Oleh Saldi Isra[2]
Pemisahan
Kekuasaan Negara: Salah Satu Karakter Negara Hukum
Merujuk teori
ketatanegaraan klasik yang dikemukakan Aristoteles, konsep negara hukum (rule of law) merupakan pemikiran yang
dihadapkan (contrast) dengan
konsep rule of man.[3]
Dalam modern constitutional state,
salah satu ciri negara hukum (the rule of
law atau rechtsstaat)[4] ditandai dengan pembatasan
kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Pembatasan itu dilakukan
dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern.[5]
Sebagaimana Julius Stahl, pembagian atau pemisahan kekuasaan adalah salah satu
elemen penting teori negara hukum Eropa Kontinental.[6]
Hadirnya ide pembatasan kekuasaan itu tidak terlepas dari pengalaman penumpukan
semua cabang kekuasaan negara dalam tangan satu orang sehingga menimbulkan
kekuasaan yang absolut. Misalnya perkembangan dalam perkembangan sejarah
ketatanegaraan Inggris, raja pernah begitu berkuasa karena menggabungkan tiga
cabang kekuasaan negara (law-giver, the
executor of the law, and the judge) dalam satu tangan. Karena itu,
sejarah pembagian kekuasaan negara bermula dari gagasan pemisahan kekuasaan ke
dalam berbagai organ agar tidak terpusat di tangan seorang monarki (raja
absolut).[7]
Berhubungan dengan
pembatasan kekuasaan itu, Miriam Budiardjo dalam buku “Dasar-Dasar Ilmu
Politik” membagi kekuasaan secara vertikal dan horizontal.[8]
Secara vertikal, kekuasaan dibagi berdasarkan tingkatan atau hubungan antar
tingkatan pemerintahan. Sementara secara horizontal, kekuasaan menurut
fungsinya yaitu dengan membedakan antara fungsi-fungsi pemerintahan yang
bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.[9]
Berdasarkan
sejarah perkembangan pemikiran kenegaraan, gagasan pemisahan kekuasaan secara
horizontal pertama kali dikemukakan oleh John Locke dalam buku “Two Treaties of
Civil Government”. Dalam buku
tersebut, John Locke membagi kekuasaan dalam sebuah negara menjadi tiga cabang
kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif (legislative
power), kekuasaan eksekutif (executive
power), dan kekuasaan federatif (federative
power). Dari ketiga cabang kekuasaan itu: legislatif adalah
kekuasaan membentuk undang-undang; eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan
undang-undang, dan federatif adalah kekuasaan untuk melakukan hubungan
internasional dengan negara-negara lain.[10]
Selanjutnya,
konsep pemisahan kekuasaan yang dikemukakan John Locke dikembangkan oleh Baron
de Montesquieu dalam karyanya L’Espirit
des Lois (The Spirit of the Laws). Dalam uraiannya, Montesquieu
membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat
undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang yang
oleh Montesquieu diutamakan tindakan di bidang politik luar negeri (eksekutif)
dan kekuasaan mengadili terhadap pelanggaran undang-undang (yudikatif). Ketiga
kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi)
maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang menyelenggarakannya.[11]
Konsepsi yang dikembangkan Montesquieu lebih dikenal dengan ajaran Trias Politica.
Jika dibandingkan
konsep pembagian kekuasaan Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1785),
perbedaan mendasar pemikiran keduanya: Locke memasukkan kekuasaan yudikatif ke
dalam kekuasaan eksekutif sedangkan Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif
berdiri sendiri.[12]
Montesquieu sangat menekankan kebebasan badan yudikatif karena ingin memberikan
perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi
korban despotis raja-raja Bourbon.[13] Sementara
pemikiran Locke sangat dipengaruhi praktik ketatanegaraan Inggris yang
meletakkan kekuasaan peradilan tertinggi di lembaga legislatif, yaitu House of Lord.
Sedikit berbeda
dengan Locke dan Montesquieu, van Vollenhoven membagi kekuasaan negara menjadi
empat fungsi, yaitu regeling;
bestuur; rechtspraak; dan politie. Pembagian keempat kekuasaan
negara itu kemudian dikenal dengan teori “Catur Praja”.[14]
Dalam teori itu, yang dimaksud dengan regeling
adalah kekuasaan negara untuk membentuk aturan. Bestuur adalah cabang kekuasaan yang
menjalankan fungsi pemerintahan. Sementara itu, rechtspraak merupakan cabang kekuasaan negara yang
melaksanakan fungsi peradilan. Yang berbeda dengan teori Locke dan Montesquieu,
Vollenhoven memunculkan politie
sebagai cabang kekuasaan yang berfungsi menjaga ketertiban masyarakat dan
bernegara.
