Saldi Isra
Gugatan perdata Korps Lalu Lintas Polri ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi
bukti empirik betapa kepolisian tidak begitu ikhlas dengan perintah Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal, pidato yang sebagian substansinya merupakan
perintah kepada polisi itu menjadi titik penting untuk mengakhiri ketegangan
hubungan di antara kedua lembaga ini.
Andaipun benar adanya bahwa gugatan telah
diajukan sejak bulan lalu, harusnya, segera setelah Presiden SBY berpidato,
Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri mencabut gugatan itu. Memilih menggugat
atau meneruskan gugatan yang ada dapat dikatakan sebagai bentuk pengingkaran
terhadap perintah Presiden dalam menyelesaikan perseteruan antara KPK dan
kepolisian. Selain itu, gugatan
Korlantas justru kian merusak citra institusi kepolisian di tengah desain besar
pemberantasan korupsi. Apalagi, sejumlah fakta membuktikan, sikap polisi tak
begitu ramah kepada KPK. Paling tidak, dalam kasus korupsi driving simulator,
polisi benar-benar mempertontonkan resistensi lembaga ini ke KPK. Karena itu,
meminjam bahasa Teten Masduki, pidato SBY jadi pelipur emosi masyarakat yang
terkoyak oleh kepongahan polisi (Kompas, 10/10).
Pengingkaran berulang
Dalam
batas penalaran yang wajar, sebagai sebuah institusi yang langsung berada di
bawah presiden, perintah presiden menjadi semacam kewajiban untuk dilaksanakan.
Apalagi, dalam UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI ditegaskan,
dalam pelaksanaan tugasnya, kepolisian bertanggung jawab kepada presiden.
Kenyataannya, polisi acapkali menafikan perintah presiden. Bilapun ada upaya,
sejumlah bentangan fakta menunjukkan bahwa polisi tidak sepenuh hati
melaksanakannya.
Salah
satu contoh nyata pengingkaran polisi terhadap perintah Presiden dapat
ditelusuri dalam penuntasan rekening tidak wajar (rekening gendut) sejumlah
perwira polisi. Dalam soal ini, Presiden memerintahkan membuka hasil
pemeriksaan rekening tak wajar sejumlah perwira polisi kepada masyarakat. Jangankan
memenuhi perintah itu, polisi justru berkeras menyatakan rekening tak wajar
yang dituduhkan jauh dari benar alias masih berada pada batas jumlah yang
wajar.
Ketika
perintah Presiden SBY tidak direspons sebagaimana mestinya, tentunya desakan
dari berbagai kalangan yang prihatin terhadap pembersihan di internal polisi
menjadi kehilangan kekuatan untuk terus mendorong pengungkapan rekening tidak
wajar tersebut. Karena resistensi yang membatu, putusan Komisi Informasi Pusat
pun agar informasi rekening tidak wajar dibuka ke masyarakat juga dianggap
seperti angin lalu saja oleh kepolisian. Pengingkaran serupa terjadi pula pada
pengungkapan kasus penganiayaan terhadap pegiat antikorupsi dari ICW, Tama
Satrya Langkun.
Karena
itu, dalam batas penalaran yang wajar pula apabila muncul pertanyaan mendasar,
mengapa Presiden SBY membiarkan pengingkaran demi pengingkaran itu berterusan?
Jika hendak pertanyaan itu dilanjutkan, apakah kepolisian menjadi salah satu
institusi yang selalu dikeluhkan karena lamban menindaklanjuti instruksi yang
diberikan SBY?
Dalam
posisi institusi kepolisian yang langsung di bawah presiden, pertanyaan
tersebut dan rangkaian pertanyaan lain yang sejenis menjadi tidak sederhana
untuk dijawab. Apalagi, Presiden pernah menyampaikan secara terbuka bahwa
kurang dari 50 persen instruksinya yang hanya dijalankan para pembantunya.
Menggunakan
cara berpikir a contrario, lebih dari 50 persen perintah SBY tidak
dilaksanakan. Bukankah pengingkaran yang ada menjadi bentangan fakta robohnya
wibawa Presiden di mata para pembantunya. Begitu pula dalam gugatan Korlantas
ini, wibawa SBY tidak kokoh berdiri di hadapan kepolisian.
Wibawa presiden
Membaca penjelasan kepolisian, alasan Korlantas
mengajukan gugatan ke pengadilan karena KPK tidak mau mengembalikan sejumlah
dokumen yang tidak terkait dengan kasus driving simulator. Dari tumpukan
dokumen yang dibawa KPK ketika melakukan penyitaan di Korlantas, sangat mungkin
di antaranya tidak terkait dengan kasus yang sedang disidik.
Namun melihat ketegangan yang terjadi sejak
tindakan penyitaan di Korlantas, boleh jadi KPK masih membutuhkan waktu untuk
memverifikasi semua dokumen yang disita. Sebagaimana diketahui, sejak pidato
SBY yang memerintahkan kasus driving simulator ditangani KPK, polisi
menyerahkan seutuhnya penyidikan kasus ini kepada KPK baru dilaksanakan minggu
lalu (Kompas, 30/10). Dari hitungan waktu, apakah mungkin semua dokumen selesai
diverifikasi oleh KPK? Sekiranya dikaitkan dengan hitungan waktu itu, sangat
masuk akal kecurigaan yang berkembang di sejumlah pihak bahwa gugatan
kepolisian lebih pada ketakutan jika dokumen keluar dari Korlantas. Boleh jadi,
sekiranya diketahui pihak lain di luar kepolisian, dokumen yang disita KPK akan
menguak banyak hal yang sejauh ini disimpan dengan status sangat-sangat rahasia.
Karena kemungkinan posisi ”penting” dokumen yang
disita KPK itu, Korlantas menggugat dengan menggunakan diksi propelayanan:
dokumen yang disita berkaitan dengan kegiatan rutin yang apabila tidak
dikembalikan akan mengganggu pelayanan kepada masyarakat. Namun, pilihan diksi
propelayanan itu dinegasikan sendiri oleh Korlantas dengan adanya ganti
kerugian imateriil Rp 6 miliar dan kerugian materiil dengan angka yang
fantastis, Rp 425 miliar. Setelah berlalu lebih dari tiga minggu pidato SBY,
tindakan Korlantas untuk meneruskan gugatan perdata ini dapat dibaca sebagai
bentuk pembangkangan salah satu unit di kepolisian atas langkah penyelesaian
yang dilakukan Kepala Polri. Tidak hanya itu, gugatan ini juga sedang
mempertontonkan robohnya wibawa Presiden SBY di depan institusi kepolisian.
Dalam konteks itu, gugatan Korlantas tak hanya menista Kapolri, tetapi
sekaligus menjadi pembenaran empirik bahwa lebih dari 50 persen perintah SBY
tidak dilaksanakan.
Untuk mengembalikan dan memulihkan sebagai
pimpinan tertinggi kepolisian, tidak cukup bagi Kapolri memerintahkan menarik
gugatan ini. Karena telah menista, Kapolri harus mau dan berani ”menjewer”
mereka yang berada di belakang gugatan ini. Dengan langkah itu, Kapolri tak
hanya sebatas menyelamatkan wibawa pimpinan tertinggi kepolisian, tetapi
sekaligus memulihkan wibawa Presiden. Sekiranya hal itu tak dilakukan, agar
pengingkaran tak diulangi lagi, pilihan terakhir Presiden harus ”menjewer”
Kapolri.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas HukumUniversitas Andalas, Padang
Sumber : http://saldiisra.web.id/
Post a Comment