harus diakui bahwa kita masih saja belum dapat
memahami sepenuhnya perilaku manusia. Tidak ada konsep-konsep teoretis yang
dapat menjelaskan kompleksitas dan secara penuh dari perilaku manusia.
Kejahatan sebagai suatu gejala sosial yang sudah
terlampau tua usianya dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan
pertumbuhan penduduk, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana yang
diungkapkan oleh J. E. Sahetapy[17]
“bahwa kejahatan erat hubungannya dan menjadi bagian dari hasil budaya itu
sendiri, ini berarti semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu
bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara
pelaksanaannya”.
Permasalahan tentang apa yang dinamakan kejahatan
(dalam pengertian konvensional) adalah setua usia peradaban manusia itu
sendiri, yaitu bergantung pada persepsi dan keyakinan, dapatlah dikatakan
berbeda dengan paham dan istilah theologia Adam dan Hawa sudah melakukan apa
yang dinamakan kejahatan, karena mereka telah melanggar perintah Tuhan, yaitu
dengan memakan buah yang sebelumnya telah dilarang untuk didekati dan apalagi
sampai memakannya. Terlepas dari persepsi dan keyakinan, bahwa perbuatan mereka
adalah merupakan dosa, jadi (mungkin) bukan kejahatan jika mengacu pada konteks
peraturan perudang-undangan. Namun kejahatan, seperti kejahatan penganiayaan
dan pembunuhan yang dikenal sekarang dalam rumusan peraturan perundang-undangan
pada mula pertama, seperti diuraikan dalam Al Qur’an, telah dilakukan oleh
Qabil dengan melakukan kejahatan pembunuhannya terhadap adiknya, Habil.
Demikianlah apa yang dapat dinamakan kejahatan
dalam bentuk primordial, kini masih selalu menampakkan diri dalam keadaan segar
bugar secara mondial. Kejahatan, apakah itu dalam bentuk pembunuhan, makar,
pencurian, penipuan, pemerasan, penggelapan, perkosaan, aborsi ataupun dengan
penamaan baru seperti korupsi, pembajakan pesawat udara, dan subversi,
terorisme, setiap orang dapat menyaksikan akibatnya secara riil dan kongkrit;
setiap orang dapat merasakan dan mengalaminya dan bahkan dapat pula
melakukannya sendiri.
Persepsi tentang apa itu yang dinamakan kejahatan,
menurut J. E. Sahetapy,[18]
tidak dapat tidak pasti akan merupakan bahan debat yang kontroversial. Seperti
juga apa yang dinamakan cantik atau kecantikan, bisa menimbulkan, bukan saja
suatu perdebatan, bahkan permasalahan itu dalam praktek dapat juga menimbulkan
keretakan rumah tangga. Bukankah seperti dikatakan: “Beauty is the eye of
the beholder”, kecantikan seseorang ada dimata anda sendiri tidak atau
belum tentu dimata orang lain.
Apa yang diuraikan di atas adalah merupakan gejala
sosial yang disebut kejahatan dengan pelaku kongkrit dengan akibat-akibatnya
pun bersifat riil, jelas dan tertentu. Akan tetapi konstruksi yuridis akan
menjadi lain dan malah sekarang belum memperoleh perumusan yang pas (?) untuk
menjaring pelaku kejahatan yang justru abstrak dan kompleks sifatnya, tetapi
mempunyai dampak dan akibat yang riil, dan bahkan jauh lebih berbahaya
dibandingkan dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan konvensional,
inilah seperti yang sudah disinggung pada awal tulisan yang disebut dengan
kejahatan korporasi.
Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, maka
pemahaman tentang (causa) kejahatan dalam konteks kekinian sudah bukan pada
tempatnya lagi untuk menggunakan logika-logika atau teori-teori
Kriminologi klasik, oleh karena itu aliran pemikiran kriminologi ini
menurut I. S. Susanto[19]
adalah mendasarkan pada pandangan bahwa inteligensi dan rasionalitas merupakan
ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia,
baik yang bersifat perorangan maupun kelompok. Intelegensi membuat manusia
mampu mengarahkan dirinya sendiri, dalam arti dia adalah penguasa dari
nasibnya, pemimpin dari jiwanya, makhluk yang mampu memahami dirinya dan
bertindak untuk mencapai kepentingan dan kehendakanya. Ini merupakan kerangka
pemikiran dari semua pemikiran klasik seperti dalam filsafat, psikologi,
politik, hukum dan ekonomi. dalam konsep yang sedemikian maka masyarakat
dibentuk sebagaimana adanya sesuai dengan pola yang dikehendaki. Kunci kemajuan
menurut pemikiran ini adalah kemampuan, kecerdasan atau akal yang dapat
ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan, sehingga manusia mampu mengontrol
nasibnya sendiri baik sebagai seorang individu maupun sebagai bagian
masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan di dalam kerangka pemikiran ini, lazimnya
kejahatan dan penjahat dilihat semata-mata dari sudut batasan undang-undang.