Kajian lebih jauh
atas pendapat Locke, Montesquieu, Vollenhoven bukan pada perbedaan cabang
kekuasaan negara tersebut. Apalagi, realitas menunjukkan bahwa masalah
ketatanegaraan semakin kompleks. Karenanya, pembagian kekuasaan negara secara
konvensional yang mengasumsikan hanya adanya tiga cabang kekuasaan di suatu
negara –eksekutif, legislatif dan yudikatif– sudah tidak mampu lagi menjawab
kompleksitas yang muncul dalam perkembangan negara modern.[15]
Perkembangan teori hukum tata negara modern (modern
constitutional theory) membuktikan, cabang-cabang kekuasaan negara
semakin berkembang dan pola hubungannya pun semakin complicated.[16]
Namun kajian
teoritis dalam cabang kekuasaan yang dikemukakan Locke, Montesquieu, dan
Vollenhoven lebih kepada hubungan antar-cabang kekuasaan tersebut, yaitu apakah
masing-masing cabang kekuasaan negara tersebut terpisah antara cabang kekuasaan
yang satu dengan lainnya, atau di antaranya masih punya hubungan untuk saling
bekerja-sama. Untuk melihat hubungan antara keduanya, dapat didalami dari teori
pemisahan kekuasaan (separation of
power), pembagian kekuasaan (distribution
of power atau division of
power), dan checks and
balances.
Secara umum,
“pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia
dimaknai (separation of
power) dimulai dari pemahaman atas teori Trias Politica
Montesquieu. Hal itu muncul dari pemahaman pendapat Montesquieu yang
menyatakan, “when the legislative and the
executive powers are united in the same person, or in the same body of
magistrate, there can be no liberty”.[17]
Begitu juga dalam hubungan dengan kekuasaan kehakiman dan kekuasaan lainnya,
Montesquieu menyatakan:
Again,
there is no liberty, if the judiciary power be not separated from the
legislative and the executive. Were it joined with the legislative, the life
and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge
would be then the legislator. Were it joined to the executive power, the judge
might behave with violence and oppression.[18]
Tidak
terbantahkan, pandangan Montesquieu memberikan pengaruh yang amat luas dalam
pemikiran kekuasaan negara. Pendapat Montesquieu yang dikutipkan dimaknai bahwa
cabang-cabang kekuasaan negara benar-benar terpisah atau tidak punya hubungan
sama sekali. Dengan pemahaman seperti itu, karena sulit untuk membuktikan
ketiga cabang kekuasaan itu betul-betul terpisah satu dengan lainnya, banyak
pendapat yang mengatakan bahwa pendapat Montesquieu tidak pernah dipraktikkan
secara murni[19]
atau tidak pernah dilahirkan dalam fakta,[20]
tidak realistis dan jauh dari kenyataan.[21]
Karenanya itu, Jimly Asshidiqie menyatakan:
“Konsepsi Trias Politica yang diidealkan oleh
Montesquieau jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi
mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara
eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataan
dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin
tidak saling bersentuhan, dan bahwa ketiganya bersifat sederajat dan saling
mengendalikan satu sama lainnya sesuai dengan prinsip checks and balances”.[22]
Jika disimak
secara cermat, Montesquieu tidak mengatakan bahwa antara cabang kekuasaan
negara yang ada tidak punya hubungan satu sama lainnya. Montesquieu lebih
menekankan pada masalah pokok, cabang-cabang kekuasaan negara tidak boleh
berada dalam satu tangan atau dalam satu organ negara. Namun secara umum
dipahami, Montesquieu menghendaki pemisahan yang amat ketat di antara
cabang-cabang kekuasaan negara, yaitu satu cabang kekuasaan hanya mempunyai satu
fungsi, atau sebaliknya satu fungsi hanya dilaksanakan oleh satu cabang
kekuasaan negara saja. Padahal, Montesquieu menghendaki agar fungsi satu cabang
kekuasaan negara tidak dilakukan oleh cabang kekuasaan lain atau dirangkap oleh
cabang kekuasaan yang lain. Secara ideal, teori pemisahan kekuasaan mestinya
dimaknai bahwa dalam menjalankan fungsi atau kewenangannya, cabang kekuasaan
negara punya eksklusifitas yang tidak boleh disentuh atau dicampuri oleh cabang
kekuasaan negara yang lain.
Dengan banyaknya
kritikan terhadap separation of power,
teori Trias Politica dijelaskan dengan teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power atau division of power). Teori ini digunakan
oleh para pemikir hukum tata negara dan ilmu politik karena perkembangan
praktik ketatanegaraan tidak mungkin lagi suatu cabang kekuasaan negara
benar-benar terpisah dari cabang kekuasaan yang lain. Bahkan dalam pandangan
John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, menyebut pembagian kekuasaan dengan
“separation of functions”. [23] Pendapat Garvey dan Aleinikoff melihat bahwa dalam Teori
Trias Politica tidak mungkin memisahkan secara ketat cabang-cabang kekuasaan
negara. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah memisahkan secara tegas
fungsi setiap cabang kekuasaan negara bukan memisahkannya secara ketat seperti
tidak punya hubungan sama sekali.
