Oleh Saldi Isra
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univ.
Andalas (UNAND), Padang
Penolakan terbuka Mahkamah Agung (MA) atas rencana audit biaya perkara yang
akan dilakukan oleh Badan Pemerksa Keuangan (BPK) menambah panjang catatan
kontroversi pada salah satu pemegang kekuasaan kehakiman ini. Karena penolakan
itu, BPK melaporkan Ketua MA Bagir Manan kepada Kepolisian
Republik Indonesia. Menurut catatan Hukumonline.com
(20/09), laporan tersebut merupakan kejadian pertama BPK melaporkan lembaga
auditee karena dianggap menghalangi-halangi proses audit.
Berdasarkan
keterangan Ketua BPK Anwar Nasution, penolakan MA terhadap rencana audit biaya
perkara melanggar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara (UU No 15/2004). Pasal 24 Ayat (2) UU No 15/2004
menegaskan, setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, dan/atau
menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan dipidana dengan pidana penjara paling lama
satu tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00.
Tidak hanya ancaman pidana bagi yang
menghalagi audit, argumentasi biaya perkara tidak masuk ranah uang negara yang
harus diaudit juga dimentahkan BPK. Dalam pandangan BPK, biaya perkara termasuk
dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Dasarnya, Pasal 2 Ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2007 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak
menentukan bahwa penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah termasuk PNBP.
Menurut Ketua BPK, karena pemungutannya
berdasarkan kewenangan yang melekat pada lembaga itu atas nama negara, maka
biaya perkara harus dianggap PNBP (Hukumonline.com,
20/09). Tambah lagi, Pasal 2 huruf h Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara menyatakan kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah
dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum
termasuk lingkup keuangan negara.
Anehnya, tidak hanya BPK yang ditolak MA untuk melakukan
audit di lingkungan peradilan. Menurut keterangan Kepala Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Didi Widayadi, MA dan sebagian pengadilan yang
ada di bawahnya juga menolak diperiksa BPKP. Padahal, tambah Didi Widayadi,
dengan melibatkan BPKP administarsi keuangan dan pembangunan dapat dilakukan
dengan lebih transparan dan bertanggng jawab (Kompas, 20/09).
Manambah
kontroversi
Sebagaimana dinyatakan di bagian awal, penolakan atas
audit biaya perkara menambah catatan panjang kontroversi tawaran agenda
pembaruan yang terjadi di sekitar MA. Saya yakin, publik masih belum lupa
dengan langkah sistematis sejumlah hakim agung menolak pengawasan eksternal
yang dilakukan Komisi Yudisial (KY) dengan mengajukan judicial review Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU No 22/2004) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Padahal
sebelumnya, dalam sambutan Rakernas MA di Denpasar, Bali
(19-22/09-2005) Ketua MA Bagir Manan mengatakan, “Sekarang kita mempunyai KY yang saya yakin
akan lebih memperkuat upaya membenahi tingkah laku tidak terpuji dari hakim”.
Dalam kesempatan yang sama, Bagir Manan menambahkan, “Saya berjanji akan
memanfaatkan semaksimal mungkin temuan KY mengenai perbuatan tidak terpuji para
hakim dan lain-lain pejabat pengadilan“.
Jika dikaitkan dengan pidato Bagir Manan
tersebut, tanpa harus berdebat panjang, langkah sejumlah hakim agung melakukan judicial review atas UU No 22/2004
dapat dibaca sebagai perlawanan terbuka terhadap pengawasan eksternal yang
dilakukan KY. Padahal, Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 memberikan mandat konstitutusional yang
jelas kepada KY untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Kontroversi
agenda pembaruan MA masih bisa ditambah dengan sejumlah perkembangan lainnya.
Isu lain yang sempat menyita perhatian publik, perpanjangan usia pensiun hakim
agung. Yang jadi masalah, tidak pernah ada penjelasan mengapa seorang hakim
agung diperpanjang usia pensiunya. Padahal, UU No 5/2004 tentang MA
mempersyaratkan: seorang hakim agung boleh diperpanjang pensiunnya dua tahun, menjadi 67
tahun, jika memiliki prestasi kerja luar biasa dan kondisi kesehatan yang baik.
Masalahnya, sampai sejauh ini tidak ada
penjelasan prestasi kerja luar biasa apakah yang telah dilakukan oleh hakim
yang diperpanjang usia pensiunya. Menurut Denny Indrayana (2007), perpanjangan
usia pensiun hakim yang dilakukan oleh MA merupakan tindakan yang tidak dapat
dibenarkan. Alasannya, perpanjangan usia pensiun adalah bagian dari pengisian
hakim agung. Karenanya, menghilangkan peran KY dalam proses pengisian hakim
agung adalah tindakan yang inkonstitusional.
Tidak berhenti sampai di situ, dalam suatu
kesempatan, Bagir Manan pernah mengeluarkan gagasan agar Ketua MA secara ex officio merangkap sebagai Ketua KY.
Dari pendekatan perbadingan hukum tata negara (comparative constitutional-law), tidak ada yang salah
dengan gagasan Bagir Manan. Namun, karena keluar dari Bagir Manan yang nota-bene adalah Ketua MA dan dalam
suasana ketegangan hubungan antara MA dan KY, sulit untuk mengatakan bahwa
gagasan itu bukan merupakan perlawan terbuka atas pengawasan eksternal KY.