Kejahatan didefinisikan sebagai setiap pelanggaran terhadap perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang pidana; dan penjahat adalah setiap orang yang
melakukan kejahatan. Kejahatan dipandang sebagai hasil pilihan bebas dari
individu dalam menilai untung ruginya melakukan kejahatan.
Sekarang, zaman sudah semakin berkembang dan
kehidupan masyarakat sudah sedemikian kompleksnya, oleh karena itu pemahaman
tentang suatu kejahatanpun juga harus bergeser dari pandangan lama (klasik)
tersebut. Tidak dapat dibayangkan bagaimana mungkin konsep dengan kaca mata
klasik digunakan untuk memotret terhadap gejala-gejala yang timbul dan terjadi
di dalam kehidupan masyarakat yang sudah semakin canggih dan modern ini.
Apalagi untuk memotret pelaku kejahatan yang sekarang berkembang sehingga
meliputi bukan hanya dalam wujud manusia dalam arti bukan lagi kejahatan
konvensional, sekarang sudah bergeser, disamping dilakukan oleh subjek hukum manusia,
namun juga dapat dilakukan oleh pelaku yang disamakan dengan manusia yaitu
korporasi. Dengan demikian tentu saja kaca mata lama sudah tidak mengena pada
sasaran lagi jika tetap bersikukuh untuk digunakan pada masa sekarang. Maka mau
tidak mau fokus kajian kriminologi harus mengembangkan diri yaitu lewat telaah
kritis terhadap berbagai bentuk fenomena dalam kehidupan masyarakat yang serba
modern.
Saat ini, kejahatan yang sangat meresahkan dan
merugikan serta membahayakan kehidupan masyarakat adalah kejahatan yang
dilakukan oleh korporasi. Memahami korporasi dengan segala proses kerjanya
seluruh komponen-komponen yang ada di dalamnya, adalah jauh lebih sulit dari
pada memahami kejahatan dengan manusia sebagai pelakunya, baik secara tunggal
maupun yang terdiri dari beberapa orang pelaku, baik pemahaman dalam artian
teoretis dan lebih-lebih lagi pemahaman untuk keperluan praktis.
D. Kejahatan Korporasi
Adalah merupakan realitas bahwa
korporasi semakin memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat,
khususnya dalam bidang perekonomian. Keraguan pada masa lalu untuk menempatkan
korporasi sebagai subyek hukum pidana yang dapat melakukan tindak pidana
dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, sudah bergeser.
Keberadaan korporasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti
dikatakan oleh I. S. Susanto,[20]
telah memberikan sumbangan yang besar baik berupa pajak maupun devisa, sehingga
korporasi nampak sangat positif. Namun di sisi lain kita juga menyaksikan
perilaku negatif yang ditunjukkan oleh korporasi seperti pencemaran, pengurasan
sumber daya alam yang terbatas, persaingan curang, manipulasi pajak,
eksploitasi terhadap buruh, produk-produk yang membahayakan kesehatan
pemakainya serta penipuan terhadap konsumen. Diantara perilaku-perilaku seperti
inilah yang kemudian oleh pakar disebut sebagai kejahatan atau tindak pidana
korporasi.
Tugas kriminologi dalam konteks yang demikian itu
seperti yang diutarakan oleh I. S. Susanto[21]
adalah menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi ilmiah
terhadap ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial, dan kultur. Oleh karena
kriminologi positivis dalam bekerjanya menghadapi kesulitan untuk menggunakan
batasan undang-undang, sebab undang-undang seringkali membedakan perbuatan
legal dan ilegal atas dasar batas-batas yang sangat tajam (“teknis”) yang tidak
ada hubungannya dengan ide sebab-sebab sehingga cendrung memberikan berbagai
“batasan alamiah” terhadap kejahatan, yang lebih diarahkan pada ciri-ciri
perilaku itu sendiri daripada perilaku yang didefinisikan oleh peraturan
perundang-undangan pidana. Misalnya Mannheim membela pandangan bahwa
kriminologi harus mempelajari seluruh perbuatan anti sosial, baik yang menurut
undang-undang dinyatakan sebagai kejahatan maupun yang tidak dinyatakan.