Setelah mendalami
banyak literatur tentang pembatasan kekuasaan negara, Jimly Asshiddiqie menilai
bahwa istilah-istilah separation of power,
distribution of power/division of power sebenarnya
mempunyai arti yang tidak jauh berbeda.[24]
Untuk menguatkan penilaian tersebut Asshiddiqie mengutip O. Hood Phillips dan
kawan-kawan yang mengatakan, the question
whether the separtion of power (i.e. the distribution of power of the various
powers of government among different organs).[25] Karena pendapat itu,
Asshiddiqie mengatakan, Hood Phillips mengidentikkan kata separation of power dengan distrubtion of power. Oleh karena itu,
kedua kata tersebut dapat saja dipertukarkan tempatnya.[26]
Tidak hanya itu, Peter L. Strauss cenderung mempersamakan distribution of power dengan checks and balances.[27]
Dalam tulisan “The Place of Agencies in Government: Separation of Powers and
Fourth Branch” Strauss menjelaskan:
Unlike the
separation of powers, the checks and balances idea does not suppose a radical
division of government into three parts, with particular functions neatly
parceled out among them. Rather, focus is on relationship and interconnections,
on maintaining the conditions in which the intended struggle at the apex may
continue.[28]
Berdasarkan pendapat Strauss tersebut, checks and balances dalam upaya
menciptakan relasi konstusional untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan[29]
di antara cabang-cabang kekuasaan negara untuk membangun keseimbangan hubungan
dalam praktik penyelenggaraan negara. Jika dalam teori pemisahan kekuasaan dan
pembagian kekuasaan lebih menggambarkan kejelasan posisi setiap cabang
kekuasaan negara dalam menjalankan fungsi-fungsi konstitusionalnya, checks and balances lebih menekankan
kepada upaya membangun mekanisme perimbangan untuk saling kontrol antar-cabang
kekuasaan negara. Bagaimanapun, mekanisme checks
and balances hanya dapat dilaksanakan sepanjang punya pijakan
konstitusional guna mencegah kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
oleh cabang-cabang kekuasaan negara.
Sistem Peradilan Pasca-Perubahan UUD
1945
Menyadari bahwa untuk
memastikan terwujudnya kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan jaminan yang
tegas dalam konstitusi, langkah besar yang dihasilkan dalam amandemen UUD 1945
tidak hanya menyebutkan secara eksplisit kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menegaskan, kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Tidak hanya itu, Pasal 24 Ayat
(2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Bahkan bagi
seorang hakim, Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit menentukan, hakim agung harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang
hukum. Khusus untuk menjaga kemandirian dan integritas hakim,
amandemen UUD 1945 juga memunculkan sebuah lembaga baru, yaitu Komisi Yudisial.
Guna
menindaklanjuti perubahan besar terhadap kekuasaan kehakiman pasca-amandemen
UUD 1945, selama tahun 2003-2004 telah dilakukan serangkaian penyesuaian (baca:
perubahan dan pembentukan beberapa undang-undang) yang meliputi: (1)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU No 24/2004),
(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No 4/2004)[30], (3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2005 tentang Mahkamah Agung (UU No 5/2004)[31], (4) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum (UU No 8/2004)[32], (5) Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU No 9/2004)[33], dan (6)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Judisial (UU No 22/2004).
Dari
serangkain undang-undang di atas, dapat dikemukakan beberapa catatan penting yang
perlu dikaji lebih lanjut berkaitan dengan kekuasaan kehakiman pasca-amandemen
UUD 1945.
Pertama, penambahan kata atau
frasa tertentu dalam menyebut kekuasaan kehakiman yang merdeka. Misalnya, Pasal
1 UU No 4/2004 menyatakan, kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia. Jika dibandingkan dengan Pasal 24
Ayat (1) UUD 1945, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 UU No 4/2004 jelas
berbeda karena terjadi penambahan kata/frasa: “negara”, “berdasarkan
Pancasila”, dan “demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Kalau ditelusuri lebih jauh,
bunyi Pasal 1 UU No 4/2004 persis sama dengan bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No
14/1970). Yang berbeda hanya dalam memberikan penjelasan. Penjelasan Pasal 1 UU
No 4/2004 menyebutkan:
Kekuasaan Kehakiman
yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan
kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial,
kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Kebebasan dalam
melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah
untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Sementara itu, Penjelasan Pasal 1 UU No 14/1970
menyebutkan:
Kekuasaan Kehakiman
yang merdeka ini mengandung pengertian di dalamnya Kekuasaan Kehakiman yang
bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebebasan dari
paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil,
kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-undang.
Kebebasan dalam
melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas dari pada
Hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan
jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta azas-azas yang jadi
landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga
keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia.
Di samping tidak mudah untuk memaknai frasa “berdasarkan Pancasila” dan
“demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”, dengan tetap
dipertahankan kata “negara” dalam Pasal 1 UU No 4/2004 kekuasaan kehakiman yang
merdeka tetap potensial dipengaruhi oleh pemerintah. Dalam teori tentang negara
(general theory of state),
Krabbe mengatakan bahwa kata “negara” sering diidentifikasikan dengan
“pemerintah” apabila kata itu dipergunakan dalam pengertian “kekuasaan negara”
atau “kemauan negara”.[34] Sementara dalam
praktik, sepanjang kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru, pemerintah begitu dominan
mempengaruhi kekuasaan kehakiman.[35] Artinya, dengan tetap
mempertahankan kata “negara” dalam UU No 4/2004, pengaruh pemerintah masih sulit untuk dihindari dalam kekuasaan kehakiman.
Kedua, dalam hal
hubungan pengadilan
dengan lembaga negara lainnya, Pasal 27 UU No 4/2004 menyatakan bahwa Mahkamah Agung dapat memberi keterangan,
pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga
pemerintahan apabila diminta. Sekalipun bersifat fakultatif (karena
“dapat”), adanya ruang bagi lembaga negara dan lembaga pemerintahan untuk
meminta keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada MA dapat
dikatakan menambah rumusan pemberian pertimbangan oleh MA yang terdapat dalam
konstitusi. Pasal 14 UUD 1945 secara limitatif menentukan, Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung.
