SELAMA dilakukan pembahasan Rancangan
Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu), paling tidak, mengemuka tiga isu
krusial yang amat terkait dengan pelaksanaan pemilu.
Pertama, penentuan sistem pemilu yang paling
cocok diterapkan di Indonesia,
terutama menghadapi Pemilu 2004. Kedua,
peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pelaksanaan dan pengawasan pemilu.
Ketiga, sumber dan penggunaan keuangan (dana) untuk pelaksanaan kampanye
pemilu.
Mencermati
perkembangan yang ada, tampaknya dana kampanye belum menjadi perhatian publik. Padahal, sumber dan penggunaan dana
kampanye amat terkait dengan asas pemilu yang akuntabel. Dana kampanye
merupakan bagian paling rentan untuk terjadinya segala macam penyalahgunaan.
Berkaca pada pengalaman pelaksanaan beberapa pemilu lalu, dana kampanye adalah
bagian yang tidak diatur dan diawasi secara ketat. Kelonggaran itu, memberi
peluang kepada partai politik melakukan segala cara untuk mendapatkan dana
kampanye. Akibatnya, sulit untuk meminta pertanggunggugatan partai politik
(parpol) peserta pemilu, baik secara politik maupun secara hukum, terhadap
segala bentuk penyelewengan yang dilakukan.
Pasal
karet
Guna
menghindari sumber dan penggunaan dana kampanye yang di luar kontrol, diperlukan
pengaturan secara lebih rinci dan tegas. Amat disayangkan, RUU Pemilu
"karya" Departemen Dalam Negeri (Depdagri) yang kini sedang dibahas
di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memberi perhatian ekstra pada persoalan
dana kampanye. Ini dapat dibuktikan dari beberapa penjelasan berikut.
Pertama,
tidak ada pengertian yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan dana
kampanye. Lazimnya, pengertian ini harus disebutkan lebih awal di dalam
"Ketentuan Umum". Di dalam Penjelasan Pasal 111 Ayat (2) RUU Pemilu hanya
disebutkan, yang dimaksud dengan dana kampanye pemilu adalah berbentuk uang,
barang dan jasa lain, dan atau yang dapat dipersamakan dengan atau dinilai
dengan uang. Rumusan ini tidak mampu menjelaskan maksud yang sesungguhnya dari
dana kampanye. Ketidakjelasan ini menjadi semakin lengkap karena dalam ilmu
perundang-undangan penjelasan bukan merupakan norma hukum, ia hanya merupakan
penafsiran pembuat undang-undang.
Kedua,
dalam rumusan Pasal 111 Ayat (1) RUU Pemilu disebutkan, dana kampanye pemilu dapat
diperoleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) parpol dari (a) anggota parpol peserta
pemilu bersangkutan termasuk calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota, dan (b) pihak-pihak lain yang tidak mengikat, yang meliputi
badan hukum swasta, atau perseorangan, baik yang disampaikan kepada parpol
peserta pemilu maupun kepada calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota.
Rumusan
Pasal 111 Ayat (1) itu menimbulkan pertanyaan dan persoalan mendasar, bagaimana
bila ada parpol yang "menjual kursi jadi" kepada seseorang, di mana
hasil penjualan itu dijadikan dana kampanye. Kemungkinan seperti itu harus
diantisipasi karena ada sinyalemen, dalam Pemilu 1999 ada di antara parpol yang
memperdagangkan kursi di daerah pemilihan basisnya kepada orang-orang yang amat
berminat menjadi anggota legislatif, tetapi tidak mempunyai posisi menentukan
dalam partai. Dengan kuatnya keinginan beberapa partai untuk tetap
mempertahankan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu 2004,
memperjualbelikan kursi akan menjadi cara lain parpol untuk menghimpun dana
kampanye.
Ketiga,
ketentuan yang ada pada Pasal 113 Ayat (1) huruf a RUU Pemilu menyebutkan,
calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan/atau parpol
peserta pemilu dilarang menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye
pemilu yang berasal dari pihak asing. Tidak ada keterangan jelas yang dimaksud
dengan "pihak asing" dalam rumusan ini, apakah negara asing, lembaga
asing, parpol negara asing, warga negara asing, atau pihak lain di luar parpol
yang bersangkutan.