Sementara Sutherland dalam studinya terhadap kejahatan White Collar
Criminality (WCC) menganggap kejahatan sebagai perbuatan yang merugikan
masyarakat, baik yang diatur dalam undang-undang pidana maupun perdata,
administrasi dan perundang-undangan yang lain. Sedangkan Schwendingers
memandang kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Dalam perkembangan lebih lanjut, pandangan
terhadap (sebab) kejahatan mengalami pergeseran. Menurut kriminologi kritis
maka tingkat kejahatan dan ciri-ciri pelaku terutama ditentukan oleh bagaimana
undang-undang disusun dan dijalankan. Maka oleh karena itu, tugas kriminologi
kritis adalah menganalisa proses-proses bagaimana cap jahat itu diterapkan
terhadap tindakan tertentu dan orang-orang tertentu. Ini mengandung arti, bahwa
untuk memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses kriminalisasi, dalam
arti baik proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-undang yakni
dijadikannya perbuatan tertentu sebagai tindak pidana maupun dalam bekerjanya
hukum yakni proses-proses yang menjadikan orang atau orang-orang tertentu
sebagai penjahat. Adapun yang dimaksud dengan proses bekerjanya hukum adalah
bagaimana aparat penengak hukum menyikapi suatu perilaku tertentu dalam konteks
kehidupan masyarakat.
Namun yang jelas bahwa saat ini belum begitu
banyak masyarakat yang mengetahui termasuk aparat penengak hukum, oleh karena
terpaku pada pandangan yang sempit dalam memandang kejahatan, yaitu hanya
bersifat yuridis formal bahwa kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang
serius, bahkan lebih serius ketimbang kejahatan perampokan dan penipuan. Hal
ini disebabkan oleh karena dalam kejahatan perampokan dan penipuan itu, korban
yang terkena hanya terbatas pada korban yang berhadapan langsung dengan pelaku,
atau dengan kata lain bahwa pelaku yang terkena kejahatan tersebut adalah
tertentu dan terbatas sifatnya. Dampak kejahatannya tidak mesti mengambil
orang-orang (masyarakat) tertentu sebagai korban.
Kemudian, dalam hal kejahatan perampokan dan
penipuan yang menimbulkan kerugian, jumlah kerugian yang diderita oleh korban
hanya terbatas dalam jumlah tertentu, sejumlah nilai uang tertentu yang masih
dapat diperkirakan. Sedangkan dalam hal kejahatan korporasi yang juga
menimbulkan kerugian, akan tetapi jumlah kerugian yang diderita oleh korban
tidak terbatas dan tidak dapat dihitung secara pasti. Bahkan dalam kejahatan
korporasi banyak hal-hal yang merugikan tanpa dapat disangka dan diduga,
seperti polusi udara, pencemaran lingkungan hidup, hasil produk yang
membahayakan kesehatan maupun keyakinan agama dan lain-lain.
Lalu apakah korporasi yang demikian itu bisa
dipidana ?[22] Atau suatu keraguan
yang masih saja muncul yang mempertanyakan: benarkah atau mungkinkah suatu
korporasi dapat melakukan kejahatan ? Keraguan dan pertanyaan seperti ini
adalah sebagai suatu hal yang wajar muncul ke permukaan, karena alam pikiran
yang masih diselimuti oleh sosok yang kongkrit yang selama ini tergambar dalam
benak seseorang, dan sekaligus konstruksi yuridis selama ini berkembang hanya
merumuskan manusialah yang dapat disebut sebagai subjek hukum dan
sekaligus sebagai pelaku kejahatan. Pertanyaan di atas dijawab dengan cara yang
sangat sederhana oleh J. E. Sahetapy[23]
dengan merumuskan pertanyaan secara analogi, dapatkah suatu korporasi melakukan
suatu perbuatan atau suatu tindakan hukum, terlepas dari apakah itu
bertentangan atau tidak dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Akan menimbulkan suatu perasaan yang aneh dan secara logika adalah suatu
kontradiksi bilamana suatu korporasi dapat melakukan suatu perbuatan atau
tindakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, tetapi pada pihak lain
tidak mungkin suatu korporasi melakukan suatu tindak pidana.
Apa yang diuraikan di atas agaknya sudah cukup
jelas, oleh karena memang keberadaan (eksistensi) korporasi sebagai subjek
hukum (pidana) itu ditentukan dan didasarkan atas kekuatan peraturan
perundang-undangan, suatu karya yang diciptakan oleh hukum sebagai pendukung
hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, sehingga sungguh tidak masuk akal
jika korporasi hanya dapat melakukan tindakan yang melulu sesuai dengan aturan
undang-undang (hukum) yang berlaku. Manusia sendiri sebagai subjek hukum
alamiah (natuurlijke persoon) dalam beberapa hal juga melakukan
pelanggaran hukum apalagi badan hukum (korporasi) yang seperti diketahui
berorientasi pada profit (laba/keuntungan), maka adalah mustahil dalam
aktifitas kegiatannya yang mengutamakan keuntungan itu tidak pernah melakukan
pelanggaran hukum.
Namun sebelum beranjak lebih jauh, jika kita sudah
sepakat bahwa korporasi benar-benar dapat melakukan tindak pidana atau
kejahatan, maka persoalan yang menarik untuk dikedepankan adalah: apakah yang
dimaksud dengan kejahatan korporasi itu sesungguhnya ? Atau apakah yang
menjadi ruang lingkup kejahatan yang dapat dilakukan oleh suatu korporasi?