Padahal, di kalangan
MA sudah ada pandangan bahwa pemberian pertimbangan kepada lembaga negara
lainnya dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus perkara. Pandangan ini dapat
dibaca dalam Cetak Biru Pembaruan
Mahkamah Agung RI.
“Secara tidak langasung,
pelaksanaan fungsi ini dapat mengganggu independensi hakim dalam memutus
perkara. Hal tersebut akan terjadi jika permasalahan yang dimintakan
pertimbangan hukum tersebut kemudian menjadi perkara di pengadilan. Ambil
contoh, misalnya DPR meminta pertimbangan hukum ke MA apakah Badan Pemeriksa
Keuangan berwenang untuk memeriksa keuangan suatu yayasan militer yang mendapat
dana dari APBN. Jika MA memberikan pertimbangan hukum atas pertanyaan tersebut
kemudian ada pihak yang menggugat yayasan militer ke pengadilan dengan
berdasarakan kepada pertimbangan hukum MA, maka hakim yang memutus perkara akan
terusik independensinyanjika ia akan menafsirkan berbeda dengan pertimbangan
hukum yang dibuat oleh MA tersebut“.[36]
Selain masalah intervensi, pelaksanaan pemberian pertimbangan tersebut
dapat merendahkan wibawa MA. Hal itu dapat terjadi apabila pertimbangan hukum
yang dibuat MA atas suatu hal diacuhkan oleh lembaga yang meminta atau pihak
lain yang dirugikan. Hal ini sangat mungkin terjadi karean sifat pertimbangan
hukum tersebut tidak mengikat.[37] Oleh karenanya, jika
fungsi ini dihapuskan, maka sedikit banyak pekerjaan MA, khususnya Ketua MA
akan berkurang. Selama ini, mengingat cukup banyak permintaan dari berbagai
pihak kepada MA untuk memberikan pertimbangan hukum atas suatu hal, permintaan
pertimbangan hukum ini cukup membebani waktu dan pemikiran MA.[38]
Di luar
catatan penting di atas, secara umum, Rifqi S Assegaf menilai bahwa penyusunan
dan perubahan undang-undang bidang peradilan terjebak dalam ketiadaan konsep.
Seakan dalam pandangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah, masalah utama
lembaga peradilan hanyalah untuk menyesuaikan undang-undang tersebut dengan
perubahan UUD 1945 dan penyesuaian dengan penyatuan atap. Karena itu, Rifqi S
Assegaf menilai bahwa perubahan undang-undang bidang peradilan merupakan
lelucon yang tidak lucu.[39]
Kalau dibaca secara mendalam beberapa undang-undang tentang peradilan (UU
No 4/2004, UU No 5/2005, UU No 8/2004, dan UU No 9/2004), pandangan di atas
sulit dimentahkan. Penyebabnya, kata Rifqi S Assegaf, pembaruan undang-undang
tentang peradilan tidak dimulai dari discourse
yang mendalam mengenai bangunan pengadilan ideal. Misalnya, (1) apakah perlu
semua perkara bisa dimintakan banding atau kasasi?; (2) apakah sistem memutus
perkara yang bersifat majelis perlu diterapkan untuk semua perkara atau boleh
untuk perkara tertentu hakim tunggal?; (3) bagaimana seharusnya hubungan antara
badan peradilan yang ada dengan pengadilan khusus dan bagaimana pula seharusnya
hubungan lembaga-lembaga quasi yudisil dengan pengadilan?; (4) apakah perlu
kembali diperkenalkan konsep pengadilan adat?; (5) bagaimana seharusnya
hubungan antar pengadilan dengan kepolisian, kejaksaan dan pengacara?; dan (6)
bagaiamana memastikan adanya akses yang luas bagi masyarakat untuk mendapatkan
keadilan?[40]
Hal mendasar lainnya yang
dikemukakan oleh Rifqi S Assegaf adalah status hakim yang kembali menjadi
pegawai negeri sipil. Dikatakan kembali karena Pasal 11 Ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (UU No
43/1999) menyatakan: pejabat negara
terdiri atas Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah
Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan hakim pada semua badan peradilan.
Kemudian, kedudukan hakim sebagai pejabat negara dikembalikan sebagai sebagai
pegawai negeri sipil dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam: (1) Pasal 14
Ayat (2) UU No 8/2004[41]; (2)
Pasal 21 UU No 8/2004[42]; (3)
Pasal 14 Ayat (2) UU No 9/2004;[43] dan (4)
Pasal 21 UU No 9/2004.[44]
Hubungan MA dengan Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial
Sebagaimana disebutkan
di atas, pasca-amandemen UUD 1945 yang dilakukan tidak hanya menyesuaikan
beberapa undang-undang bidang peradilan yang sudah ada tetapi juga membentuk
undang-undang baru terutama untuk mewadahi pembentukan dan pengisian lembaga
baru, yaitu UU No 24/2003 dan UU No 22/2004. Bagian ini akan membahas hubungan checks and balances antara MA dengan
Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY).
1. Hubungan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi
Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945
menyatakan kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung (dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara), dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Berdasarkan rumusan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945,
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan MK.
