Di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan para praktisi hukum masih bingung tentang Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, kerap ditemukan dalam suatu gugatan dimana penggugat terlihat bingung membedakan antara posita wanprestasi dengan posita perbuatan melawan hukum.
Pada umumnya mereka beranggapan
bahwa wanprestasi merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum (genus
spesifik). Alasannya adalah, seorang debitur yang tidak memenuhi pembayaran
hutang tepat waktu, jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Anggapan seperti
ini sekilas benar adanya namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan
tertulis, tidak boleh mencampur adukan antara keduanya karena akan menimbulkan
kekeliruan posita yang pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dari gugatan itu sendiri.
Ada beberapa perbedaan yang sangat prinsipil
antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. Perbedaan
prinsipil tersebut adalah:
1. Sumber
Wanprestasi timbul dari
persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subjek hukum
telah wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata:
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi
empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk
membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak
terlarang.”
Wanprestasi terjadi karena
debitur (yang dibebani kewajiban) tidak memenuhi isi perjanjian yang
disepakati, seperti:
a. tidak dipenuhinya prestasi sama
sekali,
b. tidak tepat waktu dipenuhinya
prestasi,
c. tidak layak memenuhi prestasi yang
dijanjiakan.
Perbuatan melawan hukum lahir karena undang-undang sendiri menentukan. Hal
ini sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUHPerdata:
“Perikatan
yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai
undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”.
Artinya, perbuatan melawan hukum semata-mata berasal dari undang-undang,
bukan karena perjanjian yang berdasarkan persetujuan dan perbuatan melawan
hukum merupakan akibat perbuatan manusia yang ditentukan sendiri oleh
undang-undang.
Ada 2 kriteria perbuatan melawan hukum yang merupakan akibat perbuatan
manusia, yakni perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum (rechtmagitg,
lawfull) atau yang tidak sesuai dengan hukum (onrechtmatig, unlawfull).
Dari 2 kriteria tersebut, kita akan mendapatkan apakah bentuk perbuatan melawan
hukum tersebut berupa pelanggaran pidana (factum delictum), kesalahan
perdata (law of tort) atau betindih sekaligus delik pidana dengan kesalahan
perdata. Dalam hal terdapat kedua kesalahan (delik pidana sekaligus kesalahan
perdata) maka sekaligus pula dapat dituntut hukuman pidana dan pertanggung
jawaban perdata (civil liability).
2. Timbulnya
hak menuntut
Pada wanprestasi diperlukan lebih
dahulu suatu proses, seperti Pernyataan lalai (inmorastelling, negligent of
expression, inter pellatio, ingeberkestelling). Hal ini sebagaimana
dimaksud pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan “Perikatan ditujukan untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”atau
jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan
debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau
peringatan. Hal ini diperkuat yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959
tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan:
“apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan
perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi
kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak
kreditur”.
Dalam perbuatan melawan hukum,
hak menuntut dapat dilakukan tanpa diperlukan somasi. Sekali timbul perbuatan
melawan hukum, saat itu juga pihak yang dirugikan langsung dapat menuntutnya (action,
claim, rechtvordering).
3. Tuntutan
ganti rugi (compensation,
indemnification)
Pada wanprestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadi
kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 KUHPerdata, “Pada suatu
perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan
kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang
yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilakukan, menjadi
tanggungannya”.
Pasal 1246 KUHPerdata menyatakan,
“biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian
yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”.
Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wanprestasi, penghitungan
ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci
seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian
tesebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interst).
Dengan demikian kiranya dapat
dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat
dituntut haruslah terinci dan jelas. Sementara, dalam perbuatan melawan
hukum, tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan pasal 1265 KUHPerdata, tidak
perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya, tidak perlu perincian. Dengan
demikian, tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang
meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa
pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel
in de oorpronkelijke toestand, herstel in de vorige toestand).
Meskipun tuntutan ganti rugi tidak
diperlukan secara terinci, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi
tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi, seperti:
Putusan Mahkamah Agung No. 196 K/
Sip/ 1974 tanggal 7 Oktober 1976, menyatakan“besarnya jumlah ganti rugi
perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni
didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak”.
Putusan Mahkamah Agung No. 1226
K/Sip/ 1977 tanggal 13 April 1978, menyatakan,“soal besarnya ganti rugi pada
hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat
didekati dengan suatu ukuran”.
Post a Comment