Mengutip pendapat Mardjono Reksodiputro[24] yang mengatakan, bhwa tindak pidana
korporasi adalah merupakan sebagian dari “White Collar Criminality” (WCC).
Istilah WCC dilontarkan di Amerika Serikat dalam tahun 1939 dengan batasan:
“suatu pelanggaran hukum pidana oleh seseorang dari kelas sosial ekonomi
atas, dalam pelaksanaan kegiatan jabatannya”.
Perdebatan ilmiah yang kemudian timbul, antara
lain menyangkut pengertian tentang apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan “Crime
Of Corporations” karena dalam rumusan di atas yang dimaksud dengan: “…oleh
seseorang … dalam pelaksanaan kegiatan dalam jabatannya” adalah pengurus
perusahaan. Meskipun WCC ditujukan kepada pelaku manusia (Natuurlijk
person), namun pada akhirnya yang dinggap melakukan perbuatan tercela dan
karena itu harus dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah perusahaan atau
korporasi tempat manusia yang bersangkutan bekerja. Rumusan pengertian WCC
di atas kemudian ditambah dengan unsur “penyalahgunaan kepercayaan” (violation
of trust). Yang dimaksud dengan kepercayaan ini adalah yang diberikan oleh
masyarakat. Suatu perusahaan dianggap telah menerima kepercayaan masyarakat,
untuk melakukan kegiatannya (dalam bidang perekonomian) secara jujur dan
bertikad baik. Ini yang dinamakan etika bisnis yang baik. Perusahaan-perusahaan
yang melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat (misalnya penipuan dan
kolusi), telah menyalahgunakan kepercayaan tersebut dan kegiatannya termasuk
dalam pengertian WCC.
Atas dasar pemikiran seperti inilah agakanya
Marshall B. Clinard[25]
mengatakan bahwa, kejahatan korporasi adalah merupakan kejahatan kerah
putih, namun ia tampil dalam bentuk yang lebih spesifik. Ia lebih mendekati ke
dalam bentuk kejahatan terorganisir dalam konteks hubungan yang lebih
kompleks dan mendalam antara seorang pimpinan eksekutif, manager dalam suatu
tangan. Ia juga dapat berbentuk korporasi yang merupakan perusahaan
keluarga. Namun semuanya masih dalam rangkaian bentuk kejahatan kerah putih.
Kejahatan kerah putih timbul dari pemikiran dan
paham ilmuwan sosioeconomic yang berpendapat bahwa secara struktural
kejahatan yang dilakukan oleh upper class adalah lebih berbahaya
ketimbang kejahatan yang dilakukan oleh lower class. Maka konsekuensinya
adalah, bahwa pemidanaan terhadap kejahatan kerah putih harus dilakukan secara
ketat dan tepat, atau dalam pemikiran yang relatif, perlu adanya teori
kriminologi yang baru yang membahas kejahatan kerah putih.
Menurut Sutherland, maka kejahatan kerah putih
adalah “sebuah perilaku kriminal atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh seseorang dari kelompok yang memiliki keadaan sosio-ekonomi yang tinggi
dan dilakukan berkaitan dengan aktifitas pekerjaannya”. Selanjutnya dijelaskan,
bahwa kejahatan kerah putih (WCC) sebagian besar berkaitan dengan kejahatan
atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada. Kejahatan atau perusakan terhadap
kepercayaan yang ada ini, secara lebih luas dibagi dalam dua bagian atau tipe.
Tipe pertama, ialah penyajian atau pengambaran yang keliru, dan yang kedua
adalah duplikasi atau perbuatan bermuka dua. Tipe yang pertama berhubungan
erat dengan penipuan, pengecohan atau diperbudaknya seseorang. Sedangkan tipe kedua
berkaitan secara langsung dengan pengkhianatan kepercayaan maupun penipuan
yang secara langsung dilakukan tetapi tidak kentara; tidak terlihat secara
kasat mata, yaitu dengan cara mengelabui korbannya. Prinsip yang utama dari
tipe yang kedua ini adalah dengan membuat sebuah penampilan yang baik (bonafide)
kepada calon korban, menampilkan diri sebagai seorang yang profesional atau
bisnismen (usahawan) namun dibalik itu adalah bertujuan untuk mengeruk
keuntungan yang sebanyak-banyakanya dari calon korban, bagai musang berbulu
domba.
Selanjutnya, bahwa kegiatan yang dianggap sebagai
kejahatan atau tindak pidana korporasi, yang menimbulkan keresahan luas dalam
masyarakat, adalah tindak pidana yang menimbulkan kerugian besar. Kerugian ini
tidak saja yang dapat dihitung dengan uang, tetapi juga yang tidak dapat
dihitung, yaitu misalnya hilangnya kepercayaan masyarakat pada sistem
perekonomian yang berlaku. Semua yang dilakukan dalam konteks ini harus
berhubungan dengan kegiatan ekonomi (perekonomian) dan atau berkaitan dengan
dunia bisnis.