Sekalipun sama-sama pemegang
kekuasaan kehakiman, kedua lembaga tersebut mempunyai kewenangan yang berbeda.
Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MA berwenang: (1) mengadili pada
tingkat kasasi, (2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang, dan (3) mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang. Sementara itu, Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MK
berwenang: (1) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, (2) memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, (3) memutus
pembubaran partai politik, dan (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Selain kewenangan, Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa MK
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Berdasarkan ketentuan di
tingkat konstitusi, kemungkinan terjadinya persinggungan antara MA dengan MK
ada pada titik penggunaan wewenang pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review). Misalnya, ada
kelompok masyarakat yang mengajukan judicial
review PP No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sementara itu, dalam waktu yang bersamaan, ada pula pengajuan judicial review UU No 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah --yang menjadi dasar pembentukan PP No 6/2005--
kepada MK. Kebetulan pula, MA dan MK memutus serentak. MA memutus PP No 6/2005
tidak bertentangan dengan UU No 32/2004. Tetapi, di sisi lain, MK memutuskan
bahwa UU No 32/2004 bertentangan dengan UUD 1945.
Kemungkinan terjadinya masalah
seperti di atas terjawab dengan dalam UU No 24/2003. Pasal 55 UU No 24/2003
menyatakan, pengujian peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan
apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang
dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah
Konstitusi. Artinya, dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 55
UU No 24/2003, kemungkinan terjadinya permasalahan antara putusan MA dengan
putusan MK sudah teratasi.
Selain masalah judicial review, kemungkinan
persinggungan juga dapat terjadi dalam isu sengketa kewenangan antarlembaga.
Namun, ini pun dapat diselesaikan dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 65
UU No 24/2003, MA tidak dapat menjadi
pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada MK.
2. Hubungan Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial
Pasal 24A Ayat (3)
UUD 1945 menyatakan, calon hakim agung
diusulkan KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya
ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden. Kemudian, Pasal 24B Ayat (1)
UUD 1945 menyatakan, KY bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim. Berdasarkan ketentuan itu, hubungan KY dengan MA
terjadi dalam proses pengusulan calon hakim agung; dan menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Dalam proses awal
kehadirannya, terlihat ada ketegangan hubungan antara KY dengan MA. Ketegangan
itu muncul ketika KY merespon kejanggalan yang terjadi dalam kasus sengketa
penetapan hasil pemilihan Walikota-Wakil Walikota Depok. Sebagaimana diketahui,
Pengadilan Tinggi Jawa Barat (04/08-2005) membatalkan hasil pemilihan
Walikota-Wakil Walikota Depok. Majelis hakim yang diketuai Nana Juwana
menetapkan Badrul Kamal/Syihabuddin Ahmad memperoleh suara 269.551 suara dan
Nur Mahmudi Ismail/Yuyun Wirasaputra memperoleh 204.828 suara. Berdasarkan
putusan tersebut, perolehan suara untuk pasangan Badrul Kamal bertambah 62.770,
sedangkan suara untuk Nur Mahmudi dikurangi 27.782.[45]
Karena menilai terjadi
kejanggalan dalam penyelesaian kasus di atas, KY memeriksa hakim yang menangani
kasus sengketa pemilihan di Kota Depok. Kemudian, KY merekomendasikan kepada MA
(14/09-2005) untuk pemberhentian sementara selama satu tahun Ketua PT Jawa
Barat Nana Juwana. Dalam rekomendasi itu, KY memberikan tenggat waktu satu
bulan supaya MA memberikan tanggapan atas rekomendasi KY.[46] Anehnya, terobosan KY
justru mendapat resistensi dari berbagai kalangan di MA.
Sekalipun ada resistensi,
dalam Sambutan Rakernas MA, Peradilan Tingkat Banding, Pengadilan Tingkat
Pertama Kelas IA Seluruh Indonesia di Denpasar, Bali 19-22 September 2005,
Ketua MA Bagir Manan mengatakan:
“Sekarang kita mempunyai KY
yang saya yakin akan lebih memperkuat upaya membenahi tingkah laku tidak
terpuji dari hakim. Meskipun KY tidak berwenang meneliti dan memeriksa putusan
hakim dan tindakan-tindakan teknis yustisial lainnya, tetapi kewenangan yang
ada disertai kerjasama yang erat dengan MA, akan sangat memberdayakan (empowering) usaha kita menghapus secara
tuntas perbuatan tercela para hakim atau petugas pengadilan lainnya. Saya
berjanji akan memanfaatkan semaksimal mungkin temuan KY mengenai perbuatan
tidak terpuji para hakim dan lain-lain pejabat pengadilan“.
Masalahnya, apakah
pernyataan di atas merupakan komitmen institusi pengadilan atau hanya merupakan
pernyataan Bagir Manan sebagai Ketua MA? Kalau merupakan sikap institusi
pengadilan, maka ada harapan bahwa KY akan lebih mudah mengawasi tingkah laku
tidak terpuji hakim sehingga pelan-pelan kewibawaan pengadilan bisa diperbaiki.
Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka: Suatu Relaitas
Penegakan Hukum
Mengapa kekuasaan kehakiman atau peradilan begitu mudah
tunduk pada kekuasaan lain? Secara konseptual, dalam pandangan Bagir Manan ada
beberapa jawaban, yaitu (1) kekuasaan kehakiman memang sangat lemah
dibandingkan kekuasaan legislatif dan yudikatif, (2) tatanan politik.
