i. Masa sebelum pemerintahan Hindia-Belanda.
Pada masa sebelum pemerintahan Hindia-belanda di
Indonesia, tata hukum di Indonesia mendapatkan pengaruh dari hukum agama yaitu
Hindu dan Islam serta hukum adat. Pengaruh agama Hindu tersebut dapat dilihat
pada sistem peradilannya dimana dibedakan antara perkara Pradata dan
perkara Padu[3].
Perkara Pradata adalah perkara yang menjadi urusan peradilan raja yang
diadili oleh raja sendiri yaitu perkara yang membahayakan mahkota, kemanan dan
ketertiban negara, hukum Pradata ini bersumber dari hukum Hindu dimana Raja
adalah pusat kekuasaan[4]
sedangkan perkara Padu adalah perkara mengenai kepentingan rakyat
perseorangan, perkara ini diadili oleh pejabat negara yang disebut jaksa[5].
ii. Masa pemerintahan
Hindia-Belanda
Pada tahun 1602 Belanda mendirikan suatu
perserikatan dagang untuk Timur-jauh yang dinamakan VOC (De Vereenigde Oost-Indische
Compagnie) dengan tujuannya untuk berniaga, maka melalui VOC tersebut Belanda
masuk ke Indonesia.
Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619
berhasil membuat Sultan Banten menyerahkan daerahnya kepada Kompeni. Pada
tanggal 26 Maret 1620 dibuat resolusi yang mengangkat seorang Baljuw
sebagai opsir justisi dan kepala kepolisian lalu pada tanggal 24 Juni 1620
dibentuk suatu mejelis pengadilan di bawah pimpinan Baljauw yang
dinamakan College van Schepennen disebut schepenbank untuk
mengadili segala penduduk kota bangsa apapun kecuali pegawai dan serdadu
Kompeni yang akan diadili oleh Ordinaris luyden van den gerechte in het
Casteel yang pada 1626 diubah menjadi Ordinaris Raad van
Justisie binnen het casteel Batavia, disebut sebagai Raad van Justisie.
Sejak tahun 1684 VOC banyak mengalami kemunduran
ditambah dengan adanya pergeseran politik Eropa yang mengakibatkan berubahnya
situasi politik di Belanda, hal tersebut mengakibatkan dihentikannya VOC dan
pada tahun 1806 Belanda menjadi kerajaan di bawah Raja Lodewijk Napoleon yang
kemudian mengangkat Mr. Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal yang
menetapkan charter untuk daerah jajahan di Asia dimana dalam Pasal 86 charter
tersebut berisi bahwa susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap
berdasarkan hukum serta adat mereka.
a. Masa pemerintahan Inggris
Setelah kekuasaan Hindia-Belanda pada 1811
dipatahkan oleh Inggris maka Sir Thomass Stamford Raffles diangkat menjadi
Letnan Jenderal untuk P. Jawa dan wilayah di bawahnya (Palembang, Banjarmasin,
Makasar, Madura dan kepulauan Sunda-kecil). Ia mengeluarkan maklumat tanggal 27
Januari 1812 yang berisi bahwa susunan pengadilan untuk bangsa Eropa berlaku
juga untuk bangsa Indonesia yang tinggal di dalam lingkungan kekuasaan
kehakiman kota-kota (Batavia, Semarang dan Surabaya) dan sekitarnya jadi pada
jaman rafles ini ada perbedaan antara susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia
yang tinggal di kota-kota dan di pedalaman atau desa-desa.
b. Masa kembalinya pemerintahan Hindia-Belanda
Berakhirnya peperangan di Eropa mengakibatkan
daerah jajahan Belanda yang dikuasai Inggris akan dikembalikan kepada Belanda (Conventie
London 1814).
Pada masa ini Pemerintah Hindia-Belanda berusaha
untuk mengadakan peraturan-peraturan di lapangan peradilan sampai pada akhirnya
pada 1 Mei 1848 ditetapkan Reglement tentang susunan pengadilan dan
kebijaksanaan kehakiman 1848 (R.O), dalam R.O ada perbedaan keberlakuan
pengadilan antara bangsa Indonesia dengan golongan bangsa Eropa diama dalam
Pasal 1 RO disebutkan ada 6 macam pengadilan:
1. districtsgerecht
Mengadili perkara perdata dengan orang Indonesia
asli sebagai tergugat dengan nilai harga di bawah f20-.
2. regenschapgerecht
Mengadili perkara perdata untuk orang Indonesia
asli dengan nilai harga f.20-f.50 dan sebagai pengadilan banding untuk
keputusan-keputusan districtsgerecht.