Terlepas dari apa yang diuraikan di atas, dilain
pihak dari literatur-literatur yang ada, dijelaskan adanya dua tipe dari
kejahatan korporasi yaitu pertama Occupational Crime dan kedua Corporate
Crime. Occupational Crime adalah bentuk perbuatan seseorang sekelompok
orang yang berhubungan dengan pekerjaan. Misalnya saja seorang majikan terhadap
buruhnya, seorang dokter dengan pekerjaannya, seorang lawyer terhadap
kliennya, dan lain-lain. Occupational Crime juga dapat terjadi apabila
seseorang melakukan penggelapan (kejahatan) pajak yang berkaitan dengan
pekerjaannya.
Corporate Crime adalah bentuk kejahatan yang berkaitan dengan
korporasi. memang agak membingungkan antara keberadaan kejahatan
korporasi dengan kejahatan occupational. Namun apabila seseorang melakukan
pekerjaannya dalam sebuah korporasi dan melakukan penyimpangan dalam korporasi
tersebut, maka itu adalah kejahatan korporasi, namun sebaliknya apabila ia
melakukan penyimpangan semata-mata dalam pekerjaannya, maka itu adalah occupationl
crime. Dalam konteks ini yang disorot adalah kejahatan yang dilakukan oleh
korporasi yakni corporate crime.
Keberadaan korporasi sebagai pelaku bisnis
sudah dikenal beberapa abad yang lampau, meski pada mulanya lebih ditekankan
pada kerja sama (asosiasi) daripada tujuan untuk pemanfaatan terhadap
penyediaan modal (berupa saham) seperti pada umumnya.
Munculnya industri telah mendorong semakin
berkembangnya korporasi sebagai badan hukum dan badan ekonomi.
Barangkali V. O. C. yang didirikan oleh belanda pada tahun 1602 dapat dipandang
sebagai perintis korporasi (bisnis) modern yang dibangun dengan modal (saham)
yang tetap.[26]
Namun dalam konteks korporasi sebagai pelaku
bisnis dikaitkan dengan kejahatan yang dilakukannya, penulis dalam hal ini
mengikuti pendapat Mardjono Reksodiputro[27]
yang mengatakan, bahwa tindak pidana korporasi harus dilihat sebagai bagian
dari WCC, seperti yang telah diuraikan di atas, adalah dalam rangka untuk
membedakannya dari pelanggaran hukum pidana atau ketentuan pidana yang
dilakukan oleh perusahaan atau usaha dagang yang berlingkup kegiatan ekonomi
atau bisnis dengan skala kecil atau terbatas. Tidak ingin dimasukkan dalam
pengertian tindak pidana korporasi dalam rangka tulisan ini, misalnya penipuan
atau perbuatan membahayakan yang dilakukan oleh warung atau toko di lingkungan
pemukiman kita atau oleh bengkel reparasi kendaraan bermotor yang berskala
kecil. Permasalahan hukum pidana yang timbul sehubungan dengan pertanggung
jawaban dan kesalahan jusrtu ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan berskala
kegiatan besar. Dalam kegiatan pembangunan perekonomian kita selama dua
dasawarsa yang lalu, yang telah menumbuhkan berbagai perusahan besar, maka
hukum, termasuk hukum pidana dituntut untuk turut berkembang agar dapat
mengantisipasi penyalahgunaan kemajuan yang telah dicapai itu yang berakibat
merugikan masyarakat dan negara.
Permasalahan hukum pidana menghadapi
kejahatan korporasi ini adalah justru disebabkan oleh karena perbuatan
pidana korporasi itu selalu dilakukan secara rahasia, sukar untuk
diketahui dan dideteksi dan bahkan sering kali para korbanpun tidak mengetahui
kerugian yang sebenarnya dialaminya. Apa yang biasanya terlihat hanyalah
“puncak gunung es” saja. Karena hanya sedikit kasus-kasus tindak pidana
korporasi yang diungkapkan untuk diajukan ke pengadilan, maka menuntut
pertanggung jawaban korporasi akan memberikan efek pencegahan yang lebih besar
ketimbang meminta pertanggung jawaban dari pengurusnya. Tentunya tidak menutup
kemungkinan untuk secara bersama juga menuntut orang yang langsung bertanggung
jawab atas perbuatan korporasi tersebut.
Keterlambatan kita dalam menghadapi kejahatan
korporasi, seperti diuraikan di atas mengutip pendapat I. S. Susanto[28] mengatakan ini tiada lain akibat
“kebodohan kita bersama”. Penelitian-penelitian tentang kejahatan
korporasi mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat kurang mengenal
terhadap kejahatan korporasi atau bahkan seringkali kurang menyadari bahaya
yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Akar ketidaktahuan masyarakat ini antara
lain dikarenakan oleh ketidakanampakan kejahatan korporasi yang disebabkan oleh
kompleksnya kecanggihan perencanaan dan pelaksanaannya, oleh karena tidak
adanya atau lemahnya penegakkan dan pelaksanaan hukum, dan oleh lenturnya
sanksi hukum dan sanksi sosial, sehingga gagal dalam menguatkan dan menegakkan
kembali sentimen kolektif terhadap ikatan moral.