Dalam kenyataan, kehakiman selalu tidak berdaya menghadapai tekanan politik
untuk menjaga agar kekuasaan kehakiman yang merdeka tetap utuh, dan (3) sistem
administrasi, misalnya anggaran belanja. Selama sistem anggaran belanja
kekuasaan kehakiman tergantung pada “kebaikan hati” pemerintah sebagai pemegang
kas negara, maka berbagai upaya memperkuat kekuasaan kekuasaan kehakiman akan
mengalami berbagai hambatan. [47]
Karena berbagai penyebab di
atas, upaya membebaskan kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan lain
merupakan perjuangan terus-menerus. Bagaimanapun, kekuasaan kehakiman yang
merdeka merupakan salah satu prinsip penting dalam negara demokrasi. Shimon
Shetreet dalam Judicial Independence: New
Conceptual Dimentions and Contemporary Challenges membagi independence of the judiciary menjadi
empat hal yaitu substantive independence (independensi
dalam memutus perkara), personal
independence [misalnya adanya jaminan masa kerja dan jabatan (term of office and tenure)], internal independence (misalnya
independensi dari atasan dan rekan kerja) dan collective independence (misalnya adanya partisipai
pengadilan dalam administrasi pengadilan, termasuk dalam penentuan budget pengadilan).[48]
Prinsip kekuasaan kehakiman
yang merdeka menghendaki agar hakim terbebas dari campur tangan, tekanan atau
paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari kekuasaan lembaga lain, teman
sejawat, atasan, serta pihak-pihak lain di luar peradilan. Sehingga Hakim dalam
memutus perkara hanya demi kadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.[49] Dalam pandangan Hakim
Agung Artidjo Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya pengadilan
yang merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah satu tiang
tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan adalah menyangkut
faktor adanya pengadilan yang merdeka.[50]
Masalahnya, apakah kekuasaan
kehakiman yang merdeka tidak memerlukan pertanggungjawaban? Sekalipun tidak
bertanggung jawab kepada lembaga negara lain (seperti eksekutif atau
legislatif), pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman yang merdeka kepada publik
merupakan keniscayaan. Lalu, bagaimana kaitan antara pelaksanaan kekuasaan
kehakiman yang merdeka (khususnya di MA) dengan pertanggungjawaban kepada
publik?
Sekalipun UU No 5/2004
disahkan sekitar empat bulan setelah pengesahan UU No 24/2003, UU No 5/2004
tidak mencantumkan masalah tanggung jawab dan akuntabilitas MA. Dalam BAB III
Bagian Kedua Pasal 12-14 UU No 24/2003 secara eksplisit ditentukan: pertama, MK bertanggung jawab mengatur
organisasi, personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan
prinsip pemerintahan yang baik dan bersih; kedua,
MK wajib mengumumkan laporan berkala kepada masyarakat secara
terbuka mengenai: (a) permohonan yang terdaftar, diperiksa, dan
diputus; (b) pengelolaan keuangan dan tugas administrasi lainnya.
Laporan tersebut dimuat dalam berita berkala yang diterbitkan oleh MK; dan ketiga, masyarakat mempunyai akses
untuk mendapatkan putusan MK.
Tanpa pencantuman dalam
undang-undang bukan berarti tidak ada upaya untuk memperbaiki performance MA. Misalnya, sebagai bagian dari strategi untuk melakukan
pembaharuan, MA telah menetapkan visi dan misi organisasinya, yaitu “Mewujudkan
supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien
serta mendapatkan kepercayaan publik, profesional dan memberi pelayanan hukum
yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu
menjawab panggilan pelayanan publik”.[51] Untuk mencapai visi tersebut,
MA menetapkan misi-misi sebagai berikut:
1. Mewujudkan rasa keadilan
sesuai dengan Undang-undang dan peraturan serta memenuhi rasa keadilan
masyarakat;
2. Mewujudkan peradilan yang
mandiri dan independen serta bebas dari campur tangan pihak lain;
3. Memperbaiki akses bidang
peradilan kepada masyarakat;
4. Memperbaiki kualitas input
internal pada proses peradilan;
5. Mewujudkan institusi
peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan dihormati;
6. Melaksanakan kekuasaan
kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.
Sayang, kata-kata indah yang terdapat dalam visi dan misi (terutama
akses masyarakat) tersebut tidak mampu memberi ruang pertanggungjawaban publik
yang memadai. Sejauh yang bisa diamati, banyak
informasi yang tidak terkait dengan independensi hakim dalam memutus perkara (substantive independence)
begitu sulit disentuh publik. Misalnya menyangkut berita acara persidangan,
biaya yang diperlukan dalam proses berperkara, dan jumlah serta penggunaan
anggaran pengadilan satu periode tertentu. Padahal, semua informasi tersebut
tidak terkait dengan substantive independence
hakim.
Karena kesulitan publik mengakses sebagian besar
informasi, pengadilan menjadi begitu rentan terhadap segala bentuk penyimpangan.
