Korporasi memegang peranan
penting dalam kehidupan masyarakat modern. Dalam perkembangannya, tidak jarang
korporasi melakukan aktivitas-aktivitas yang menyimpang atau kejahatan dengan
modus operandi yang spesifik. Oleh karena itu, kedudukan korporasi sebagai
subyek hukum (keperdataan) telah bergeser menjadi subjek hukum pidana.
Di satu sisi, ditinjau dari
bentuk subjek dan motifnya, kejahatan korporasi dapat dikategorikan dalam white
collar crime dan merupakan kejahatan yang bersifat organisatoris. Dalam
penegakan hukum, yang harus diperhatikan adalah struktur korporasi, hak dan
kewajiban serta pertanggungjwabannya. Sehingga dapat dikenali karekter
kejahatan korporasi dan letak pertanggungjawabannnya yang pada akhirnya dapat
ditemukan solusi yuridisnya.
Hutan
mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dalam menunjang keberhasilan
pembangunan nasional. Hal ini disebabkan hutan sebagai sumber kekayaan alam,
bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Hutan sebagai salah
satu penentu sistem kehidupan manusia dan memberikan manfaat serbaguna yang
dibutuhkan sepanjang masa guna pemenuhan kebutuhan manusia terhadap
produk-produk dan jasa hutan.
Kedudukannya
sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan
manfaat yang besar bagi umat manusia. Oleh karena itu harus dijaga
kelestariannya. Hutan juga mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang
lingkungan global. Sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi
sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.
Kerusakan
hutan Indonesia disebabkan antara lain: eksploitasi hutan yang diakibatkan oleh
aktivitas penebangan liar (illegal logging), penyelundupan kayu, dan konservasi
kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain seperti; perkebunan, pertambangan
dan perumahan.
Menurut
Utrec, korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum
bertindak bersama-sama sebagai subjek hukum tersendiri suatu personifiaksi.
Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan
kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masin-masing.
Menurut
Yan Pramdya Puspa, korporasi atau badan hukum adalah suatu perseroan yang
merupakan badan hukum; korporasi atau peseroan yang dimaksud adalah suatu kumpulan
atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti manusia (persona). Yakni
sebagai pengembang (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggunggat
atau digugat dimuka pengadilan. Contoh badan hukum ialah PT (perseroaan
terbatas), NV (Namloze Vennootschap) dan yayasan (Sticthing); bahkan Negara pun
juga merupaka badan hukum
Rudhi
Prasetya menyatakan , kata korporasi yang lazim dipergunakan di kalangan pakar
hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya
bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda
disebut rechtspersoon, atau yang dalam bahasa Inggris legal entities atau
corporation.
Dengan demikian secara umum korporasi mempunyai
unsur-unsur antara lain:
a) kumpulan orang dan atau kekayaan;
a) kumpulan orang dan atau kekayaan;
b) terorgonasir;
c) badan hukum;
d) non badan hukum.
Bentuk-bentuk kejahatan korporasi dapat
diklasifikasilan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
a) kejahatan korporasi dibidang ekonomi, antara
lain berupa perbuatan tidak melaporkan keuntungan perusahaan yang sebenarnya,
menghindari atau memperkecil pembayaran pajak dengan cara melaporkan data yang
tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, persengkongloan dalam penentuan
harga, memberikan sumbangan kampanye politik secara tidak sah.
b) kejahatan korporasi dibidang sosial budaya,
antara lain; kejahatan hak cipta, kejahatan terhadap buruh, kejahatan narkotika
dan psikotropika; dan
c) kejahatan korporasi yang menyangkut masyarakat
luas. Hal ini dapat terjadi
pada lingkungan hidup, konsumen dan pemegang saham.
Kejahatan
terhadap lingkungan hidup berupa pencemaran dan atau perusakan kondisi tanah,
air dan udara suatu wilayah. Dengan demikian, dalam kejahatan lingkungan hidup,
dapat ditafsirkan lebih luas dalam konteks kerusakan yang berakibat luas,
mengakibat bencana dan merugikan umat manusia, seperti illegal logging atau
pembalakan liar.
Pasal-pasal
dalm UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 yang dapat di katagorikan
terkait dengan tindak pidana koorporasi antara lain dapat dilihat pada: pasal
50 ayat (1), (2), dan (3) dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana korporasi.
Hal ini mengingat dalam penjelasan pasal 50 ayat (1) dirumuskan bahwa yang
dimaksud dengan orang adalah subjek hukum baik secara pribadi, badan hukum,
maupun badan usaha. Prasarana perlindungan hutan, misalnya pagar-pagar batas
kawasan hutan, aliran api, menara pengawas, dan jalan pemeriksaan. Sarana
perlindugan hutan misalnya alat pemadan kebakaran, tandatangan dan alat angkut.