Namun di lain segi juga menggambarkan bahwa
penelitian mengenai kejahatan korporasi termasuk juga di dalamnya
penelitian terhadap tindak pidana korupsi, selalu akan membentur tembok bisu
yang menakutkan. Ditambah dengan pers yang hanya “hari-hari omong kosong”, maka
sukarlah sekali untuk mengungkapkan kejahatan korupsi dan pelaku kejahatan
korporasi. Maka oleh sebab itu, benarlah secara kriminologis, bahwa
“anjing-anjing tidak pernah saling menggigit”. Anjing besar hanya akan
menggigit si pembongkar kebusukan. Dan anjing-anjing kecil hanyalah melolong
belaka berhadapan dengan anjing besar. Jadi ungkapan “anjing-anjing besar tidak
saling menggigit” dan “hukum pidana ibarat air mengalir ke bawah” perlu
ditelaah kembali dalam mengkaji ulang kejahatan korporasi dan korupsi sebagai
kejahatan yang termasuk dalam kelompok WCC.[29]
Korporasi seperti diuraikan di atas, mempunyai
ruang lingkup yang bersifat komplek baik ditilik dari sudut proses bekerjanya
maupun dampak atau akibat yang ditimbulkan yang merugikan masyarkat, sehingga
konsekuensinya, penanganan melalui sarana hukum pidana juga harus
mengalami pergeseran konstruksi yuridis. Maka dengan demikian apabila kita
masih menggunakan pendekatan yang bersifat tradisional (fundamental approach)
maka fungsi hukum pidana akan selalu diarahkan terutama untuk mempertahankan
dan melindungi nilai-nilai moral. Dalam hal ini kesalahan (guilt) akan
selalu merupakan unsur utama dalam syarat pemidanaan dan biasanya hal ini akan
berkaitan erat dengan teori pemidanaan yang bersifat retributif.
Dalam perkembangan kemudian, menurut Muladi[30] yang mengatakan bahwa pendekatan
yang bersifat tradisional tersebut mulai bergeser kearah pendekatan utilitarian
(utilitarian approach) dan dalam hal yang terakhir ini hukum
pidana dan sanksi pidana dianggap merupakan salah satu dari sekian sarana
yang oleh masyarakat dapat digunakan untuk melindungi dirinya dari perilaku
yang dapat membahyakan masyarakat tersebut. Kegunaan
sanksi pidana dinilai dari sudut apakah dengan mengenakan sanksi tersebut dapat
diciptakan kondisi yang lebih baik. Apabila pandangan fundamentalis
menitikberatkan pada ancaman terhadap perasaan moral masyarakat sebagai alasan
pembenar terhadap pengguanaan sanksi pidana, maka pandangan uitilitarian
melihat public order sebagai sarana perlindungan.
Dalam proses modernisasi dan pembangunan ekonomi yang semakin
meningkat, muncul perkembangan baru dalam kaitannya dengan ruang lingkup dan
fungsi hukum pidana dan sanksi pidana. Hukum pidana dalam hal ini
dijadikan/digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan rasa tanggung jawab
negara dalam rangka mengelola kehidupan masyarakat modern yang semakin
kompleks. Sanksi pidana antara lain digunakan secara maksimal untuk mendukung
norma hukum administrtif dalam berbagai hal. Inilah yang dinamakan dengan administrative
penal law yang termasuk dalam ruang lingkup public welfare offenses.
Dalam hal tindak pidana semacam ini, pemidanaan dilakukan atas dasar
tingkat kesalahan subyektif, dan dalam konteks ini muncul bentuk pertanggug
jawaban dalam hukum pidana yang disebut strict (absolut) liability
yang meninggalkan asas mensrea, sebagai refleksi kecenderungan untuk
menjaga keseimbangan kepentingan sosial.
E.
Kesimpulan
Kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang besar dan sangat
berbahaya sekaligus merugikan kehidupan masyarakat, kendatipun di pihak lain ia
juga memberi kemanfaatan bagi kehidupan masyarakat dan negara. Dikatakan
“besar”, oleh karena kompleksnya komponen-komponen yang bekerja dalam satu
kesatuan korporasi, sehingga metode pendekatan yang dilakukan terhadap
korporasi tidak bisa lagi dengan menggunakan metode pendekatan tradisional yang
selama ini berlaku dan dikenal dengan metode pendekatan terhadap kejahatan
konvensional, melainkan harus disesuaikan dengan kecanggihan dari korporasi itu
sendiri, demikian pula dengan masalah yang berkenaan dengan konstruksi
yuridisnya juga harus bergeser dari asas-asas yang tradisional kearah yang
lebih dapat menampung bagi kepentingan masyarakat luas, yaitu dalam rangka
memberikan perlindungan terhadap masyarakat.