Terkait dengan hal
tersebut, Jeramy Bentham mengingatkan: “In
the darkness of secrecy, sisnister interest and evil in every shape have full
swing. Only in proportion as publicity has place can any of the checks
applicable to judicial injustice operate. Where there is no publicity there is
no justice. Publicity is the very soul of justice. It is the keenest spur to
exertion and the surest of the all guards against improbity. It keeps the judge
himself while trying under trial”.[52]
Pandangan
Bentham mengingatkan, lembaga yang tidak terbuka menjadi begitu rentan untuk
terjadinya segala macam bentuk penyimpangan. Begitu juga dengan pengadilan,
meski hampir setiap proses persidangan dimulai dengan kalimat “sidang dibuka
dan dinyatakan terbuka untuk umum”, tidak berarti bahwa pengadilan lebih
terbuka dibandingkan dengan lembaga-lembaga negara yang lain. Kalau mau jujur,
mungkin dengan pengecualian MK, pengadilan kita jauh lebih tertutup
dibandingkan lembaga lain. [53]
Ketertutupan
pengadilan amat potensial memicu beragam penyimpangan. Misalnya, interaksi
antara pengacara-jaksa-panitera-hakim dalam praktik suap di pengadilan. Bagi
pengacara yang punya kontak langsung dengan hakim, persoalan bisa menjadi lebih
mudah karena pengacara bisa merundingkan vonis yang akan dijatuhkan tanpa perlu
menghiraukan tututan jaksa. Beberapa kasus membuktikan, sekalipun jaksa
menuntut maksimal, hakim dapat saja membebaskan terdakwa. Berbeda halnya dengan
pengacara yang tidak mempunyai kontak langsung dengan hakim, diperlukan pihak
ketiga untuk menghubungi hakim. Biasanya, peran pihak ketiga lebih praktis
dan aman dilakukan oleh panitera. Inisiatif mempertemukan atau menyambungkan
komunikasi antara hakim dan pengacara bisa datang dari hakim sendiri, bisa pula
dari pengacara terdakwa, namun tidak tertutup kemungkinkan berasal dari
penitera sendiri.
Tidak hanya itu, peran panitera dalam suatu perkara
begitu luar biasanya sampai menyebabkan para pengacara tidak perlu bekerja
bersusah payah. Misalnya, dari informasi mereka yang biasa berpraktik di
pengadilan atau para pemantau peradilan, panitera kerap membuatkan
jawaban-jawaban untuk proses persidangan bagi para pengacara. Dengan mengerti
betul isi kepala hakim –dalam banyak kasus paniteralah sebenarnya yang
mengerjakan draf pertimbangan hukum putusan-- sangat mudah bagi panitera untuk
menyusun suatu jawaban yang dapat diterima oleh logika hakim. Dalam posisi
demikian, bagi pengacara, “memegang” panitera tidak hanya bisa memegang seorang
hakim tetapi juga bisa memegang seluruh hakim yang menangani perkara.
Contoh lainnya, praktik kong-kalingkong menyangkut
salinan vonis kasus korupsi. Salinan vonis kasus korupsi yang telah punya
kekuatan hukum tetap (inkracht)
bisa punya nilai ekonomi cukup tinggi. Caranya, memperlambat (menunda-nunda)
salinan putusan sampai ke tangan eksekutor. Bagi koruptor, terlambatnya salinan
putusan tidak hanya sekedar memperlambat eksekusi tetapi juga membuka
kesempatan untuk melarikan diri. Bukan tidak mungkin, sebagian koruptor yang
melarikan diri tertolong oleh proses perlambatan salinan putusan sampai ke
pihak eksekutor.
Sekalipun sering mendapat kecaman, sampai sekarang hampir
tidak ada perubahan perilaku pengadilan guna mempercepat penyampaian salinan
putusan. Contohnya, sejak awal bulan Agustus lalu, MA telah menolak permohonan
kasasi 43 orang mantan anggota DPRD Provinsi Sumatra Barat Periode Tahun 1999-2004
dalam kasus korupsi APBD Tahun 2002. Tetapi, sampai saat ini, Kejaksaan
Tinggi Sumatra Barat belum menerima salinan putusan tersebut. Akibatnya,
putusan MA tersebut tidak bisa dieksekusi.
Banyak kalangan percaya, keterbukaan (transaparansi)
bukan satu-satunya cara melakukan pertanggungjawaban kepada publik.
Bagaimanapun, transparansi mesti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kekuasaan kehakiman yang merdeka. Dalam Cetak
Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI dinyatakan:
“Transaparansi
adalah salah satu prinsip yang harus ada dalam sebuah pengadilan yang baik.
Salah satu dari bentuk transparansi adalah dengan memberikan jaminan bahwa
publik diberikan keleluasaan untuk mengakses informasi. Jaminan untuk mengakses
informasi akan memudahkan masyarakat untuk mengontrol MA. Karena itu biasanya
transparansi dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari upaya menciptakan
akuntabilitas”.
[1] Pokok-pokok pikiran disampaikan dalam diskusi
terbatas dengan topik ”Negara Hukum dan Demokrasi: Sistem Peradilan dan
Realitas Penegakan Hukum”, dilaksanakan oleh Komisi Yudisial RI, di
[2] Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi
Konstitusi (PUSaKO) Fak. Hukum Universitas Andalas (UNAND), Padang.
[3] Brian Z. Tamanaha, 2004, On the Rule of Law: History, Politics, Theory,
Cambridge University Press. hal. 9.