Penyelesaian
adat
Kita
masih ingat ketika KPK menggeledah gedung MA dan menangkap mantan hakim tinggi
Harini Wijoso dan lima pegawai MA. Ketika itu, Bagir Manan berjanji akan
membantu dan memberi akses seluas-luasnya bagi KPK mengungkap secara tuntas
kasus indikasi suap yang melibatkan pegawai MA. Sayang, janji itu tidak diikuti
langkah nyata karena Bagir Manan menolak panggilan (guna pemeriksa) KPK. Karena
penolakan itu, timbul ketegangan antara KPK dan MA.
Pemeriksaan terhadap Bagir
Manan baru dilakukan setelah ada pertemuan segitiga antara Presiden Yudhoyono,
Bagir Manan, dan Ketua KPK Taufikurrahman Ruki. Titik penyelesaiannya, Bagir
Manan diperiksa di gedung MA. Karena mengabaikan prinsip equality before the law,
pemeriksaan Bagir Manan yang dilakukan di MA merupakan bentuk kompromi antara
keinginan KPK dengan ‘penolakan’ dari kalangan internal MA. Kemudian, bentuk
kompromi dikenal sebagai “penyelesaian secara adat” antara KPK dan MA.
Terkait dengan pola
penyelesaian yang demikian, saya pernah menyatakan bahwa dalam konteks
membangun kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, terutama dalam
kasus korupsi, pada salah satu sisi, “intervensi” presiden dalam mempertemukan
Ketua MA dan Ketua KPK belum tentu positif dalam penegakan hukum. Sementara di
sisi lain, bagi presiden, memfasilitasi pertemuan antara Ketua MA dan Ketua KPK
yang sedang “bersengketa” tentu merupakan nilai tambah tersendiri (Kompas, 22/11-2005).
Pada batas-batas tertentu, pertemuan antara Ketua BPK dan
Ketua MA dengan Presiden Yudhoyono yang juga dihadiri Ketua MK Jimly
Asshiddiqie guna menyelesaikan ketegangan yang timbul atas rencana audit biaya
perkara dapat juga dibaca sebagai bentuk “penyelesaian
secara adat”. Hampir sama dengan kasus KPK, penyelesaian rencana audit biaya perkara juga lebih menguntungkan MA.
Buktinya, dari
keterangan Presiden Yudhoyono: pengaturan biaya perkara di lingkungan peradilan
dan MA, pemerintah akan menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata
Cara Pengelolaan Biaya Perkara. Untuk penyelesaian RPP dibutuhkan waktu
penyelesaian satu bulan lebih. Sambil menanti proses penyusunan RPP, selama dua
bulan MA secara internal mempersiapkan diri dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian.
Dengan demikian, pada saat PP diterbitkan, MA langsung bisa diaudit BPK (Kompas, 23/09).
Masalahnya,
apakah audit hanya dilakukan untuk
biaya perkara setelah penerbitan PP atau semua biaya. Sekiranya hanya terbatas
setelah penerbitan PP, penyelesaian melalui penerbitan PP jelas menguntungkan
MA. Bagaimanapun, dengan penundaan itu, MA dapat melakukan “persiapan” yang
cukup menghadapi audit BPK. Di samping itu, seberapa jauh PP tersebut mampu
mengadopsi prinsip-prinsip good
governance dalam pengelolaan keuangan negara.
Tidak cukup
PP
Sebetulnya, dalam konteks melanjutkan pembaruan di
lingkungan MA, pemenuhan prinsip-prinsip good
governace dalam pengelolaan (termasuk audit) biaya perkara tidak
cukup dilakukan dengan PP. Dalam koteks itu, penyelesaian melalui PP harus
diletakkan sebagai langkah antara (darurat) sebelum melakukan pembenahan secara
menyeluruh dengan undang-undang.
Melihat perkembangan yang ada, sekarang merupakan
saat yang tepat untuk membenahi semua keuangan negara di lingkungan kekuasaan
kehakiman. Apalagi, sekarang tengah dilakukan revisi terhadap sejumlah
undang-undang kekuasaan kehakiman, termasuk Undang-Undang tentang MA. Tanpa
membawa ke tingkat undang-undang, sulit mengharapkan ada keterbukaan pada semua
pengadilan di bawah MA.
Perubahan di
tingkat undang-undang menjadi sebuah keniscayaan karena sebelumnya masalah
keterbukaan (transaparansi) sudah dicantumkan dalam Cetak Biru
Pembaruan Mahkamah Agung RI (2003) bahwa transaparansi adalah salah
satu prinsip yang harus ada dalam sebuah pengadilan yang baik.. Bisa
jadi, karena hanya disebut dalam Cetak
Biru, MA dan
lingkungan di bawahnya merasa tidak terikat. Karenanya, harus ada aturan di
tingkat undang-undang yang memaksa MA untuk terbuka terhadap pengawasan luar
termasuk audit penggelolaan keuangan negara.
Sumber : http://www.saldiisra.web.id/
Post a Comment