Kejahatan terorganisir, yang dalam literatur mendapat tempat dalam
klasifikasi tersendiri, tapi sebenarnya dalam pengertian yang lebih luas adalah
merupakan bagian dari kejahatan korporasi, oleh karena seperti dikatakan oleh
I. S. Susanto[31] bahwa
korporasi adalah suatu organisasi, suatu bentuk organisasi dengan tujuan
tertentu yang bergerak dalam bidang ekonomi atau bisnis, maka pertama-tama kita
harus melihat kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang bersifat
organisatoris, yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks
hubungan-hubungan yang kompleks dan harapan-harapan diantara dewan direksi,
eksekutif dan manejer disuatu pihak dan diantara kantor pusat, bagian-bagian
dan cabang-cabang pada pihak lain.
Kendatipun demikian, tidak berarti lalu kejahatan “warungan” tidak
mendapat perhatian lagi, akan tetapi harus terdapat pemikiran yang
proporsionalitas dalam penanganan, sehingga tidak memberi kesan adanya
ketidakadilan penanganan. Artinya, kejahatan yang begitu membahayakan dan
merugikan masyarakat luas yang ditimbulkan oleh korporasi, namun tidak mendapat
penanganan sebagaimana mestinya, tapi dilain pihak, seperti yang selama ini
terjadi, kejahatan “warungan” justru mendapat perhatian secara serius dan
sungguh-sungguh.
Dari apa yang diuraikan di atas adalah merupakan tantangan dan sekaligus menjadi arah bagi pengembangan kriminologi dan Ilmu Hukum Pidana Indonesia di masa mendatang.
Daftar Rujukan
Barda Nawawi Arief. Kapita Selekta
Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003.
Chidir Ali. Badan Hukum, Bandung:
Alumni, 1999.
Erman Rajagukguk. Badan Hukum Sebagai
Subjek Hukum. Makalah disampaikan pada Mitra Management Centre, Kanindo
Plaza Lt. 5 Jl. Gatot Subroto Kav. 23 Jakarta Selatan 1989.
H. Setiyono. Kejahatan Korporasi,
Analisis Viktimologis dan pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Malang: Averroes Press, 2002.
I. S. Susanto. Kecenderungan-kecenderungan
dalam Ancangan Kriminologis VI “NATIONAL TRENDS IN CRIME”. Diselenggarakan
atas kerja sama FH UNDIP, ASPEHUPIKI Dan Program Kerjasama Hukum
Indonesia-Belanda, Semarang, 16-18 September 1991.
______. Aliran Pemikiran Dalam
Kriminologi Dan Pengaruhnya Terhadap Orientasi Studi Kejahatan. Makalah
disampaikan pada penataran Nasionl Hukum Pidana dan Kriminologi pada tanggal
8-23 November 1993.
______. Kejahatan Korporasi. Semarang
Badan Penerbit Universitas Diponegoro 1995 cetakan I.
J. E. Sahetapy. Kausa Kejahatan Dan
Beberapa Analisa Kriminologi. Bandung: Alumni 1981.
______. Pisau Analisa Kriminologi, Pidato
Pengukuhan Diucapkan Pada Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Mata Pelajaran
Kriminologi pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya pada tanggal
30 Juli 1983.
______. Kejahatan Korporasi Di
Indonesia Suatu Pendekatan Intereksionistis. Makalah Disampaikan pada
Seminar Nasional Kejahatan Korporasi Semarang 23- 24 November 1989.
Mardjono Reksodiputro. Tindak pidana
korporasi dan Pertanggungjawabannya, Perubahan Wajah Pelaku Kejahatan Di
Indonesia. Pidato Dies Natalis Ke47 Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Markas
Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Juni 1993.
______. Kemajuan Pembangunan Ekonomi
dan Kejahatan. Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (D/H) Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia Jakarta 1984.
Marshall B. Clinard, Peter C. Yeager. Korporasi dan Perilaku Illegal (Hasil Saduran Bebas dari Penulis
Sendiri).
Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban
Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991.
Muladi. Fungsionalisasi Hukum Pidana
Terhadap Tindak Pidana Korporasi. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional
Kejahatan Korporasi Semarang 23-24 November 1989.
N. H. T. Siahaan. Money Laundering,
Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2002.
Rudhi Prasetya. Perkembangan Korporasi
Dalam Proses Modernisasi Dan Penyimpangan-Penyimpangannya, Makalah
disampaikan pada seminar nasional “Kejahatan Korporasi” yang diselenggarakan
oleh Fakultas Hukum UNDIP di Semarang pada tanggal 23-24 Nopember 1989.