Rumusan
remang-remang yang ada dalam huruf a terulang lagi dengan adanya ketentuan
Pasal 113 Ayat (2) RUU Pemilu bahwa parpol peserta pemilu dan/atau calon
anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dilarang menerima dan/atau
menyetujui pendanaan secara langsung kegiatan kampanye. Sehingga pertanyaan
mendasar yang dikedepankan tetap sama, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan
"pendanaan secara langsung" itu.
Keempat,
pemisahan rekening reguler partai dengan rekening dana kampanye. Meski dalam
Pasal 8 huruf j RUU Partai Politik ditegaskan parpol berkewajiban memiliki
rekening khusus dan kampanye seerta menyerahkan laporan neraca keuangan hasil
audit akuntan publik kepada KPU paling lambat enam bulan setelah hari pemungutan
suara. Rentang waktu dalam ketentuan itu "berbeda" dengan rentang
waktu yang ada dalam Pasal 112 Ayat (1) RUU Pemilu, seluruh dana kampanye
pemilu, baik penerimaan maupun pengeluaran, wajib diaudit akuntan publik
terdaftar selambat-lambatnya 30 hari sesudah pemungutan suara. Implikasi
perbedaan ini mempersulit penerapan sanksi, baik berupa pembekuan maupun
pelarangan mengikuti pemilu.
Dari analysis
content itu diketahui, aturan dana kampanye yang ada dalam RUU Pemilu masih
amat jauh dari rumusan yang jelas dan tegas. Hampir semua ketentuan mengenai
dana kampanye terkategori rumusan norma hukum elastis (pasal karet) yang dapat
mempersempit ruang gerak lembaga pengawas untuk melakukan law enforcement
terhadap semua pelanggaran yang terjadi.
Aturan
lain
Di
luar hal itu, rumusan longgar yang ada dalam RUU Pemilu diperparah dengan tidak
adanya pengaturan hal-hal mendasar lainnya yang terkait dengan dana kampanye.
Pertama,
ketentuan batas maksimal penggunaan dana kampanye. Padahal, ketentuan ini
menjadi kebutuhan yang amat mendesak untuk menghindari parpol bersilantasangan
mengumpulkan dana guna melaksanakan kampanye. Tanpa pembatasan yang jelas,
parpol menjadi tidak terkontrol untuk menggunakan dana secara tak terhingga.
Berkaca pada pengalaman penyelenggaraan kampanye pemilu tahun 1999, menurut
Bambang Widjojanto, kuat dugaan sebagian partai besar mengeluarkan biaya
kampanye lebih dari Rp 500 milyar. (Kompas, 12/6/2002) Selain itu,
pembatasan diperlukan guna menghindari dana kampanye untuk membeli suara
pemilih.
Kedua,
ketentuan yang mampu menutup segala peluang terjadinya manipulasi sumber
keuangan. Misalnya, kualifikasi sumbangan yang berbentuk segala jenis
utang/pinjaman untuk kepentingan kampanye, baik uang, barang, fasilitas,
peralatan dan/atau jasa. Melihat banyak tokoh partai yang rangkap jabatan di
pemerintahan, pengaturan ini menjadi keniscayaan karena amat terbuka
kemungkinan fasilitas negara "dialihfungsikan" untuk kepentingan
kampanye partai politik.
Ketiga,
mekanisme penyelidikan dan penetapan pembatalan sebagai peserta pemilu. Ini
terkait ketentuan, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota,
dan/atau parpol yang melanggar ketentuan penerimaan sumbangan dana kampanye
dibatalkan pencalonannya sebagai peserta pemilu oleh pengadilan. Persoalan
lain, waktu pembatalan oleh pengadilan, apakah menjelang atau setelah
penyelenggaraan pemungutan suara.
Dengan
ketidakjelasan dan ketidakadaan beberapa aturan mengenai dana kampanye, sulit
mengharapkan sumber dan penggunaan dana kampaye terbebas dari praktik-praktik
kecurangan dan manipulasi. Apakah
ini terjadi karena kesengajaan (by design) atau faktor kebetulan (by
accident)? Rasanya
terlalu dini untuk mengatakan rumusan seperti itu merupakan kesengajaan. Meski
demikian, terlalu lugu pula untuk mengatakan sebagai kebetulan. Yang pasti,
ketentuan mengenai dana kampanye yang ada dalam RUU Pemilu memberi peluang
besar kepada parpol untuk berkampanye menggunakan uang haram.
Post a Comment