[4] Di sini tidak dibedakan antara konsep ”the rule of law” dan konsep ”rechtsstaat”. Untuk menelusuri
perbedaan kedua konsep itu dapat dibaca, misalnya, dalam Philipus M. Hadjon,
1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat
di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya; Ridwan HR, 2003, Hukum
Administrasi Negara, UII Press Yogyakarta, hal. 1-16; dan Marjanne
Termorshuizen-Artz, 2004, The Concept
of Rule of Law, dalam Jurnal
Jentera, Edisi 3, Tahun II, November, Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan, Jakarta.
[5] Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Hukum Tata Negara, Jilid
II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan RI, Jakarta, hal. 11.
[6] Dalam Ni’matul Huda, 2007, Lembaga
Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta. hal. 57.
[7] Moh.
Mahfud M.D., 2001, Dasar dan Struktur
Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Bandung, hal. 72.
[8] Miriam
Budiardjo, 1989, Dasar-Dasar Ilmu
Politik, Cetakan ke- 29, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 138.
[10] John
Locke, 1960, Two Treatises of Civil Government, J.M.Dent and Sons Ltd., London, hal.
190-192.
[11] Miriam
Budiardjo, 1989, Dasar-dasar..., hal.
152. Bandingkan dengan R. Kranenburg, 1967, Ilmu Negara, Viva Studi, Jakarta, hal. 53.
[13] Frans
Magnis Suseno, 1991, Etika Politik;
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia,
Jakarta, hal. 223-231.
[15] Denny
Indrayana, 2006, Komisi Negara:
Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, dalam Jurnal Yustisia, Edisi XVI Nomor 2,
Juli-Desember, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, hal. 6.
[16] Baca
misalnya Bruce Ackerman,
2000, The New Separation of Powers,
The Harvard Law Review, vol.
113.
[19] Kotan Y.
Stefanus, 1998, Perkembangan Kekuasaan
Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik Hukum terhadap Kekuasaan
Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945), Penerbitan
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hal. 30.
[21] Jimly
Asshiddiqie, 2006, Pergumulan Peran
Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai
Negara, UI Press, Jakarta. hal. 17.
[23] John A.
Garvey dan T. Alexander Aleinikoff, (1994), Modern Constitutional Theory, West Publishing Co, hal.
296-297.
[27] Peter L.
Strauss, 1984, The Place of Agencies
in Government: Separation of Powers and Fourth Branch, Columbia Law Review; lihat juga Ibid., hal. 296.
[29] Bivitri
Susanti, 2006, Hakim atau Legislator?,
makalah disampaikan di
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 3.
[30] Pengganti
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999) tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
[34] Lebih jauh tentang
hal ini, baca dalam Samidjo, (1986), Ilmu
Negara, Cetakan ke-3, ARMICO, Bandung.
[35] Untuk mengetahui
lebih jauh domoinasi pemerintah terhadap kekuasaan kehakiman baca, misalnya, A
Muhammad Asrun, (2004), Krisis
Peradilan: Mahkamah Agung di Bawah Soeharto, ELSAM, Jakarta.
Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2001-2002, dalam bulan
Januari sampai Juli 2002 ada 156 surat permohonan pertimbangan hukum yang
diajukan oleh berbagai pihak ke MA.
[39] Rifqi Sjarief Assegaf, (tt), Perubahan UU Bidang Peradilan: Lelucon Yang Tidak
Lucu, http://www.parlemen.net/privdocs/a0245e30dobb2855758aaf33ba5c5e23.pdf
[41] Pasal 14 Ayat (2) UU No
8/2004 menyatakan untuk dapat diangkat
menjadi hakim, harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim
[42] Pasal 21 UU No 8/2004
menyatakan seorang hakim yang
diberhentikan dari jabatannya dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai
negeri.
[43] Pasal 14 Ayat (2) UU No
9/2004 menyatakan untuk dapat diangkat
menjadi hakim, harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim.
[44] Pasal 21 UU No 9/2004
menyatakan seorang hakim yang diberhentikan dari jabatannya
dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri.
[45] Sebelumnya, berdasarkan penghitungan yang
dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok (06/7), pasangan
Nur Mahmudi ditetapkan memperoleh 232.610 suara. Sementara itu, pasangan Badrul
Kamal memperoleh 206.781 suara.
Ketika itu, berdasarkan hasil penghitungan KPUD, pasangan Nur Mahmudi
mengungguli pasangan Badrul Kamal dengan selisih suara 25.829.
[47] Bagir Manan, (2005), Restrukturisasi Badan Peradilan,
dalam Majalah Hukum Varia Peradilan,
Tahun XX. No. 239, Jakarta.
[48] Shimon Shetreet, (1995), Judicial Independence: New Conceptual Dimentions
and Contemporary Challenges, dalam Shimon Shetreet and J. Deschenes
(eds), Judicial Independence, Martinus Nijhoff Publishe,
Netherlands. 1985). Dikutip dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, (2003),
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
[50] Artidjo Alkostar, (2005), Membangun Pengadilan Berarti Membangun Peradaban
Bangsa, dalam Majalah Hukum Varia
Peradilan, Tahun XX. No. 238, Jakarta.
[52] Dikutip dalam Rifqi S Assegaf & Josi Katharina, (2005), Membuka Ketertutupan Pengadilan, LeIP, Jakarta.
Sumber : http://www.saldiisra.web.id/
Post a Comment