Soedjono Dirdjosisworo. Anatomi Kejahatan Di
Indonesia (Gelagat dan Proyeksi Antisipasinya Pada Awal Abad Ke 21), Jakarta:
PT Granesia, 1996.
[1] Penulis adalah Dosen Hukum Pidana
Fakultas Hukum dan Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Riau
(UIR) Pekanbaru (Email: zul_akrial@yahoo.co.id; Blog:
http://zulakrial.blogspot.com).
[2] Sebagai bahan perbandingan
berkaitan dengan kejahatan korporasi ini, baca lebih lanjut, H. Setiyono, Kejahatan
Korporasi, Analisis Viktimologis dan pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Malang: Averroes Press, 2002 !
[3]
Pertanggungjawaban Korporasi, http://www.wikimediaindonesia, diakses terakhir
tanggal 3 Februari 2010.
[4] Bismar Nasution, Kejahatan
Korporasi dan Pertanggungjawabannya http://www.google.com,diakses terakhir
tanggal 5 Februari 2010.
[5] Tentang Money Laundering ini,
baca: N. H. T. Siahaan, Money Laundering, Pencucian Uang Dan Kejahatan
Perbankan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2002; dan Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2003, hal. 159 dan seterusnya !
[6] Baca
lebih lanjut, Soedjono Dirdjosisworo, Anatomi Kejahatan Di Indonesia
(Gelagat dan Proyeksi Antisipasinya Pada Awal Abad Ke 21), Jakarta: PT Granesia, 1996
[7] Rudhi Prasetya, Perkembangan
Korporasi Dalam Proses Modernisasi Dan Penyimpangan-Penyimpangannya, Makalah
disampaikan pada seminar nasional”Kejahatan Korporasi”yang diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum UNDIP di Semarang pada tanggal 23-24 Nopember 1989.
[8] Erman Rajaguguk, Badan Hukum
Sebagai Subyek Hukum, Jakarta:
Mitra Management Centre, tanpa tahun terbit, hal. 2
[9] Tentang Badan Hukum ini, baca lebih lanjut, Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung:
Alumni, 1999 !
[10] Rudhi Prasetya, Op. Cit., hal. 3
[11] Tentang masalah pertanggungjawaban korporasi ini baca juga lebih
lanjut, Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 223 et seq. !
[12] Erman Rajaguguk, Op. Cit., hal. 2
[13] Ibid.,
hal. 4.
[14] I. S. Susanto, Kriminologi, Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, hal. 1
[15] Marshall B. Clinard,
Peter C, Yeager. Korporasi dan Perilaku Illegal, 1980, hal. 3 (Hasil
Saduran Bebas dari Penulis Sendiri).
[16] I. S. Susanto, Aliran Pemikiran Dalam
Kriminologi Dan Pengaruhnya Terhadap Orientasi Studi Kejahatan.
Makalah disampaikan pada Penataran Nasionl Hukum Pidana dan Kriminologi pada
tanggal 8-23 November 1993.
[17] J. E. Sahetapy, Kausa
Kejahatan Dan Beberapa Analisa Kriminologi. Bandung: Alumni 1981, hal. 91.
[18] J. E. Sahetapy, Pisau Analisa
Kriminologi (Pidato pengukuhan diucapkan pada penerimaan jabatan guru
besar dalam mata pelajaran Kriminologi pada Fakultas Hukum Universitas
Airlangga di Surabaya pada tanggal 30 Juli 1983), Bandung: Armico,1984 hal. 9.
[19] I. S. Susanto, 1993 Op.
Cit., hal. 12
[20] I. S. Susanto, Kejahatan Korporasi, Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995, hal. 1.
[21] I. S. Susanto, 1993. Op. Cit.,
hal. 14.
[22] Masalah ini, baca lebih lanjut, Muladi
dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung:
Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991 !
[23] J. E. Sahetapy, Kejahatan
Korporasi Di Indonesia Suatu Pendekatan Interaksionistis. Makalah
Disampaikan pada Seminar Nasional”Kejahatan Korporasi”yang diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum UNDIP, Semarang 23- 24 November 1989.
[24] Mardjono Reksodiputro, Kemajuan
Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum (d/h) Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994,
hal. 103.
[25] Marshall B.
Clinard, Op. Cit., hal. 16.
[26] I. S. Susanto,
1995. Op. Cit., hal. 15.
[27] Mardjono
Reksodiputro, 1994. Op. Cit., hal. 105.
[28] I. S. Susanto,
1995. Op. Cit., hal. 1.
[29] J. E. Sahetapy, 1989. Op. Cit., hal.
45.
[30] Muladi, Fungsionalisasi Hukum Pidana
Terhadap Tindak Pidana Korporasi. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional”Kejahatan Korporasi”Semarang
23-24 November 1989. hal. 4.
[31] I. S. Susanto,
1995. Op. Cit., hal. 27.
Sumber : zulakrial.blogspot.com
No comments:
Post a Comment