Dengan demikian pada pasal 50
ayat (1), (2), dan (3), bisa dikatagorikan tindak pidana korporasi, jika setiap
orang yang dimaksud dalam pasal tersebut itu menunjuk subjek hukum pelaku
adalah badan hukum atau badan usaha seperti dalam penjelasan pasal 50 ayat (1).
Sedangkan untuk pasal 50 ayat (4), termasuk tindak pidana biasa.
Perkembangan pertanggungjawaban
pidana di Indonesia,
ternyata yang dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya manusia, tetapi juga
korporasi. Khusus mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana,
ternyata terdapat bermacam-macam cara perumusannya yang ditempuh oleh pembuat
undang-undang. Ada
3 (tiga) sistem kedudukan korporasi dalam hukum pidana yakni :
(1) pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;
(2) korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;
(3) korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggunjawab.
(1) pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;
(2) korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab;
(3) korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggunjawab.
Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 jo
UU Nomor 19 Tahun 2004, pertanggujawaban tindak pidana korporasi terdapat pada
Pasal 78 angka (14) yang dirumuskan sebagai berikut: “Tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh
dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya
dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama,
dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3
(sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan”.
Tanggung jawab korporasi pada UU
Nomor 19 Tahun 2004, apabila tindak pidana yang dilakukan oleh dan atau atas
nama badan hukum atau badan usaha, yang bertanggujawab adalah pengurusnya, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, Ini maksudnya dapat ditafsirkar bahwa
pengurus atas nama pribadi atau sendiri dapat diminta pertanggungjwaban atau
pengurus yang melakukan secara bersama-sama bisa diminta pertangggujawaban.
Dengan demikian bukan badan hukum yang bisa diminta pertanggujawaban dalam
tindak pidana korporasi ini, hanya pada pengurus dari badan hukum yang bisa
diminta pertanggungjwaban.
Dengan demikian Pasal 50 ayat
(1), (2), dan (3) , UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004, dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi. Hal ini mengingat dalam
penjelasan pasal 50 ayat (1) dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan orang adalah
subjek hukum baik secara pribadi, badan hukum, maupun badan usaha.
Tanggung jawab korporasi pada UU
Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004, apabila tindak pidana yang
dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, yang
bertanggungjawab adalah pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Dalam UU Nomor 19 Tahun 2004.
secara tersurat tidak ditemukan yang menyatakan korporasi sebagai subjek tindak
pidana. Oleh karena itu, penuntutan dapat menggunakan ketentuan pidana dalam
peraturan yang berhubungan dengan lingkungan hidup seperti Ordonansi Ganguan Stb.
Nomor 226 yang dirubah dengan Stb. 449 Tahun 1927 dengan konsekuensi ancaman
pidana sangat ringan.
Untuk masalah sanksi pidana, Siti Sundari menyatakan bahwa:
1. badan hukum dapat dikenakan sanksi pidana dalam perkara kerusakan atau pencemaran lingkungan;
1. badan hukum dapat dikenakan sanksi pidana dalam perkara kerusakan atau pencemaran lingkungan;
2. delik lingkungan perlu dirumuskan dalam pengertian yang
terkandung dalam undang-undang lingkungan hidup guna memudahkan penyelesaian
perkara di pengadilan;
3. ketentuan pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan
lingkungan perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan pasal 22 Undang-undang
Lingkungan Hidup;
4. keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu
memerlukan kerjasama yang serasi antara badan legislatif, eksekutif dan
yudikatif
Hubungannya dengan sanksi
pidana, tindak pidana korporasi pada UU Nomor 19 Tahun 2004 pada: Pasal 78.
Dari sanksi Pasal 78 angka (14) UU Nomor 19 Tahun 2004, yang dapat
dikategorikan dalam sanksi tindak pidana korporasi di bidang kehutanan,
sementara yang lain yakni Pasal 78 angaka 1-13 dan 15 termasuk dalam pasal
tindak pidana biasa .
Pasal 78 angka 14 dirumuskan
bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan
usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman
pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang
dijatuhkan.
Dengan demikian, apabila
pelakunya badan hukum atau badan usaha, maka sanksi pidana seperti pasal 50
ayat (1),(2) dan (3), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dan
ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan .
Ke depan, dalam penegakan hukum
untuk kasus-kasus illegal logging, aparat penegak hukum harus lebih tegas dan
berani menerapkan pasal-pasal korporasi yang sudah ada pada UU Nomor 41 Tahun
1999 jo UU Nomor.19 Tahun 2004.
Tentang
penulis:
Siti Kotijah SH, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, peserta Program Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga. Kontak person: 081 347 216635. Email: fafa_law@yahoo.com
Siti Kotijah SH, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, peserta Program Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga. Kontak person: 081 347 216635. Email: fafa_law@yahoo.com
Sumber : gagasanhukum.wordpress.com/2009/03/05/tindak-pidana-korporasi-2/
Post a Comment