3. landraad
merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk
orang Indonesia asli dan dengan pengecualian perkara-perkara perdata dari
orang-orang Tionghoa – orang-orang yang dipersamakan hukumnya dengan bangsa
Indonesia, juga di dalam perkara-perkara dimana mereka ditarik perkara oleh
orang-orang Eropa atau Tionghoa selain itu landraad juga berfungsi
sebagai pengadilan banding untuk perkara yang diputuskan oleh regenschapgerecht
sepanjang dimungkinkan banding.
4. rechtbank van
omgang diubah pada 1901 menjadi residentiegerecht dan pada 1914
menjadi landgerecht.
Mengadili dalam tingkat pertama dan terahir
dengan tidak membedakan bangsa apapun yang menjadi terdakwa.
5. raad van justisie
Terdapat di Jakarta, Semarang dan Surabaya untuk
semua bangsa sesuai dengan ketentuan.
6. hooggerechtshof
Merupakan pengadilan tingkat tertinggi dan berada
di Jakarta untuk mengawasi jalannya peradilan di seluruh Indonesia.
iii. Masa pemerintahan
Jepang
Masa pemerintahan Jepang di Indonesia dimulai
pada 8 Maret 1942 dengan menyerahnya Jendral Ter Poorten[6],
untuk sementara Jepang mengeluarkan Undang-undang Balatentara Jepang tanggal 8
Maret No.1 yang menyatakan bahwa segala undang-undang dan peraturan-peraturan
dari pemerintah Hindia-Belanda dulu terus berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang. Untuk proses peradilan Jepang
menetapkan UU 1942 No. 14 tentang Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon,
dimana dengan UU ini didirikan pengadilan-pengadilan yang sebenarnya merupakan
lanjutan dari pengadilan–pengadilan yang sudah ada:
1. Gun Hoon
Pengadilan Kawedanan, merupakan lanjutan dari districtsgerecht.
2. Ken Hooin
Pengadilan kabupaten, merupakan lanjutan dari regenschapsgerecht.
3. Keizai Hooin
Pengadilan kepolisian, merupakan lanjutan dati Landgerecht.
4. Tihoo Hooin
Pengadilan Negeri, merupakan lanjutan dari Lanraad.
5. Kooto Hooin
Pengadilan Tinggi, merupakan lanjutan dari Raad
van Justisie.
6. Saikoo Hooin
Mahkamah Agung, merupakan lanjutan dari Hooggerechtshof.
Masa pemerintahan Jepang ini menghapuskan
dualisme di dalam peradilan dengan Osamu Seirei 1944 No.2 ditetapkan
bahwa Tihoo Hooin merupakan pengadilan buat segala golongan penduduk,
dengan menggunakan hukum acara HIR.
iv. Masa Kemerdekaan Republik
Indonesia
a. 1945-1949
Pasal II Aturan Peralihan UUD’45 menetapkan
bahwa: segala badan negara dan peraturan yang ada masih lansung berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Hal ini berarti bahwa semua ketentuan
badan pengadilan yang berlaku akan tetap berlaku sepanjang belum diadakan
perubahan.
Dengan adanya Pemerintahan Pendudukan Belanda di
sebagian wilayah Indonesia maka Belanda mengeluarkan peraturan tentang
kekuasaan kehakiman yaitu Verordening No. 11 tahun 1945 yang
menetapkan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilakukan oleh Landgerecht
dan Appelraad dengan menggunakan HIR sebagai hukum acaranya.
Pada masa ini juga dikeluarkan UU UU No.19 tahun
1948 tentang Peradilan Nasional yang ternyata belum pernah dilaksanakan[7].
b. 1949-1950
Pasal 192 Konstitusi RIS menetapkan bahwa Landgerecht
diubah menjadi Pengadilan Negeri dan Appelraad diubah menjadi
Pengadilan Tinggi
c. 1950-1959
Adanya UU Darurat No.1 tahun 1951 yang mengadakan
unifikasi susunan, kekuasaan, dan acara segala Pengadilan Negeri dan segala
Pengadilan Tinggi di Indonesia dan juga menghapuskan beberapa pengadilan
termasuk pengadilan swapraja dan pengadilan adat.
d. 1959 sampai sekarang terbitnya
UU No. 14 Tahun 1970
Pada masa ini terdapat adanya beberapa peradilan
khusus di lingkungan pengadilan Negeri yaitu adanya Peradilan Ekonomi (UU
Darurat No. 7 tahun 1955), peradilan Landreform (UU No. 21 tahun 1964).
Kemudian pada tahun 1970 ditetapkan UU No 14 Tahun 1970 yang dalam Pasal 10
menetapkan bahwa ada 4 lingkungan peradilan yaitu: peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Post a Comment